Aku mencari makanan untuk mengganjal perutku di dapur. Aku membuka kulkas yang hanya terisi sayuran dan tempe. Sayuran pun tinggal sedikit. Tidak mungkinkan, aku memakan sayur dan tempe sebagai cemilan ringan. Buah di kulkas tidak ada, apa ibu lupa tidak ke pasar.
Aku memutuskan jalan kaki menuju ke toko ibuku. Hal yang jarang kulakukan, setelah menikah dengan pak Aksara. Bahkan, kalau diingat-ingat aku sama sekali belum menginjakan kakiku di toko ibuku setelah menikah. Kalau dulu, aku minta uang jajan langsung ke toko biar dikasih banyak karena banyak orang. Sekarang, ATM-ku akan membusung tanpaku meminta ke ibu.
Toko ibuku tidak terlalu jauh, tapi lumayan cape juga kalau jalan. Pulang dari toko bonceng motor ibu saja, biar tulangku tidak marah denganku.
"Padahal bentar lagi tokonya mau tutup, tapi kamu malah ke sini." Aku sudah sampai di toko ibuku yang aromanya selalu kurindukan.
"Aku kesepian, bu. Di rumah enggak ada cemilan. Buah-buahan juga enggak ada, ada satu buah sih, tapi tidak bisa di makan." Aku bergelayut di lengan ibuku yang sedang duduk.
"Emang buah apa?" tanya ibuku.
"Buah hati ibu yang cantik ini." Aku bertingkah sok imut dihadapan ibuku.
"Kirain apa. Ternyata cuma pujian untuk diri sendiri," ledek ibu.
"Ihh, ibu."
"Ibu lupa belum belanja minggu ini. Tokonya rame terus, banyak pesanan."
"Terima kasih." Ibu sedang melayani pembeli.
"Kamu bisa belanja untuk kebutuhan rumah sama Aksara, sebelum mall tutup. Buah di mall, harganya lumayan miring." Ibu tidak selalu membeli barang di mall sih. Dia hanya membeli di sana jika di tempat lain kehabisan atau tidak ada.
Buah yang ibu maksud memang memiliki harga yang lebih miring dibandingkan di pasar. Hanya beberapa buah saja sih yang memiliki harga miring, selebihnya bisa kalian tebak sendiri. Aku belum menghasilkan uang, jadi harus tahu batasan jika menggunakan uang jajanku. Toko ibu juga tidak selalu ramai. Keluargaku, bukan keluarga yang kalau beli apa-apa tinggal ambil tanpa melihat harga. Keluargaku bisa makan karena bekerja, bukan seperti di dalam cerita-cerita yang pernah kubaca, harta sampai tujuh turunan pun takan bisa habis. Aku bukan keluarga seperti itu.
"Pak Aksara sibuk, bu. Dia lagi ngisi seminar." Ibu kaya enggak tahu menantunya saja yang selalu sibuk.
"Tapi, Aksara tidak pernah pulang lebih dari jam sepuluh. Paling habis mahrib dia pulang." Ibu sedang mengecek pesanan untuk besok.
"Ibu pulang jam berapa?" tanyaku.
"Biasa jam lima. Tuh, tiga puluh menit lagi." Jam dinding di toko ibu sudah menunjukkan pukul setengah lima sore.
"Mika ambil kue ya, Bu." Aku mengambil kue berisikan pisang coklat. Kue kesukaan ayah dulu.
Aku menggigit kue buatan karyawan ibuku. Resepnya, masih dari ibu sih. Sekali gigitan rasanya, wah mantap. Dari dulu, cita rasa buatan ibu tidak pernah pudar ditelan waktu. Pantas saja, toko kue ibu masih bertahan sampai sekarang meski tidak seterkenal toko besar lainnya.
Sesuai permintaanku. Aku pulang membonceng ibuku. Aku menolak untuk menyetir motor ibu, aku suka kalau meluk ibu di atas motor. Ibu tidak bisa menyetir mobil sepertiku, yang bisa menyetir hanya kak Lila sama ayah di rumah ini. Ditambah pak Aksara, sekarang hanya pak Aksara yang bisa menyetir mobil di keluargaku. Mobil ayah sudah dijual karena tidak ada yang menggunakannya lagi. Kalian pasti sudah tahu alasannya. Setelah menikah, kak Lila sudah tidak lagi menyetir karena dia dan pak Aksara bekerja di tempat yang sama. Jadi, daripada rusak kami memutuskan untuk menjualnya.
Sebelum ayah pergi, dia memberi kado untukku sebuah sepeda motor karena aku tidak bisa menyetir. Hadiah itu diberikan untukku berkat aku lolos ujian masuk perguruan tinggi. Jarak kematian ayah dengan kak Lila hanya berselang kurang lebih empat tahunan.
