DIBALIK EMOTICON CINTA 1515
POHON CINTA
Selalu ada cinta dalam persahabatan. Karena persahabatan tidak akan terjadi kalau tidak ada dasar cinta di dalamnya. Dan rasa cinta itu bisa terus tumbuh dan berkembang karena ada dua hati yang saling mengerti dan saling memahami.
Kaki-kaki kecil Miryam berlari cepat, mengejar tubuh Santika yang berlari mendahulainya. Tubuhnya ringan melayang diatas ilalang yang kering. Angin musim kemarau berhembus kencang. Membawa debu yang menyakitkan mata.
“Aduh!” teriaknya kesakitan. Matanya terasa perih dan aneh, karena ada sesuatu yang mengganjal di kelopak matanya. Secara reflek kedua tangannya menggosok mata yang sakit.
Santika langsung berhenti, lalu berbalik menghampiri gadis kecil sahabatnya itu.
“Jangan gosok matamu Miryam” ujar Santika.
“Sini aku tiupin.”
Miryam menengadahkan kepalanya. Santika memegang wajahnya. Miryam memandang wajah Santika yang begitu dekat. Nampak kedua pipi Santika menggelembung karena menahan angin di dalam mulutnya. Lucu sekali, gadis kecil itu jadi ingin tertawa.
“Wush!” Santika meniup matanya sekuat tenaga.
“Aduh!” teriak Miryam sekali lagi.
Santika terkejut. “Kenapa Mir? Batunya sudah keluar kan?”
Miryam mengangguk.
“Batunya sih sudah keluar.”
“Lalu?”
“Air ludahmu masuk ke dalam mataku.”
Hahaha…mereka tertawa tergelak sampai keluar air mata...
“Miryam!” panggil ayahnya. Miryam menoleh, lalu melambaikan tangannya kepada ayahnya, Ki Jogoboyo.
“Santika aku pulang dulu ya?” kata Miryam sambil menatap Santika lagi.
Santika menganggukkan kepalanya, tapi kemudian memegang tangan Miryam.
“Ini untukmu.”
“Hah? Ini kan bibit pohon jambu? Buat apa?” Miryam penasaran.
Santika menggeleng cepat. “Bukan! Ini Pohon Cinta.”
Miryam mengerenyitkan keningnya. Lalu tersenyum.
“Huh! Dasar makhluk aneh.”
“Biarin. Biar aneh tapi ganteng.”
Huu..bibir Miryam jadi monyong.
Hahaha..mereka tertawa lagi. Lalu terdiam, menikmati senja. Warna tembaga mentari sore menandakan bahwa waktu bermain telah usai.
“Aku tanam dimana pohon jambu ini, Santika?”
Santika menggelengkan kepalanya sambil menatap mata indah itu.
“Oh, pohon cinta,” ujar Miryam sambil tertawa.
“Tanam saja di halaman rumahmu, biar mudah aku mencarinya,” sahut Santika.
Mereka tertawa lagi sampai ki Jogoboyo melambaikan tangannya, memberi tanda agar Miryam segera pulang ke rumahnya.
***
Sepuluh tahun kemudian, tahun 1515 Masehi. Di sebuah tempat hiburan dan perjudian yang dinamakan Kalangan, suara gamelan berkumandang di siang hari yang panas. Para Ronggeng, melenggak-lenggok diatas panggung. Bergoyang membasahi tubuhnya dengan aroma keringat yang bercampur dengan wewangian penarik syahwat laki-laki.
“Goyang terus. Tarik Mang!”
Suara tawa dan caci maki terdengar riuh rendah. Tuak, arak dan ciu tersaji dimana-mana.Orang-orang setengah mabuk menari dalam gerak yang tak beraturan.
Lalu gadis-gadis datang ke pertunjukkan bagai bunga-bunga yang siap dihisap para kumbang. Dengan pakaian yang tipis dan ketat, menonjolkan bagian dada dan memperlihatkan perutnya.
Perempuan-perempuan yang tidak peduli lagi dengan masalah kehormatan.
Dari atas sebuah menara bambu, Dhadungawuk, mengawasi keadaan. Perawakannya yang tegap dan berotot membuatnya nampak begitu gagah berdiri diatas menara.
“Dadhung! Lihat dibawah ada yang berulah!” teriak Wiro, salah satu anak buahnya.
Seorang pemuda menjadi bulan-bulanan sekelompok laki-laki lainnya. Diantara suara teriakan dan sumpah serapah, tubuhnya dihujani pukulan dan tendangan hingga jatuh tersungkur. Darah mengalir dari mulut dan hidungnya. Dadhung melenting turun ke bawah.
“Kenapa kalian memukulinya?”
“Dia mencuri uang dari bandar,” jawab salah satu dari mereka.
Dadhungawuk menatap tajam seeorang di belakang meja besar tempat perjudian, lalu memberi tanda agar orang itu mendekat. Dengan kaki gemetar sang bandar menghampirinya.
“Berapa uang yang sudah dihabiskan di kalanganmu?”
