MURKA SANG PANEMBAHAN
Kehidupan memang penuh dengan misteri. Seperti malam yang hitam, kita tidak pernah tahu apa yang menunggu di dalam kegelapannya. Jogoboyo diam membeku. Dia masih tak percaya dengan penjelasan Acarya.
Puterinya telah diperkosa makhluk gaib? Makhluk gaib macam apa yang telah memperkosa puterinya? Jogoboyo tertelungkup di meja altar menutupi wajahnya.
“Apakah keadaannya mengkhawatirkan Eyang?” tanya ki Lurah.
Eyang Senthir tidak langsung menjawab pertanyaan lurah Rekso. Dia malah menggeleng-gelengkan kepalanya. Wajahnya nampak begitu gelap.
“Ada apa Acarya?” tanya ki Lurah. “Ada hal yang terlalu berat untuk disampaikan?”
“Ya “ jawab Eyang pendek. Kali ini dia mengangguk-anggukan kepalanya “Air kehidupan yang masuk ke dalam rahim puterimu sangat kuat. Aku bahkan sudah mendengar detak jantungnya.”
“Apa!!?” teriak ki Jogo dan ki Rekso hampir berbarengan.
“Apa maksudmu Acarya?” desak ki Jogo.
Eyang Senthir menghirup nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan.
“Di dalam rahim puterimu, ada janin yang hidup dan berkembang.”
Tentu saja ki Lurah dan ki Jogo terkejut bukan kepalang. Bagaiman mungkin hubungan yang baru terjadi dua hari langsung menjadi janin? Mereka bahkan tak mampu berkata-kata. Tenggorokan mereka seperti tercekat.
“Rahasiakan kehamilan ini. Hanya kita bertiga yang tahu, bahkan Miryam juga belum mengetahuinya. Dia masih belum sadar dari pingsannya,” ujar Eyang.
“Tidaak!!” ki Jogoboyo berteriak keras sekali, penuh kemarahan.
Kepalanya serasa ditimpa besi baja yang berat. Darahnya naik ke ubun-ubunnya.
‘Puteriku mengandung anak siluman?’ batinnya. ‘Tidak bisa dibiarkan.’
Lalu dia duduk bersimpuh di hadapan Acarya.
“Aku mohon kepadamu Acarya, gugurkan janin itu, sebelum puteriku menyadarinya,” suara Jogoboyo begitu menghiba.
Tapi Acarya menggelengkan kepalanya.
“Tidak Jogoboyo. Janin yang dikandung puterimu adalah manusia setengah siluman. Dia tidak mengenal takdir kematian.”
“Maksudmu janin itu tidak bisa mati?” tanya lurah Rekso.
“Bagi manusia setengah siluman, kematian adalah pilihan. Bila dia memilih menjadi manusia, maka dia kan mengalami penuaan dan kemudian mati. Tapi bila dia tetap memilih menjadi siluman, maka hidupnya akan abadi,” jelas Eyang Senthir panjang lebar.
Di depan Eyang Senthir dan lurah Rekso, ki Jogoboyo menangis sesenggukan. Lelaki perkasa itu tidak mampu menahan luka hatinya. Kedua tangannya yang kekar memukul-mukul batu besar di hadapannya.
Dug! Dug! Dug!
Rupanya keributan itu didengar oleh Glagah Jenar dari dalam biliknya. Merasa terganggu tidurnya, dia mengumpat dan mencaci maki kembali.
“Hai anjing-anjing Jalatunda! Berisik! Kalian mengganggu tidurku!” teriak Glagah Jenar lagi.
Mendengar caci maki yang keluar dari mulut Glagah Jenar, ki Jogoboyo tersulut kemarahannya. Tubuhnya langsung melenting ke bilik Glagah Jenar dengan keris terhunus.
“Dasar mulut comberan! Kau pikir aku tidak bisa membunuhmu!” teriaknya.
Rupanya dia tidak bisa lagi menahan kemarahannya. Penyesalan yang begitu dalam membuatnya dia marah kepada dirinya sendiri. Dia yang telah meninggalkan puterinya sendirian di rumah, sehingga mengalami peristiwa memilukan ini.
Dan kata-kata kasar Glagah Jenar telah membuatnya gelap mata. Tanpa bisa dicegah, dia menghujamkan keris itu ke tubuh Glagah Jenar berkali-kali. Darahpun menyembur dari muluthnya. Suara teriakan kesakitan terdengar setiap kali keris itu menusuk tubuhnya. Sampai suara itu hilang, Jogoboyo masih menghujamkan kerisnya berkali-kali. Ya, Glagah Jenar mati seketika. Disaksikan langsung Lurah Reksoyudho dan Eyang Senthir di Sanggar Pamujan. Dengan tubuh berlubang disana sini!
