Perkuliahan pak Aksara sudah selesai. Seluruh mahasiswa keluar dari ruangan, aku juga langsung memilih pergi dari kelas. Mataku sangat kantuk, jadi aku memutuskan untuk pergi ke kos Rere yang lumayan dekat dengan kampus. Aku tidak bisa lagi mencegah rasa kantuk ini.
"Yakin mau nyetir sendiri?" tanya Bastian yang sedang menemaniku di parkiran.
"Iya, Bas. Lagian dekat kok, cuma di kos Rere." Aku memasang helmku.
"Tenang Bas, aku enggak gigit kok." Rere datang dengan motornya yang sudah menyala.
"Aku pergi dulu ya," pamitku.
"hati-hati." Bastian mencium kedua tanganku.
"Kamu enggak pulang?" tanyaku sebelum pergi.
"Mau nongkrong sama anak-anak."
Aku dan Rere pergi ke kosnya yang hanya ditempuh lima belas menit dengan motor. Aku sudah izin ke Rere untuk menumpang tidur siang. Kamar kos Rere lumayan besar, ada tempat tidur besar dan satu lemari besar yang dia dapat sebagai salah satu fasilitas di kosnya.
"Tumben banget sih, kamu ngantuk gitu amat." Rere membuka kamar kosnya.
"Aku begadang gara-gara, pak Aksara." Aku melemparkan tubuhku di kasur busa milik Rere.
"Segitunya, padahal bisa belajar santai di mata pelajaran pak Aksara." Rere menyalakan lampu kamarnya.
Beruntung Rere tidak menangkap apa yang maksudku. Aku keceplosan tentangnya. Rere belum tahu tentang pernikahanku dengan pak Aksara. Siapapun tidak boleh tahu, kecuali keluarga besar kami saja.
"Pak Aksara gimana? Dia masih tinggal di rumahmu, setelah kak Lila pergi?" tanya Rere yang kini sudah rebahan di sampingku dan memainkan ponselnya.
Aku pura-pura tidak mendengarnya. Aku memilih memejamkan mata untuk menghindari pertanyaan lain dari Rere. Meskipun, dia teman dekatku, aku tidak ingin dia mengetahui statusku dengan pak Aksara.
Mungkin, sepanjang pernikahanku dengan pak Aksara akan ada banyak kebohongan yang harus aku lontarkan untuk menutupi semuanya. Aku tidak mau statusku terbongkar, aku takut akan menjadi omongan orang bayak. Bagaimana bisa seorang mahasiswa menikah dengan mantan kaka ipar sekaligus dosennya sendiri. Mungkin, aku akan mengungkapkannya setelah aku keluar dari kampus ini. Itu pun, jika pernikahanku dengan dia masih beratahan.
Mataku mengerjap-ngerjap setelah dibangunkan oleh Rere. Tidak terasa, ternyata sudah pukul setengah satu siang. Aku benar-benar tertidur pulas setelah pukul sebelas. Tidur siang kali ini, membuatku lebih fresh. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana pak Aksara yang tidak bisa istirahat saat siang hari. Iiisshh! Kenapa aku memikirkan dirinya.
"Nyenyak banget tidurnya, Kamu beneran begadang buat belajar mata kuliahnya pak Aksara?" tanya Rere setengah meledekku.
"Emmm," gumamku pendek.
Aku masuk ke kamar mandi yang berada di dalam kos Rere. Setelah cuci muka benar-benar terasa segar. Aku seperti bidadari yang habis mandi di sungai, rasanya segar sekali.
"Buruan berangkat, sudah setengah satu lebih." Rere meneriakku di depan pintu kosnya.
Aku mengoles liptint tipis di bibirku. Kini, kami kembali pergi ke kampus untuk mata kuliah bu Santi. Setiap hari selasa, aku akan pilang sore karena jadwal kuliahku yang memang sampai jam lima. Sesampainya di kampus, kami segera naik ke lantai dua untuk mengikuti perkuliahan bu Santi.
