WIDAKRO
Pandanglah hari ini sebagai hari yang penuh dengan pengharapan sekalipun di tengah penderitaan. Ken Darsih tumbuh menjadi anak yang buruk rupa. Mungkin kalau ada lomba anak jelek sedunia, dialah juaranya. Dia benar-benar gadis yang buruk rupa. Kepalanya hampir gundul karena hanya memiliki enampuluh helai rambut. Giginya juga hampir ompong karena hanya ada dua yang tumbuh. Itulah mengapa kemudian dia dipanggil Widakro oleh orang-orang desa, singkatan dari kata rambute sewidak untune loro (Jawa) artinya rambutnya enampuluh giginya dua. Tidak ada orang yang tahu kalau nama sebenarnya adalah Ken Darsih.
Ken Darsih dan ibunya hidup menyendiri di kaki bukit Grilangan. Tidak ada orang yang mau hidup berdekatan dengan mereka. Disamping tempatnya gelap karena tertutup lebatnya dedaunan hutan, rumah mereka juga jauh dari pemukiman lainnya. Apalagi di hutan sekitar Grilangan masih banyak binatang liar yang berbahaya.
Selain Eyang Senthir, tidak ada orang yang mau menginjak halaman rumahnya. Apalagi sejak kelahiran Ken Darsih, banyak sekali ular yang terlihat di sekitar pekarangan. Ada yang melingkar di atas dahan-dahan pohon. ada yang tersembunyi di dalam lubang tanah, ada yang menyamar dibalik tumpukan dedaunan dan ada pula yang melingkar di atas atap rumah. Anehnya, Ken Darsih malah menjalin persahabatan dengan beberapa ekor ular. Setiap ada Ken Darsih, pasti teman-teman ularnya ada di sekitarnya.
“Mungkin Widakro anak siluman ular,” ujar seorang ibu waktu mencuci baju di sungai.
“Ih, jangan bicara sembarangan jeng. Pamali,” sahut ibu yang lainnya.
“Kalau aku sih percaya. Lihat wajahnya yang buruk, seperti wajah binatang. Mulutnya juga mendesis seperti ular,” sambung perempuan setengah baya.
Ya, kegiatan mencuci bersama memang telah berubah menjadi semacam komunitas ngerumpi yang menyakiti hati. Tentu saja obrolan mereka terdengar sampai ke telinga Daningrum, tapi dia tetap mengabaikannya.
“Ibu mau ke sungai. Jangan keman-mana Darsih,” pesan Daningrum.
Daningrum melarang Ken Darsih masuk ke desa, karena itu hanya akan membuatnya terluka. Tidak ada anak-anak yang mau bermain dengannya. Mereka takut melihat wajahnya. Pernah suatu hari, tanpa sepengetahuan ibunya, Ken Darsih masuk ke desa. Menghampiri kerumunan anak kecil yang sedang bermain gembira. Tapi mereka malah lari ketakutan.
“Hah? Ada Widakro. Bubaar,” teriak salah satu anak saat melihat Ken Darsih menghampiri mereka.
“Hantuu! Lari ada hantuu!” teriak yang lainnya sambil berlarian kesana kemari.
Sambil berlari mereka akan mengejeknya. Ada yang memonyongkan mulutnya, ada yang memamerkan pantatnya, ada juga yang meledeknya dengan suara ular.
“Anak setaan, anak ulaar, anak setaaan, anak ulaar,” teriak mereka bersahut-sahutan.
Kalau sudah begitu wajahnya menyeringai karena marah. Lalu mulutnya mendesis seperti ular, sshhh... Anak-anak itu semakin takut. Bahkan bayi pun menangis bila melihat raut wajahnya.
“Hush! Pergilah menjauh dari kami Widakro!” bentak ibu-ibu yang marah karena anak bayinya gelisah saat dia berada didekatnya.
“Dasar anak muka setan!”
Saat bertemu anak-anak yang lebih besar, mereka akan mengejeknya. Bahkan ada yang melemparinya dengan batu dan kotoran.
“Hai! Pergilah yang jauh! Jangan mendekati kami!”
“Ini makan kotoran sapi!” kata satu anak sambil melempar kotoran ke tubuhnya.
Akibatnya dia pulang dengan keadan tubuh kotor dan penuh luka berdarah.
Ibunya selalu menangis melihat keadaannya. Dibersihkanya seluruh tubuhnya dengan air hangat, kemudian luka-lukanya diobati. Sambil menggendongnya, ibunya akan berdoa agar suatu hari nanti Tuhan merubahnya menjadi gadis yang cantik jelita.
“Tabahlah cah Ayu. Suatu saat Tuhan pasti akan membalikkan keadaanmu menjadi gadis jelita yang mereka puja,” doanya dalam keputusasaannya.