“Seratus keping uang emas”
Wajah Dadhung mengeras, menunjukkan ketidaksukaannya. Orang-orang terdiam. Tangannya bergerak cepat. Tanpa diduga dia menempeleng kepala sang bandar judi.
“Semua orang yang datang ke Kalangan adalah tamuku. Tidak boleh ada yang bertindak melebihi batasanku!” teriaknya.
Bandar dan teman-temannya mundur ke belakang. Mereka semua tahu akibatnya kalau Dadhungawuk marah. Seperti membangunkan harimau yang sedang tidur.
“Wiro,” panggil Dadhungawuk kepada Junggul Wiro, orang kepercayaannya.
Lelaki nertubuh raksasa itu datang mendekat. Lalu berjongkok seperti memeriksa pemuda yang terkapar itu. Wajah pemuda itu nampak bersih pertanda kalau dia bukan orang biasa. Memakai pakaian sutera berwarna ungu tua dengan sulaman benang emas, seperti pakaian orang-orang kaya di Kotaraja.
“Kau mengenalnya?” tanya Dadhungawuk.
Wiro mengernyitkan keningnya, seperti mengingat-ingat sesuatu. Tapi kemudian menggelengkan kepalanya.
“Tidak. Tapi melihat pakaiannya dia pasti sering ke Kotaraja,” katanya.
Dadhungawuk menangkap kata-kata orang kepercayaannya itu. Artinya pemuda mabuk yang tergeletak berlumuran darah itu bukanlah orang biasa dan juga bukan orang Jalatunda. Wajahnya memerah, pertanda dia semakin marah. Suasana menjadi tegang.
“Hiya! Hiya!” terdengar derap kaki-kaki kuda yang berlari mendekat. Nampak debu jalanan mengepul di belakangnya.
“Berhenti!” teriak orang yang berkuda paling depan.
Di depan Kalangan mereka berhenti, tertarik dengan keributan yang terjadi di Kalangan. Dadhungawuk memperhatikan mereka.
Rupanya serombongan pemburu yang baru pulang dari hutan. Pemimpin mereka, seoarang laki-laki muda, langsung turun dan berjalan ke dalam Kalangan. Beberapa pengawalnya ikut turun. Di belakangnya, sekelompok orang membawa keranjang besar terikat di punggungnya. Bau anyir darah hewan korban perburuan langsung menyengat.
“Ada masalah apalagi Dadhung?” tanya pemuda itu tanpa memandang Dadhungawuk.
Wajahnya begitu tenang dan bening seperti air telaga. Kulitnya putih dan matanya menatap lurus ke depan. Pertanda kalau pemuda ini memiliki kecerdasan diatas orang-orang lainnya. Yang jelas dia adalah tipe pemuda yang memiliki kekuasaan.
Seketika anak buah Dadhungawuk langsung merapat di belakangnya, siap untuk bertarung. Suasana menjadi semakin menegangkan. Beberapa penjudi memilih pergi keluar lalu memperhatikan peristiwa itu dari luar Kalangan. Dadhungawuk tetap berdiri tegak, namun wajahnya menunjukkan rasa sungkan. Rupanya pemuda ini benar-benar bukan orang sembarangan.
“Hanya masalah kecil Santika. Tidak ada urusannya denganmu,” ujar Dadhungawuk seolah sedang mengusir putera Lurah Jalatunda itu.
Namun Santika, putera Lurah Jalatunda, terus berjalan. Bahkan dengan tenangnya melewati Dadhungawuk. Tanpa menghiraukan berandal desa itu, dia mendekati korban pengeroyokan tadi. Diamatinya dengan seksama, betapa terkejutnya Santika. Sambil berjongkok, dia memberi tanda para pengawalnya agar cepat menolongnya.
“Darsin, kemarilah. Segera tangani pemuda ini,” perintahnya.
Lalu dia berdiri dan berbalik kembali memandang Dadhungawuk dan anak buahnya. Wajahnya kali ini nampak marah.
“Tidak ada urusannya denganku?” tanya Santika balik bertanya. Lalu dengan suara keras dia berkata, “ Tidak ada sesuatu pun yang terjadi di desa ini yang bukan urusanku! Bahkan seekor semut pun, bila mau masuk ke desa ini, dia harus meminta ijinku!”
Dadhungawuk tak bereaksi, tapi hatinya dipenuhi tanda tanya. Kenapa Santika begitu marah? Sesuatu yang jarang dilihatnya. Sesungguhnya Santika adalah teman kecilnya. Namun mereka berasal dari keluarga yang berbeda. Santika adalah putera Ki Reksoyudho Lurah Jalatunda, sedangkan dia adalah putera mbok Radis, juru masak di Dalem Kelurahan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments
Indah Nihayati
baguss
2022-03-01
0
Ummu Sakha Khalifatul Ulum
Semangat 💪💪💪
2021-12-12
1
Li Permana
Wah, baru mulai baca ada adegan romantis kayak gini. Jadi kebawa suasana melihat kedekatan antara kedua sahabat ini ...
Miryam pasti bakalan memiliki perasaan kepada santika nih kayaknya😆😆
2021-10-26
2