Aku bisa mencerna setiap keterangan dari bu Santi. Rasa kantukku benar-benar sudah hilang berkat tidur siang di kos Rere. Pembawaan bu Santi yang santai membuat mahasiswa suka kepadanya. Berharap kalau bu Santi akan menjadi dosen pembingbingku nantinya.
Setelah jam mata kuliah pak Hari yang terakhir, seluruh mahasiswa pergi meninggalkan kelas satu persatu. Aku juga meninggalkan kelas bersama Rere dan Bastian. Kami bertiga tiba di parkiran bersama, tetapi jarak motor kami terpisah-pisah.
"Mana kunci kamu." Bastian meminta kunci motorku. Aku langsung memberi kunci motorku yang sudah berada di tangan.
Bastian mengeluarkan motorku dari parkiran. Pekanya tidak ada yang melebihi dia. Jadi makin susah kalau mau jujur sama dia.
"Yah, bucin-bucinan di depan orang LDAR-an." Rere mengibaskan-ngibaskan tangannya untuk mencari udara.
"LDR-an cuma tiga hari doang, besok juga pulang." Aku mulai mengenakan helm.
Rere dan Zain merupakan pasangan yang awet juga. Zain salah satu kakak tingkat kami di jurusan yang sama. Sekarang Zain sedang melakukan penelitian untuk skripsi.
Aku, Bastian dan Rere pulang ke tempat tinggal masing-masing. Aku menolak Bastian yang meminta main ke rumah. Pak Aksara akan memarahiku kalau sampai dia lihat aku membawa Bastian ke rumah. Sekarang, aku harus pintar mencari-cari alasan menolak Bastian jika dia minta main ke rumah.
Dubrakkkk.
Aku menabrak mobil yang berada di depanku karena aku melamun saat mengendarai motor. Motorku jatuh menimpa aku yang sudah jatuh ke jalan beraspal. Kecelakaan ini masih berada di area kampus.
Pemilik mobil itu keluar untuk menolongku. Ada beberapa mahasiswa juga yang mendekat dan menolongku.
"Pak Aksa," pekikku saat melihat dia berniat menolongku.
Salah satu mahasiswa mematikan mesin motorku dan menjauhkan motor itu dari tubuhku. Pak Aksara meraih tanganku, dia membawaku ke dalam mobil dengan menuntunnya. Aku menunggu beberapa menit di dalam mobil untuk menunggu kedatangan pak Aksara.
"Pak, motor saya gimana?" tanyaku menahan sakit. Tangan kiriku terlihat membiru.
"Sudah saya urus, kita langsung ke rumah sakit saja." Pak Aksara sepertinya iba melihatku yang sedikit meringis kesakitan.
"Mobil bapak kayanya juga lecet," ujarku.
"Kamu bisa diam enggak!" bentak pak Aksara yang membuatku kaget.
Sepanjang perjalanan aku diam. Aku takut jika pak Aksara akan membentakku lagi. Tanpa sadar, air mataku jatuh membasahi pipiku. Badanku mulai terasa sakit, begitu juga hatiku yang sakit karena dibentak pria yang ada di sampingku sekarang. Seumur hidup, baru kali ini aku dibentak oleh orang.
Pak Aksara tidak jadi membawaku ke rumah sakit, dia membawaku ke klinik. Aku diobati oleh seorang perawat perempuan. Kakiku ternyata terluka dan berdarah. Aku masih sedikit sesenggukan karena tadi sedikit menahan tangis di dalam mobil. Aku tidak memperlihatkan tangisku ke pak Aksara. Aku berusaha sekali menahan suara tangisku.
"Maaf mba, kalau sakit," kata suster meminta maaf kepadaku.
"enggak sakit kok, sus." Suaraku terdengar parau.
Suster itu pergi setelah membersihkan dan membalut lukaku yang berada di kaki. Hanya luka kecil dan beberapa goresan yang berada di kaki. Di tangan juga hanya lebam saja, tanpa ada darah sedikitpun.