"Motor kamu kok sudah di rumah?" tanya ibu yang melihat motorku yang sudah terpakir di garasi.
"Iya, tadi dibawa kak Aksara seminar." Aku membuka pintu untuk ibu.
Ibu sudah memakirkan motornya di garasi, makanya dia tahu kalau motorku sudah balik. Oh iya, ngomong-ngomong pak Aksara ternyata sudah pulang juga. Pantas saja, lampu-lampu rumah sudah menyala.
Aku izin ke ibu untuk naik ke atas. Aku pergi ke kamar untuk mengecek keberadaan pak Aksara, benar saja dia sedang.
"Awww, mataku." Aku segera menutup kedua mataku.
Pak Aksara sedang berganti baju. Dia hanya mengenakan celana kolor di depan lemari. Sial, mataku ternodai olehnya. Aku menutup pintu kamar kembali. Untung, aku tidak mengeluarkan teriakan keras, jadi ibu tidak tahu kalau ada adegan seperti ini.
Tidak beberapa lama, Pak Aksara membukakan pintu untukku. Dia sudah memakai kaos dan celana panjang.
"Makanya, ketok pintu dulu kalau mau masuk kamar," omelnya saat membukakan pintu untukku.
"Lagian bapak ganti baju di depan lemari, harusnya ganti di kamar mandi dong." Aku tidak mau kalah dengannya.
"Saya kan enggak tahu, kalau ternyata kamu mau masuk kamar." Dia menjemur handuknya di depan kamar mandi.
"Sudahlah, saya tidak mau berdebat." Aku mencari seperangkat pakaian di lemari. Aku mau mandi sore.
Badanku terasa sejuk saat kulit tubuhku tersentuh oleh air. Airnya tidak terlalu dingin, jadi aku betah berlama-lama dengannya. Lama-lama makin dingin karena terkena udara.
Aku memutuskan untuk menuntaskan mandiku dan berganti pakaian di dalam kamar mandi. Setelah menikah banyak perubahan yang kualami, seperti berganti pakaian harus di dalam kamar mandi. Harus berbagi kasur dan berbagi kamar mandi. Aku masih sedikit malu jika bertemu pak Aksara karena kejadian tadi, ditambah otakku malah mundur ke belakang. Otakku memutarkan wajah pak Aksara yang kulihat siang tadi.
"Lama-lama bisa gila sendiri," monologku di depan cermin.
Saat aku keluar dari kamar mandi. Aku tidak menemukan tanda-tanda keberadaan pak Aksara. Dia balik ke alamnya, apa yah?
Pintu kamarku terbuka. Rupanya pak Aksara yang membuka pintu kamar.
"Disuruh ibu belanja," ujarnya.
"Siapa?" tanyaku.
"Kamu," jawabnya. "Sama saya."
"Si ibu, beneran nyuruh aku belanja sama pak Aksara," lirihku.
"Kenapa? Kamu tidak suka, belanja sama saya?" ucapnya membuatku bingung.
Nih orang, pikirannya pakai apa sih? Su'udzon mulu, heran aku. "Siapa bilang."
"Beneran? Kalau ada mahasiswa atau dosen yang lihat kita jalan berdua gimana?" Dih sejak kapan dia mikirin perasaan orang.
"Bilang saja, adik iparnya lagi pingin es krim." Aku mengambil kunci di atas nakas.
Pak Aksara mengikuti langkahku turun. Aku mengambil helm milikku yang ada di garasi dan aku hanya memiliki satu helm.
"Saya kan enggak punya helm," keluh pak Aksara.
"Bapak duitnya banyak, jangan khawatir." Aku menaikkan kedua alisku.
Pak Aksara setuju dengan ideku. Dia membeli helm di toko helm yang ada di jalanan. Beruntung, toko itu belum melewati pos polisi. Walaupun, hampir malam dan sudah tidak ada lagi polisi yang berjaga, tapi kami sadar helm itu untuk keselamatan diri kami masing-masing.
Ini pertama kalinya, aku dibonceng oleh pak Aksara. Aku belum terbiasa dibonceng olehnya, jadi aku hanya memegang ujung jaket yang dia pakai agar aku tidak jatuh kalau tiba-tiba dia rem mendadak. Duduk kamipun berjarak.
Angin malam mulai menelisik masuk ke dalam tubuh kami, melalui rongga-rongga baju kami. Aku menarik bibirku untuk tersenyum. Ternyata pak Aksara tidak seburuk yang aku kira.
Jangan lupa like dan komen ya, biar author semnagat update. 😄
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Adisty Rere
aku pengen dong di peluk.😂😂
aku merasa yg jadi pak aksara itu Reza Rahardian. dan yg jadi perempuannya tentu saja akoooh. wkwkwk
2021-03-24
3