MUSLIHAT BADRANAYA
Kata orang bijak, dunia hanyalah sebuah tipuan. Segala sesuatu yang nampak oleh mata seringkali tidak sesuai kenyataannya. Namun hati selalu mengatakan kebenaran. Maka jagalah hatimu dan dengarkan selalu kata-katanya agar kau tidak mudah tertipu dunia.
Awan gelap masih menggelayut di langit Jalatunda. Kematian dua pemimpin mereka. Lurah Reksoyudho dan ki Jogoboyo, begitu tragis dan memilukan. Eyang Senthir yang datang terlambat merasa begitu menyesal karena kehilangan dua sahabatnya sekaligus. Santika terpuruk di depan jazad ayahnya, hatinya dipenuhi rasa amarah dan dendam. Di depan matanya sendiri, Panembahan mencabut kepala ayahnya tanpa belas kasihan. Padahal ayahnya sedang bersimpuh memohon maaf kepadanya.
“AYAAH!!” teriaknya mengguntur. Matanya nanar menatap langit.
Eyang Senthir menyentuh bahu Santika perlahan.
“Sabarlah anakku. Semua sudah terjadi. Pasti ada kebaikan yang akan kita dapatkan dari peristiwa ini,” bisiknya.
Santika tak bergeming. Baginya kematian ayahnya adalah hari yang paling buruk dalam hidupnya. Dan dia bertekad untuk membalasnya suatu saat nanti.
“Santika, kita perlu segera menyucikan jazad mereka,” kata Acarya lagi.
Dihampirinya putera Lurah Jalatunda itu sambil memberikan kayu bakar yang telah menyala.
Santika menerimanya dengan tangan bergetar. Lalu dibakarnya tumpukan jerami didepannya. Diatas tumpukan jerami terbaring jazad Lurah Rekso dan Ki jogoboyo. Api membubung tinggi karena jerami kering yang cepat terbakar. Menambah merah warna langit di sore itu. Diiringi doa-doa dari Eyang Senthir, rakyat desa Jalatunda memberikan penghormatan terakhirnya kepada Lurah Reksoyudho dan ki Jogoboyo.
***
Selesai upacara Santika menemui Badranaya. Eyang Senthir berdiri di belakangnya. Santika mengucapkan terimakasih untuk tindakan Badranaya yang telah menyelamatkan dirinya dan orang-orang lainnya.
“Terimakasih? Aku bahkan dikalahkan oleh Panembahan,” sahut Badranaya merendah.
“Kekuatan apiku tidak sepadan dengan kesaktian Panembahan Somawangi.”
“Paling tidak tindakan kisanak telah membebaskan kami dari maut.”
Eyang Senthir memandang dalam-dalam sosok Badranaya. Tapi mata batinnya tidak dapat menembus selubung yang melindungi tubuh Badranaya. Luar biasa, batinnya.
“Sebenarnya ada perlu apa kisanak singgah di desa kami?” tanya Santika lagi.
“Namaku Badranaya. Aku pengembara yang tidak punya tempat tinggal. Tadinya aku bermaksud mengunjungi Kalangan untuk berjudi, tapi rupanya tempat judi itu ditutup sejak peristiwa Glagah Jenar,” jawab Badranaya.
.“Aku sempat melihat apa yang dilakukan Panembahan Somawangi kepada Lurah Rekso dan Jogoboyo.”
Santika menghela nafas mendengar kata-kata Badranaya. Beberapa saat mereka terdiam. Rupanya Santika memiliki maksud tertentu dengan pengelana asing ini.
“Kalau Ki Badra berkenan, tinggallah bersama kami di desa Jalatunda. Kami membutuhkan orang-orang seperti Ki Badra,” ujar Santika kemudian.
Eyang Senthir tersentak kaget. Mereka tidak tahu siapa Badranaya, kenapa Santika menawarkan tempat tinggal kepadanya? Badranaya melihat reaksi Eyang Senthir. Dia tahu dia harus berhati-hati dengan laki-laki tua itu.
“Maaf nanda, tapi aku bukan orang yang suka tinggal di satu tempat untuk waktu lama. Aku adalah pengembara, yang lebih suka tidur di atas dahan daripada di atas dipan,” ujarnya sedikit berbasa-basi.
Tapi Santika berusaha menegaskan kalau dia membutuhkan kehadiran Badranaya.
“Kalau begitu cobalah kali ini untuk tinggal. Desa ini membutuhkan orang seperti ki Badra. Panembahan Somawangi bisa datang sewaktu-waktu untuk menuntaskan dendamnya,” desaknya.
Namun Ki Badra tak bergeming, dia tetap ingin melanjutkan perjalanannya. Santika memandang Eyang Senthir seperti memintanya untuk meyakinkan ki Badranaya. Sang Acarya menganggukkan kepalanya.