"Kamu nangis?" tanya pak Aksara tiba-tiba.
Aku menggeleng. Aku tidak mungkin jujur ke dia, kalau dialah penyebab air mataku turun. Sakit badanku tidak seberapa.
"Kalau nangis juga enggak apa-apa. Wajar kok, pasti kamu sok." Dia menuntunku keluar ruangan.
Rasanya ingin mencabik-cabik mulut dia. Kurasa pak Aksara memang manusia langka yang pernah aku temui. Dia galak, kejam, tidak berperasaan, dan juga tidak peka sama sekali. Bagaimana mungkin, kak Lila bisa jatih cinta dengan manusia langka kejam seperti dia. Jangan-jangan pak Aksara pakai pelet ke kakakku.
Aku menunggu di kursi tunggu. Pak Aksara sedang menebus obat ke apoteker di klinik ini. Aku sangat kesal hari ini. Kecelakaan ini, juga gara-gara aku melamun memikirkan dia. Pak Aksara pembawa sial.
"Ayo pulang, kamu bisa jalan sendiri kan?" Pak Aksara jalan mendahuluiku.
"Pria kejam, jahat, tua!" umpatku. Aku tidak peduli dengan orang-orang di sekitarku.
Kak Lila, please! Tolong adikmu mengahadapi suami kesayanganmu ini.
Aku masuk mobil menutup pintu mobil dengan kencang. Bodo amat, biar mobil ini sekalian rusak.
"Eetttss, pelan-pelan. Ingat, kamu belum bayar kerusakan mobil saya."
Aku melirik tajam ke arah pak Aksara. Pria ini benar-benat bikin naik darah. Aku tidak akan mengobrol dengan dia selama perjalanan. Aku muak sekali dengannya saat ini. Pak Aksara menjalan mobilnya menjauhi klinik.
Sepanjang perjalan, aku hanya diam. Meskipun, dia sesekali melempar tanya kepadaku. Aku sangat-sangat-sangat-sangat kesal dengannya saat ini.
"Kamu marah dengan saya?" tanyanya.
Aku tetap diam tidak bergeming. Dia akan tahu jawabannya, karena aku tetap diam.
"Seharusnya, saya yang marah loh," ujarnya sambil menyetir. "Kamu yang nabrak mobil saya sampai lecet, dan saya yang bayar biaya pengobatan kamu."
Pria di sebelahku mulai perhitungan. Okelah.
"Nanti, saya ganti." Aku semakin kesal dengannya.
Aku mendengar dia terkekeh. Dengar suara kekehannya malah menakutkan. Dia seperti psikopat yang tidak bisa ditebak.
"Kamu kan masih minta duit ke ibu," ujarnya sambil memakirkan mobil di depan rumah.
Dia tidak salah. Namun, penyataannya membuaku sakit hati. Aku langsung turun dan membanting pintu mobilnya. Mulut dia seperti tidak pernah disekolahkan.
Aku segera masuk kamar dan membanting pintu kamar. Membunuh manusia seperti pak Aksara dosa enggak sih? Emosi banget. Aku merebahkan tubuhku ke kasur.
Setelah beberapa menit aku mendengar suara pintu terbuka, tentunya dia pak Aksara. Aku juga mendnegar ponselku bergetar lama. Ada panggilan telepon masuk.
Aku mengeluarkan ponselku dan di layar tertulis My pacar. Aku langsung mengangkat dan mengeraskan suara obrolan panggilanku dengan Bastian.
"Katanya, kamu kecelakaan?" tanya Bastian yang suatanya terdengar khawatir.
Bastian menelepon di waktu yang tepat. Kepekaannya membuat emosiku sedikit meredam. Pak Aksara sedang berganti pakain tanpa mandi terlebih dahulu.
"Iya, tapi aku enggak apa-apa kok."
"Beneran? Aku ke situ ya." Apa yang harusku jawab?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments