LELAKI-LELAKI KESEPIAN
Bersedih hati dengan orang yang tepat itu lebih baik daripada berbahagia dengan orang yang salah. Sejak pertemuannya dengan Miryam, si Mawar Jalatunda, Badranaya memang menyimpan rasa cinta kepadanya. Kecantikan Miryam bahkan sampai membuat Badranaya lupa dengan janji kepada isterinya untuk memusnahkan seluruh darah keturunan Jalatunda. Lupa dengan kematian putera satu-satunya. Apalagi saat mendengar tangis anaknya saat lahir ke dunia, dia seperti sudah melupakan dendam kesumatnya.
“Miryam telah melahirkan bayinya. Anakku telah lahir ke dunia,” batinnya. Rasa bahagia langsung menyergap hatinya.
“Sabarlah anakku. Aku pasti akan menemukanmu.”
Badranaya merapikan bajunya. Lalu berjalan keluar dari gua siluman. Setelah memastikan keadaan aman, di segera meloncat ke dahan pohon yang paling tinggi. Dari tempat itu dia bisa melihat jauh ke bawah bukit.
“Sepertinya tangis anakku terdengar dari kaki bukit. Baiklah. Rupanya ada yang ingin menguji nyali denganku. Lihat saja, aku pasti akan menemukan anakku,” batinnya.
Seperti bayangan, tubuh Badranaya begitu ringan melompat dari satu pohon ke pohon lainnya. Indera pendengarannya yang sangat tajam dapat mendengar suara anaknya yang menangis, walaupun hanya sesaat saja.
“Miryam dan anakku diselubungi kekuatan gaib yang tidak bisa aku tembus.
Satu-satunya orang yang mungkin memiliki kemampuan seperti itu hanyalah Acarya. Tapi tidak ada tanda-tanda kalau Acarya mengetahui keberadaan Miryam,” batinnya.
Dalam beberapa kesempatan memang Lurah Santika selalu menanyakan keberadaan Miryam kepada Acarya di depan Badranaya. Tetapi Acarya selalu mengatakan dia tidak tahu keberadaan Miryam. Dan Badranaya melihat sendiri bagaimana wajah ki Lurah nampak sedih. Semua orang Jalatunda tahu kalau sebenarnya lurah mereka mencintai Miryam.
“Persetan kalau Lurah Santika suka sama Miryam, yang jelas dia harus berhadapan dulu denganku” batin Badranaya.
Tanpa kenal lelah Badranaya terus berlari dan berlari, mengitari bukit Grilangan dan sekitarnya. Bahkan menjelajah desa sampai ke sudut-sudut yang tersembunyi, mencari Miryam dan anaknya. Namun mata batinnya tetap tidak bisa menemukan keberadaan mereka.
Menjelang tengah malam akhirnya dia tiba di sebuah rumah tua. Entah kenapa mata batinnya menyuruhnya untuk berhenti. Diamatinya rumah tua di depannya itu. Nampaknya kosong tak berpenghuni. Padahal rumah itu sebenarnya cukup indah namun tak terawat. Rumah besar yang tertutup semak belukar dan pepohonan yang merambat kesana kemari.
“Rumah siapa ini? Mengapa ada desiran halus di dalam hatiku,” kata hatinya.
Dengan sikap waspada Badranaya mulai melangkah mendekati pintu gerbang yang terkunci. Pandangannya kembali berputar seakan dia mencium bau manusia di sekitar itu.
“Apakah ini rumah Miryam?” batinnya.
“Baiklah, Aku akan masuk ke dalam.”
Mendadak langkahnya terhenti. Indera pendengarannya yang tajam menangkap sesuatu. Sayup-sayup dia mendengar suara seseorang sedang menyanyikan tembang Asmarandhana. Persis tembang yang dinyanyikan Miryam saat Badranaya pertama kali bertemu gadis itu di sungai Tambra. Badranaya mundur satu langkah karena terkejut, suara yang menyanyikan tembang itu adalah suara seorang laki-laki.
“Siapa yang bernyanyi dari dalam rumah tua yang tak berpenghuni ini?” gumamnya.
Sshh, mulutnya mendesis. Badranaya bersikap waspada. Dengan kemampuannya sebagai siluman naga, dia memasuki pintu gerbang rumah tua itu melalui sebuah lubang kunci. Begitu masuk Badranaya terhenyak dengan apa yang dia lihat. Seorang lelaki muda sedang duduk terpekur di bawah pohon jambu air. Sebatang lilin menyala dengan api kecil. Dari mulutnya terdengar senandung lagu kesukaan Miryam. Dan Badranaya mengenalnya.
“Lurah Santika?” ucapnya tak tertahan.