***
Berita tewasnya Glagah Jenar putera Panembahan Somawangi menggegerkan Jalatunda. Menyebar dengan cepat seperti debu yang terbawa angin kemana-mana hingga sampai ke telinga sang Panembahan. Betapa murkanya penguasa tanah perdikan Somawangi ini. Dia bersumpah akan menuntut balas kematian puteranya. Dengan membawa pasukan khusus pengawal tanah perdikan Somawangi, dia berangkat menuju Jalatunda.
Sementara ki Jogoboyo bertekad untuk menghadapi Panembahan sendiri.
“Sebelum Panembahan datang, aku sendiri yang akan datang ke sana,” kata Jogoboyo.
Lurah Rekso menggelengkan kepalanya.
“Tidak Jogoboyo, kau sedang terguncang akibat peristiwa yang menimpa puterimu. Aku sendiri yang akan pergi ke Somawangi untuk menjelaskan semuanya.”
Semua terkejut mendengar kata-kata lurah Rekso. Santika segera bangkit berdiri. Dia harus mencegah kepergian ayahnya. Karena itu sama saja dengan bunuh diri.
“Tidak ayah. Tidak ada seorangpun yang boleh pergi kesana. Kematian Glagah Jenar adalah tanggung jawab Dadhungawuk. Jadi dia yang harus menjelaskan kepada Panembahan Somawangi,” tegasnya.
Namun sebelum mereka berbuat sesuatu, tiba-tiba terasa angin berkesiur lembut. Mendadak suhu ruangan menjadi sejuk. Bau wangi kasturi menyebar memenuhi ruang pendopo Kelurahan.
Lalu, tanpa ada yang tahu, ada sosok tinggi besar dengan pakaian serba putih berdiri didepan mereka. Sekelompok prajurit dari Somawangi juga bemunculan mengepung tempat itu. Dadhungawuk, yang dibebaskan dari segala tuduhan, langsung melompat menghadapi mereka bersama anak buahnya dan pasukan pengawal Jalatunda.
“Panembahan Somawangi!” ujar ki Lurah.
Lalu dia berjongkok sebagai wujud rasa hormat kepada punggawa kerajaan diikuti oleh orang-orang lainnya. Seketika suasana diliputi ketegangan.
“Maafkan dan ampuni kami Panembahan,” kata Lurah Rekso.
Sang Panembahan tersenyum lembut.
“Rekso, aku sudah tahu apa yang terjadi dengan puteraku,” katanya.
“Baru saja aku akan berangkat membawa kembali jenazah puteramu ke Somawangi,” kata Lurah Rekso. “Sekali lagi maafkan kami.”
Panembahan Somawangi masih tersenyum.
“Kamu tahu Rekso, puteraku Glagah Jenar aku suruh datang sendiri ke Jalatunda untuk mengawasi keadaan. Aku mendapat wangsit ada kekuatan gaib yang akan menyerang desa ini,” sahut Panembahan Somawangi.
“Tapi kalian malah melukai dan membunuh puteraku.”
Mendengar kata-kata Panembahan, wajah lurah Rekso dan ki Jogo semakin tertunduk. Betapa cerobohnya mereka telah memperlakukan Glagah Jenar yang bermaksud baik.
“Aku tidak marah kepada kalian. Tapi hutang pati harus dilunasi dengan pati, hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa,” kata Panembahan dengan suara yang dingin dan lembut.
Lalu kedua tangannya memegang ujung kepala Lurah Rekso dan ki Jogoboyo. Terasa ada rasa sejuk yang luar biasa. Mata ki Lurah dan ki Jogo terpejam, saat rasa sejuk itu berubah menjadi rasa dingin hingga darahnya membeku. Lalu tanpa diduga, sang Panembahan mencabut kedua kepala petinggi desa Jalatunda itu dari tubuhnya. Seperti mengambil kapas basah dari dalam air.Tidak ada jerit kesakitan, tidak ada darah yang tertumpah. Entah ini adalah kematian yang indah atau kematian yang mengerikan, mereka tidak tahu. Karena mereka tidak merasakan apa-apa selain daripada kematian itu sendiri.
“Ayah!” jerit Santika.
Dia berlari memburu ayahnya. Namun Panembahan mengibaskan kedua lengan bajunya. Seketika ruangan menjadi dingin membeku, membuat Santika dan seluruh orang yang ada disitu tak mampu bergerak. Diam seperti patung.
“Kalian semua juga bertanggung jawab dengan kematian Glagah Jenar. Jadi aku juga akan membunuh kalian semua.”
Santika dan orang-orang lainnya menjadi pasrah, bersiap menghadapi kematian.
Terimakasih berkenan membaca karyaku
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments
KIA Qirana
Pengorbanan seorang Putera, yang dibalas dengan amukan tak manusiawi 😭😭
Next Thor
salam dari
Era Berdarah Manusia
I Firmo
🌹🌹🌹🌹🌹
2021-11-28
0
Dhina ♑
Kasihan, kalau sampai hamil anak siluman
2021-08-25
1
Isma Aji
semangat 🤗
2021-06-30
1