PAGEBLUG (PANDEMI)
Selalu ada setitik sinar di dalam kegelapan. Diantara orang-orang yang lemah pasti ada yang paling kuat. Berada ditengah orang-orang yang kehilangan harapan, ada jiwa pahlawan yang menginspirasi dan membuat mereka menjadi bangkit kembali.
Badranaya terjaga dari tidurnya di gua Siluman. Hatinya begitu gelisah dan marah. Kebenciannya kepada rakyat Jalatunda sudah mencapai puncaknya. Setelah anak satu-satunya dibunuh oleh Santika, ternyata dia harus menerima kenyataan. Antara Lurah muda dengan Miryam, gadis pujaan hatinya, ternyata ada hubungan cinta. Hal yang tidak bisa diterima, karena Miryam dan bayinya harus bersatu dengannya menjadi satu keluarga.
“Bangsat kamu Santika. Setelah kau bunuh anakku, kau mau rebut pula jantung hatiku,” geram Badaranaya.
“Tidak ada yang boleh menghancurkan keluargaku. Hari ini juga akan aku buat seluruh rakyat Jalatunda menderita, sebelum aku bunuh kalian semua!”
Badranaya mematangkan rencananya. Pagi itu, menjelang matahari mencapai ufuknya, tubuhnya berkelebat cepat menuruni bukit menuju ke arah hulu sungai Tambra. Di sebuah cerukan batu besar yang tersembunyi, dia berhenti. Setelah merasa aman, perlahan dia menenggelamkan dirinya ke dalam air. Lalu jelmaan siluman ular Nagabadra ini mengeluarkan cairan racun dari gigi taringnya.
Namanya Racun Taring Naga. Ini bukan jenis racun paling mematikan yang dia miliki. Tapi racun yang akan merusak jaringan kulit karena memberikan rasa gatal di sekujur tubuh yang luar biasa. Kulit yang terkena racun ini akan timbul bintik-bintik air yang lama kelamaan berubah menjadi nanah. Mereka yang terkena racun ini akan mengalami penderitaan panjang, karena racun ini belum ada obatnya. Kecuali minyak mustika penawar racun naga yang dimiliki oleh Nyai Nagabadra, istrinya sendiri, yang tinggal di hutan Kecipir. Kecuali itu, tuah racun ini akan hilang dengan sendirinya bila dia mati.
Racun yang keluar dari taring Badranaya itu kemudian menyatu dengan air sungai Tambra. Nampak terjadi perubahan warna. Mula-mula air sungai menjadi hitam kelam dan kental seperti tinta. Tak lama kemudian berubah menjadi warna hijau tua. Beberapa saat kemudian warna itu hilang dan menjadikan air sungai Tambra menjadi bening kembali. Bahkan lebih bening dan lebih menyegarkan dari sebelumnya. Siapapun yang melihatnya pasti ingin segera merasakan kesegarannya.
“Ssshh..rasakanlah wahai rakyat Jalatunda! Kalian akan merasakan akibat dari kelalaian Lurah kalian. Selama bertahun-tahun kalian akan menderita penyakit gatal sebelum aku memusnahkan kalian semua hahaha!” teriak Badranaya sambil tertawa dengan kerasnya.
***
Menjelang siang matahari bersinar cerah. Seperti biasa, sungai Tambra selalu ramai. Banyak orang yang datang ke sungai dengan keperluannya masing-masing. Orang laki-laki datang untuk memancing dan memasang perangkap ikan, ibu-ibu membawa keranjang untuk mencuci pakaian, sedangkan anak-anak senang bermain-main di sungai sambil mencari kerang berwarna kuning keeamasan. Setelah selesai dengan urusannya, mereka segera mandi dan membersihkan diri. Sambil menenggelamkan dirinya di dalam air yang bening dan menyegarkan.
Sungai Tambra adalah jantung kehidupan Jalatunda. Hampir seluruh warga memanfaatkan air sungai untuk kebutuhan sehari-hari. Dari pertanian, kebutuhan air minum, mandi, cuci pakaian bahkan sebagian orang menggunakan alat transportasi sungai berupa rakit dan perahu untuk pergi ke Kotaraja.
Dan hari ini mereka melihat hal yang menyenangkan. Air sungai Tambra begitu jernih, sehingga pemandangan di bawah air dapat terlihat dengan jelas.
“Hai lihat airnya bening sekali! Kita bisa melihat bebatuan dan pasir di dalamnya.”
“Iya, bahkan ikan-ikan yang bersembunyi di balik batu pun kelihatan!”