Santika menghentikan senandungnya. Dia terkejut, sama sekali tidak mendengar suara seseorang masuk rumah itu. Karena semua pintu telah dikuncinya dari dalam. Begitu melihat Badranaya, Santika menjadi maklum. Tidak heran kalau sosok sakti itu bisa masuk ke dalam pekarangan tanpa harus membuka pintunya.
“Ki Badra? Kau datang kesini?” tanya Santika.
“Aku sedang lewat ketika mendengar suara orang menyanyi. Jadi aku masuk karena aku kira ini adalah rumah kosong,” sahut Badranaya.
Santika menjadi jengah.
“Aku memang sering datang kesini malam hari untuk bernyanyi,” ujarnya.
Badranaya tersenyum.
“Memangnya ini rumah siapa?”
“Oh ini rumahnya paman Jogoboyo.”
Kening Badranaya mengkerut, seperti mengingat sesuatu.
“Maksudmu Jogoboyo yang dibunuh oleh Panembahan Somawangi?”
Santika menganggukkan kepalanya.
“Lalu kenapa kau menyanyikan tembang asmara?” tanya Badranaya lagi.
Santika tersenyum. Dia merasa sungkan nyanyiannya terdengar oleh ki Badra.
“Sedang mengenang masa lalu Ki. Kebetulan puteri Ki Jogo adalah sahabat kecilku.”
Badranaya tersenyum lebar sambil mengangguk-anggukan kepalanya.
“Dan kalian pasti sering menyanyikan lagu itu.”
Santika menggelengkan kepalanya.
“Tidak ki. Asmarandhana adalah tembang kesukaan Miryam. Dia yang selalu menyanyikannya saat kami sedang bermain berdua.”
Miryam? Jadi benar ini rumah Miryam? batin Badranaya. Dan Santika sering bermain berdua dengannya? Darah Badranaya langsung naik ke ubun-ubun. Dia hampir saja membunuh Santika dengan racunnya, saat mendengar langkah kaki keluar dari kegelapan.
“Selamat malam, Ki Badranaya, “ sapa orang itu.
“Carik Dadhungawuk?” kata Badranaya sambil mempertegas penglihatannya. “Kau juga ada disini?”
Dadhungawuk menganggukkan kepalanya.
“Aku hanya menemani ki Lurah saja” katanya.
Dadhungawuk memang tidak pernah menyintai Miryam. Rupanya dia tahu batasannya. Dia hanyalah berandal desa yang biasa bergaul dengan perempuan-perempuan sundal yang lebih mementingkan kesenangan daripada kehormatannya. Tentu saja dia pernah ‘mencicipi’ beberapa dari mereka. Tapi semenjak melihat tubuh Miryam tergeletak telanjang di tepi sungai Tambra, Dadhungawuk seperti terobsesi dengan Miryam. Mungkin dia tidak menyintainya tetapi dia menginginkannya. Paling tidak sebelum dia menemukan perempuan yang tubuhnya semolek Miryam.
“Mengapa Ki Badra malam-malam berjalan sendirian. Ada yang kau cari?” tanya carik Dadhungawuk.
Badranaya menggelengkan kepalanya.
“Aku hanya mencari angin, sambil mengawasi keamanan desa,” kilah Badranaya.
Dadhungawuk mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu duduk di atas sebuah potongan kayu di sudut halaman. Mendengarkan lurah Santika menyanyikan lagu Asmarandhana sampai selesai.
Sementara Badranaya tetap berdiri di bawah pohon jambu. Mengamati kerlip api lilin di malam sunyi. Seperti gejolak dalam hatinya yang terus merasa gelisah. Ah, ternyata mereka terobsesi dengan perempuan yang sama. Dalam dinginnya malam yang begitu gelap, mereka meratapi nasib mereka sebagai lelaki-lelaki kesepian.
***
Di Somawangi, Panembahan masih terjaga dari tidurnya. Disampingnya Miryam, tergolek dengan selimut menutupi separuh tubuhnya, tertidur dengan pulas. Nafasnya mengalun begitu teratur. Mungkin kecapaian, setelah Panembahan menggumuli tubuhnya semalaman. Masih nampak butir-butir keringat yang belum kering di leher isterinya. Bahkan keringat di tubuh Panembahan sendiri masih menetes.
Wajah Panembahan Somawangi sepertinya sangat kesal. Hampir setahun Miryam menjadi isterinya, tapi dia belum berhasil merobek keperawanannya. Miryam masih suci. Karena peralatan kejantanan Panembahan tidak berfungsi sebagaimana layaknya laki-laki. Seperti mata air yang tersumbat. Akhirnya menumpuk dan meledak dalam amarah. Panembahan marah kepada dirinya sendiri.
Terimakasih berkenan membaca karyaku
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments
The Taste Of Love👩🍳👨🍳
like
2021-07-27
1
Nona Bucin 18294
😊👍👍🤗
2021-05-28
1
Fira Ummu Arfi
semangattttt
2021-05-10
2