***
Keadaan Daningrum dan puterinya yang hidup menderita, menjadi perhatian Acarya. Dia memanggil Tusin, satu-satunya cantrik yang tersisa, untuk menghadapnya.
“Kenapa kau tidak mau menggantikan posisi Gutun menjadi suami Daningrum?” tanya sang Acarya.
“Pada dasarnya aku memang tidak menyintainya Guru,” sahut Tusin.
Eyang Senthir tersenyum. Sang Acarya tahu bahkan cinta Tusin kepada Daningrum lebih besar daripada cinta yang dimiliki Gutun.
Hanya saja Tusin tidak memiliki keberanian untuk memikul tanggung jawab seperti Gutun.
“Atau kau enggan hidup satu rumah bersama Ken Darsih?” tanya Acarya lagi.
Tusin tidak bersuara dan hanya menundukkan kepalanya.
“Kau akan menyesali apa yang telah kau putuskan anakku,” ujar Eyang Senthir.
Lalu Acarya berdiri. Mengambil kotak makanan, diisinya dengan jajanan yang ada di meja makan, lalu berkata lagi.
“Aku pergi sebentar untuk menengok Daningrum dan cucuku Ken Darsih.”
Setelah berkata begitu, Eyang Senthir melangkah keluar dari Sanggar Pamujan diiringi tatapan penuh tanda tanya di hati Tusin.
‘Apa maksud Acarya?’ batinnya.
Dia tidak bisa membohongi hatinya, kalau sebenarnya dia juga menaruh hati kepada Daningrum. Namun hatinya dipenuhi bayangan ketakutan karena keberadaan Ken Darsih.
***
“Eyang! Eyang!” teriak Ken Darsih begitu melihat Acarya dari kejauhan.
Lalu dia berlari menyongsong satu-satunya orang yang menyayanginya selain ibunya. Eyang Senthir mengangkat tubuh kecil Ken Darsih dan melemparkannya ke udara. Kemudian dipeluknya gadis kecil itu dengan penuh kasih sayang. Anehnya begitu melihat kedatangan sang Acarya, ular-ular yang berada disekeliling rumah Daningrum langsung pergi menghilang.
“Salam Guru,” sapa Daningrum sambil mencium tangan dan kaki Acarya.
Eyang Senthir duduk diatas dipan bambu di depan rumah sambil mendinginkan tubuhnya. Perjalanan dari Sanggar Pamujan ke kaki bukit Grilangan membuat tubuhnya menjadi gerah. Daningrum menyajikan minuman kesukaan Acarya yang sengaja dia buat khusus untuknya, sari madu dan perasan empu jahe yang manis dan hangat.
Sementara Ken Darsih tidak mau lepas dari pelukannya, menggelayut manja di tubuh Acarya.
“Kakek bawa apa,” tanya Ken Darsih sambil melihat kotak yang dibawa Acarya.
“Kakek membawa oleh-oleh kesukaanmu. Kue Puthu yang manis,” sahut Acarya.
“Hore!” gadis kecil itu bersorak gembira. Disambutnya kotak makanan yang ada di tangan Eyang Senthir. Kemudian dengan lahap dimakannya kue puthu itu sampai habis. Eyang Senthir sampai tertawa sendiri melihat tingkahnya.
“Jagalah anakmu dengan baik Daningrum,” katanya beberapa saat kemudian.
“Apa yang terjadi Guru?” tanya Daningrum cemas.
Eyang Senthir menghela nafas panjang. Diciumnya pipi Ken Darsih yang sudah tidur diatas pangkuannya.
“Aku mendapat firasat akan ada pageblug atau bencana yang akan melanda Jalatunda.”
“Pageblug?” tanya Daningrum tak mengerti.
“Desa Jalatunda akan terkena wabah penyakit yang berlangsung bertahun-tahun. Musim kering yang begitu panjang membuat sungai Tambra menjadi kering. Dan Jalatunda akan berubah menjadi desa yang miskin.
Desa yang penuh dengan kutukan,” ujar Eyang Senthir panjang lebar.
Daningrum terdiam dalam fikirnya. Dia menanggapi kata-kata Acarya dengan wajah yang datar. Ah, sudah terlalu banyak bencana yang dia rasakan dalam hidupnya. Dan dia sudah pasrah, ujian apalagi yang akan diberikan dewata kepadanya?
Terimakasih berkenan membaca karyaku
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments
siska A
hai thor...
ayo mampir kekaryaku juga yaa
salam dari"perjalanan hidup Eden "
2021-12-24
0
Little Peony
Like like like
2021-08-30
1
Cahaya
Mampir yah "SEPUPU TAPI MENIKAH"
2021-08-29
1