“Ada benarnya kata-kata nanda Santika. Seberapa jauhpun kita berjalan, pada akhirnya kita akan lelah dan membutuhkan tempat untuk berhenti sejenak,” kata Eyang Senrhir bijak.
“Tinggallah bersama kami untuk memulihkan suasana kebatinan warga desa.”
Sesaat mereka terdiam. Nampak kening Ki Badra berkerut, mungkin sedang menimbang keputusannya. Sementara Santika diam menunggu.
“Baiklah. Aku akan tinggal selama kalian membutuhkan,” ujar ki Badra akhirnya.
Santika tersenyum. Di luar angin berkesiur lembut membawa aroma bau busuk yang entah darimana datangnya. Mungkin dari mulut Badranaya yang sedang memainkan muslihatnya.
***
Eyang Senthir sangat terkejut ketika mendapati jazad Glagah Jenar dan tubuh Miryam hilang dari Sanggar Pamujan. Dari cerita para cantriknya, Eyang Senthir dapat memastikan pelakunya adalah Panembahan Somawangi. Dia telah membawa jazad puteranya sekaligus menculik tubuh Miryam dari bilik perawatan.
‘Tapi untuk apa Panembahan membawa serta tubuh Miryam?’ batin Eyang Senthir.
Ah, begitu banyak pertanyaan yang tiba-tiba menyelimuti pikirannya. Namun dia tidak pernah berpikiran kalau sesungguhnya Panembahan Somawangi tertarik dengan kecantikan Miryam. Yang jelas, berita hilangnya gadis itu harus dijaga kerahasiaannya. Dia ingin tahu apa maksud sang Panembahan menculik tubuh Miryam dari Sanggar Pamujan.
“Owh, inikah yang disebut orang Sanggar Pamujan?” satu suara tiba-tiba mengagetkan Eyang Senthir. Dia menoleh ke belakang dan melihat Badranaya sedang berdiri di luar pintu Sanggar.
“Oh, ki Badra rupanya. Silahkan masuk,” sahut Eyang Senthir. Betapa tinggi ilmu Badranaya, sampai dia tidak mampu mendeteksi kehadirannya.
“Terimakasih Acarya, mungkin lain waktu saja. Aku sedang berjalan-jalan mengelilingi desa agar lebih mengenal suasananya,” kata ki Badra berbasa-basi.
Eyang Senthir segera berjalan keluar untuk menyambut tamunya. Tapi Badranaya tetap menolak untuk singgah di Sanggar Pamujan.
“Sekali lagi terimakasih. Benar-benar saya ingin berkeliling ke setiap sudut desa ini.”
Sebenarnya Badranaya tidak berani memasuki Sanggar Pamujan. Siluman naga seperti dia pasti akan terpental begitu memasuki pintu gerbang bangunan suci ini. Selain itu dia juga tidak punya kepentingan untuk menemui Eyang Senthir kecuali mencari keberadaan Miryam. Dengan indera penciumannya dia tidak menemukan keberadaan gadis yang telah menyentuh hasratnya itu.
‘Tampaknya Miryam tidak berada di tempat ini’ batinnya.
Badranaya memang harus bertemu Miryam, karena di dalam rahim gadis itu sedang tumbuh janin yang berasal dari benihnya.
‘Aku tidak akan bisa melampiaskan dendamku menghabisi rakyat Jalatunda, sebelum menemukan Miryam dan anakku,’ batinnya lagi. ‘Kalau aku salah melangkah, bisa-bisa anakku menjadi korban dari rencanaku sendiri.’
Badranaya melirik Eyang Senthir yang juga sedang memandanginya.
‘Sebaiknya aku pergi saja, sebelum laki-laki tua ini semakin mencurigaiku.”
Badranaya pun segera berpamitan untuk melanjutkan perjalanan.
“Kalau begitu aku pamit dulu Acarya. Maaf telah mengganggumu,” ujarnya.
Akhirnya Eyang Senthir mempersilahkan Badranaya pergi. Walaupun hatinya di penuhi tanda tanya melihat tingkah Badranaya. Dia merasa ada sesuatu yang sedang dicari Badranaya di tempat ini.
“Baiklah, Ki Badra. Terimakasih juga sudah datang ke Sanggar Pamujan. Semoga lain waktu Ki Badra bersedia singgah sambil minum bersamaku,” sahut Acarya.
Badranaya pun segera meninggalkan Sanggar Pamujan. Sambil berjalan, Badranaya menepuk kepalanya sendiri. Hampir saja dia bertindak bodoh. Untung laki-laki tua itu tidak menaruh curiga kepadanya. Dia jadi tertawa sendiri. Dia tidak sadar kalau tingkah lakunya diawasi sang Acarya, Eyang Senthir.
Terimakasih berkenan membaca karyaku
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments
Cahaya
Semangat Thor 🔥😁
2021-08-29
1
Little Peony
Semangat Thor ✨✨✨✨
2021-08-24
1
Alana Alisha 🌻
mantapp
2021-06-05
1