Pagi-pagi pak Aksara sudah mengajakku berkeringat. Setengah jam setelah salat subuh, dia mengajakku lari pagi mengelilingi komplek perumahan ini. Mau nolak tapi takut durhaka sama suami. Harusnya, di hari minggu pagi aku gunakan untuk tidur selepas salat. Eh, ini malah melakukan hal yang aku kurang sukai, yaitu olehraga.
"Pak sudah istirahat dulu, saya sudah keringetan." Tanganku mengusap peluh yang hampir menetes.
Napasku tersenggal-senggal akibat tidak pemanasan terlebih dahulu sebelum lari. Dasarnya, tidak terbiasa olahraga juga jadi cepat lelah. Pak Aksara berlari mundur menghampiriku.
"Kamu masih muda loh," ucapnya yang masih lari di tempat tepat di sampingku.
"Dasar tua," ujarku kesal. Aku kembali berlari karena tidak mau dianggap lemah oleh orang yang lebih tua dariku.
Dia malah menyeret kaosku dari belakang untuk menghentikan aksiku. Sontak lahkahku berhenti karena tertahan oleh pak Aksara.
"Kalau sudah cape, jangan dipaksa." Dia sudah berdiri sejajar denganku.
Kakiku sudah sangat pegal. Aku memelih menepi di bahu jalan yang memang selalu sepi di komplel perumahan ini. Aku meluruskan kakiku untuk sedikit menghilangkan rasa pegal yang kudapat akibat lari pagi. Pak Aksara juga melakukan hal sama denganku. Naasnya lagi, kami tidak membawa air mineral untuk menghilangkan dahaga.
"Ayo, pulang." Pak Aksara bangkit dan mengulurkan tangan untukku.
"Bapak enggak lihat, aku masih kecapean kaya gini," kesalku menepis tangan pak Aksara yang berada di depanku. "Eh, bapak ngapain?" tanyaku saat melihag pak Aksara jongkok membelakangiku.
"Buruan naik, saya sudah haus." Pak Aksara menyuruhku untuk naik ke punggungnya.
"Tapi, pak."
"Atau saya tinggal." Ucapannya membuatku terbelalak.
Aku milih naik ke atas punggungnyalah, daripada nanti diculik sama orang yang lebih kejam dari pak Aksara. Pak Aksara mulai berjalan menggendongku. Beruntung, tidak ada dosen ataupun mahasiswa hang tinggal satu komplek dengan kami. Jarak tempuh yang lumayan dari kampus membuat mereka berpikir ulang jika mau tinggal di sini.
Dengan menahan rasa haus, pak Aksara menggendongku sampai depan rumah. Aku sudah meminta untuk menurunkan tubuhku di tengah perjalan, tapi dia monolaknya. Perintah suami tidak bisa dibantah.
Aku berlari menuju ruang makan untuk mengambilkan minum setelah pak Aksara menurunkan tubuhku. Aku menuangkan dua gelas air putih untuk kami berdua. Ternyata pak Aksara malah menghampiriku ke ruang makan. Dia meminum air putih yang aku suguhkan. Begitu juga denganku yang memilih duduk di kursi untuk meminum air.
"Makasih ya, pak. Sudah gendong saya sampai rumah."
"Emm," jawabnya singkat.
Sifat pak Aksara tidak pernah bisa kutebak. Kadang sweet, kadang ya kalian tahu sendiri. Mungkin, dulu mau jadi cewek tapi enggak jadi. Alhasil, hormon ceweknya masih ketinggalan sampai sekarang.
"Saya mandi dulu," pamit pak Aksara.
Aku membereskan bekas gelas pak Aksara. Aku mencucinya bersama gelasku. Ibu masih belum keluar dari kamarnya, sebenarnya ibu sudah bangun, tapi dia sepertinya masih membereskan kamarnya sendiri.
Aku masuk ke kamar dan merebahkan diri sambil menunggu giliran mandi. Ngantuk, juga kalau menunggu sambil rebahan. Aku tidur ayam sambil menunggu pak Aksara keluar dari kamar mandi.
Di dalam kamar mandi terdengar gemericik air yang jatuh mengenaik kulit tubuh seseorang. Sisa air mengalir entah kemana, menembus bumi. Hanya aroma sabun yang kemarin lelaki itu beli.
"Kamu tidur?" Suara itu menyadarkanku dari tidur.
"Cuma pejamin mata doang kok, pak."
Aku menyambar handuk yang ada di depan kamar mandi. Aku tidak ingin memperlihatkan wajah bantalku ke pak Aksara. Meskipun, matahari sudah terbit, tapi air yang menyentuh kulit tubuhku masih terasa dingin. Berkat sentuhan air di tubuh membuatku tersadar sepenuhnya. Tersadar juga kalau aku tidak membawa baju ganti.