Nampak ikan-ikan penghuni sungai berkeliaran menampakkan dirinya. Ikan sungai yang montok dan gurih seperti Mujahir, Sepat, Tawes, dan ikan-ikan lainnya. Anehnya, ikan-ikan itu seperti menampakkan dirinya agar ditangkap manusia. Tubuh mereka yang biasanya licin, menjadi sangat mudah di tangkap. Bahkan oleh anak kecil sekalipun.
Hal itu menarik orang-orang untuk datang. Lalu mereka berebut masuk ke dalam air. Suasana pun menjadi ramai. Sambil tertawa gembira mereka mengambil ikan-ikan itu. Semua orang kebagian ikan untuk dibawa pulang. Kecuali Daningrum, dia dilarang ikut dalam kegembiraan ini. Bahkan dia diusir pulang oleh sebagian warga.
“Kau hanya akan membawa sial saja. Pergilah menjauh dari sungai!”
Air sungai yang tadinya bening pun menjadi keruh. Daningrum mengurungkan niatnya untuk mencuci. Kemudian dia pergi menyusuri sangai jauh ke arah hulu. Melewati cerukan batu dimana Badranaya menebarkan racunnya barulah dia berhenti.
“Ah, tempat ini begitu sepi. Aku bisa mencuci dengan tenang disini,” batinnya.
Sebenarnya dia juga merasakan keanehan itu. Tapi dia tidak mempedulikan lagi, apalagi orang-orang Jalatunda sudah seperti orang mabuk. Mereka tidak lagi berpikir jernih, karena otaknya dipenuhi kesenangan mendapatkan ikan dengan mudah.
Malam harinya Jalatunda berpesta. Dipimpin oleh Lurah Santika mereka menggelar makanannya di tengah tanah lapang. Ikan-ikan bergelimpangan di dalam mangkuk-mangkuk besar pula. Sayuran dan bermacam lalapan juga tersedia lengkap dengan sambal terasinya. Eyang Senthir yang diundang pun datang untuk memimpin doa.
***
Dan layaknya sebuah drama, episode pembuka pun di mulai. Keesokan harinya, saat warga terbangun dari tidurnya, tiba-tiba mereka merasakan gatal di sekujur tubunya. Kulit mereka berbintik-bintik merah. Semakin di garuk, semakin terasa gatal.
“Oh, kenapa sekujur kulitku terasa gatal sekali,” ujar Santika sambil melemparkan selimutnya. Kedua tangannya sibuk menggaruk kesana kemari. Dia segera melangkah keluar kamar untuk memetik daun ketepeng di kebun. Daun itu biasanya dapat meredakan rasa gatal.
Alangkah terkejutnya dia saat melihat para pengawal yang berjaga di Dalem Kelurahan juga mengalami hal serupa. Mereka juga sibuk menggaruk dengan kedua tangannya karena rasa gatal yang mendera. Bahkan ada yang menggesek-gesekkan punggungnya di tiang saka pendopo kelurahan.
“Kalian juga merasa gatal?” tanya Santika.
“Benar ki Lurah. Sejak fajar merekah tadi, tiba-tiba sekujur tubuh kami merasa gatal,” sahut mereka. Kepala pengawal juga melaporkan bahwa di pasar, di sawah, di sungai, di kebun dan di semua tempat semua orang merasa gatal.
Di Sanggar Pamujan, Eyang Senthir mendapat berita tentang penyakit gatal yang menyerang seluruh warga Jalatunda. Walaupun hadir dalam pesta, beruntunglah Acarya tidak mencicipi hidangannya. Karena dia memang berpantang memakan daging ikan dan telur.
“Rupanya firasatku benar. Akan ada bencana baru di Jalatunda,” batin sang Acarya.
“Bagaimana keadaan Daningrum dan Ken Darsih?”
Hanya Daningrum dan Ken Darsih yang terbebas dari wabah itu. Kulit tubuh mereka baik-baik saja. Apalagi Ken Darsih, tubuhnya anti racun karena di dalam tubuhnya mengalir darah siluman naga. Sedangkan Daningrum terbebas dari gatal karena dia tak tersentuh air yang tercemar dan tidak ikut makan pesta makan ikan tadi malam. Mereka bahkan tidak tahu kalau seluruh warga Jalatunda sedang mengalami wabah penyakit gatal pagi ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments
Rosananda
aku mampir
2021-10-26
1
Fira Ummu Arfi
likeeee
2021-05-17
2
👑Meylani Putri Putti
like love keren bgtttttt lanjut thor aku aja semangat baca nya, seperti novel tara zagita dulu yg suka ku baca. semoga sungai kapuas tdk beracun ya thor. salam dr pontianak. author dr mana?
# ketika takdir menyatukan aku dan mereka
2021-04-16
1