Awalnya tidak menjadi masalah jika aku tidak membawa baju ganti ke kamar mandi, tapi sekarang di dalam kamarku ada pak Aksara. Sialnya, baju yang kupakai tadi sudah dilemparkan ke keranjang kotor. Sembari memutar otak, aku menyabuni tubuhku. Aku tidak ingin berlama-lama di dalam kamar mandi.
"Pak," teriakku di sela-sela pintu yang kubuka. "PAK AKSA." Aku meneriaki nama dia.
"Ada apa?"
"Aakkkhhh." Aku segera menutup pintu.
Pak Aksara muncul tiba-tiba di depan pintu kamar mandi. Sedangkan, aku tubuhku masih terlilit handuk saja.
"Hey, kenapa?" Dia menggedor pintu kamar mandi.
"Bapak hadap belakang," titahku.
"Oke."
Perlahan pintu kamar mandi sedikit terbuka. Tubuh pak Aksara sudah membelakangi pintu kamar mandi. Aku memberanikan diri untuk meminjam sarung milik pak Aksara untuk mengambil pakaianku yang ada di lemari.
"Pak, pinjem sarung bapak boleh?" kataku ragu.
"Buat apa?" Tubuh pak Aksara masih membelakangiku.
"Saya enggak bawa baju, hehehe." Aku menyengir kuda menampilkan deretan gigi rapihku.
"Saya ambilkan baju kamu saja."
"Jangan, pak!" Aku langsung menolak.
Kalau dia mengambilkan baju untukku otomatis dia akan lihat pakaian dalamku. Aku bergidik merinding membayangkannya.
"Bapak keluar dari kamar saja," perintahku.
Tubuh lelaki itu meninggalkanku tanpa menoleh ke arahku sedikitpun. Aku keluar dari kamar mandi dengan lega tanpa takut ada yang mengantiku ganti baju.
Hari ini, pak Aksara tidak ada pekerjaan apapun. Dia hanya menonton tv selepas makan. Ibu? Ibu sudah pergi ke toko karena hari ini dia memiliki pesanan banyak dari orang lain. Aku sangat betah di kamar jika hari libur. Bukan laptop atau ponsel yang berada di depanku. Aku sedang belajar untuk ujian tengah semester besok di mata pelajaran pak Aksara.
Suara musik mengiringi belajarku. Cara orang belajar berbeda-beda bukan? Aku juga punya cara belajar sendiri, yaitu selalu diringi musik yang tertdengar santai, semacam lagu ballad dan musik santai lainnya.
Suara pintu terdengar terbuka. Mataku mengarah ke pintu itu, pak Aksara masuk ke dalam kamarku dengan membawa buku materi besok.
"Besok soalnya, hampir sama seperti kemarin. Materinya diperdalam lagi." Dia berdiri di sampingku.
"Jangan kasih bocoran, nanti saya malah malas belajar." Aku berhenti membaca buku dan menatap wajah pak Aksara.
"Sudah tobat, enggak mau cari soal ulangan lagi?" Pak Aksara sedikit memajukan wajahny ke arahku.
"Hem," jawabku.
Aku tidak suka di mata kuliah pak Aksara mendapat nilai jelek, karena akan ribet nantinya. Aku pernah merasakannya di semester pertama, perkara telat masuk saja sangat mempengaruhi nilaiku. Sudah diusir, tidak dianggap masuk dan gara-gara itu aku nilaiku sangat berpengaruh. Dia mengurangi nilainya karena absenku bolong satu. Tentu, untuk meminta perbaikan nilai sangat sulit karena dia sibuk. Hal itu, yang membuat aku selalu menjadi komting di kelasnya atau yang bertanggungjawab di kelasnya.
Satu angkatanku tahu semua permasalahan itu, mereka juga tahu kalau dia adalah salah satu musuhku di kampus. Kejadian pengusiran di mata kuliahnya masih melekat jelas dimemori otakku, sampai sekarang kalau mengingatnya membuatku masih merasakan malu dan marah kepadanya.
"Belajar yang rajin, biar lebih pintar dari saya." Dia mengacak-ngacak rambutku.
Dia lupa dengan perjanjian awal kita? Menikah tanpa saling menyentuh satu sama lain, tapi seperinya kami sering melanggar perjanjian tersebut.
Aku menepis tangan dia secara cepat. Aku berusaha untuk tidak terpancing dengan sifat manisnya. Kalau ujung-ujungnya aku dijatuhkan lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
all
lanjut sayang,,😁😘😘
2021-02-12
2