Monitor jantung itu terlihat sudah normal. Namun, tidak dengan kak Lila yang belum sadarkan diri. Ibu tengah mengenggam tangan kak Lila yang tak kunjung sadar. Kerudung ibu juga sudah basah karena rembasan dari air matanya
Kak Lila jatuh dari kasur saat akan menaiki kursi rodanya. Saat itu aku langsung menghubungi pak Aksa, akan tetapi tidak diangkat. Mungkin, karena masih mengisi seminar atau masih dalam keadaan pulang. Jadi, aku segera menggubungi ibu yang tengah menjaga toko kuenya.
"Bu, kak Lila pasti sadar." Aku memeluk ibu dari belakang.
Rasanya sangat berat sekali, jika melihat kak Lila terbaring lagi di ranjang rumah sakit. Aku tidak tega melihat kakakku menahan sakit. Aku masih ingat saat terakhir kakak menjalani kemoterapi. Kakakku harus memuntahkan cairan yang memiliki warna aneh dari mulutnya karena efek samping dari kemo tersebut.
"Aksa kapan pulang?" tanya ibu dengan suara sedikit parau.
"Tidak tahu, kak Aksa lagi ngisi seminar. Tapi, aku sudah mengirim pesan untuknya."
Ibu tahu, kalau pak Aksa dan kak Lila masih sangat mencintainya. Ibu juga awalnya tidak tega, kalau pak Aksa harus menikah denganku. Ibu takut, kalau aku hanya menjadi bayang-bayangnya saja.
"Maafin kakakmu, karena harus memaksa kamu menikah." Ibu membelai lembut kepalaku.
"Ibu, Mika sudah meneriman keputusan kakak." Air mataku lolos begitu saja.
"Ibu tidak menyangka, jika pernikahan ini, akan membuat anak-anak ibu sakit." Aku mengusap air mata ibu yang masih saja jatuh.
Sakit yang dimaksud ibu sekarang adalah sakit hati kami masing-masing. Kak Lila sakit harus melepaskan suami tercintanya, dan aku sakit karena dipaksa menerima kehadiran pak Aksa.
"Kalau kakak meninggal, jangan tinggalkan mas Aksa. Kakak percaya, kalau mas Aksa akan mencintaimu." Aku masih ingat jelas pesan kakakku. Pesan itu, aku terima sehari sebelum pernikahan itu berlangsung.
"Kakak hanya ingin, melihat mas Aksa bahagia. Kakak tahu, pak Aksa sangat menyukai anak kecil." Aku tahu, kak Lila memberikanku senyum palsu saat itu.
Aku menyuruh ibu pulang beristirahat. Kak Lila biar aku saja yang menjaganya, sampai pak Aksa tiba nanti. Pak Aksa juga belum membaca pesanku dari tadi.
Aku membaringkan kepalaku dengan berbantal lenganku di atas ranjang kak Lila. Mataku menatap monitor jantung yang berjalan normal. Aku berharap ada keajaiban datang saat ini. Keajaiban untuk menyembuhkan kakakkku.
"Kak, kalau kakak tahu ini menyakitkan, kenapa kakak harus merelakan pak Aksa kepadaku," lirihku.
"aku tahu, kakak masih sangat mencintai pak Aksa. Begitupun, pak Aksa yang selalu mencintai kakak." Air mataku jatuh mengingat hubungan rumit ini.
Aku menunggu kak Lila di dalam ruangan sampai tertidur. Sebuah suara membangunkanku.
"Bangun, Aksa sudah datang." Ibu menepuk pelan punggungku.
Aku sadar, mataku sudah mulai membengkak karena aku merasakan kantung mataku yang sangat berat, akibat tangisku. Aku melihat pak Aksa sudah berdiri di seberangku.
Aku dan ibu pulang ke rumah untuk membawa baju ganti. Tadi, kami tidak sempat membawa baju ganti akibat panik.
"Ibu kenapa enggak pulang dari tadi?" tanyaku saat sudah naik taxi.
"ibu tidak mau, kalau kamu sendirian." Aku melihat wajah ibu yang juga sembab.
Di dalam taksi kami hanya membisu. Aku juga tidak tahu harus mengobrol apa dengan ibu. Yang aku tahu, ibu terlihat masih khawatir dengan keadaan kak Lila. Pernikahanku hanya permintaan kak Lila. Ibu juga awalnya menentang kemauan kakakku yang konyol, tapi setelahnya ibu menyetujuinya. Aku dan pak Aksara yang menjadi korban. Aku juga berhutang budi dengan pak Aksa karena masih memperbolehkanku jalan dengan pacarku, Bastian.
Kepulanganku dengan ibu hanya untuk mengambil pakaian yang tadi kami tidak sempat mengemasinya. Aku dan ibu akan selalu memberi peluang untuk pak Aksa dengan kak Lila. Ibu tahu, jika kak Lila dan pak Aksa masih saling menyanyanginya. Dari awal pernikahanku dengannya, aku selalu menahan diri untuk tidak akan menyukai atah bahkan untuk mencintai suatu saat nanti. Aku masih memiliki Bastian yang sangat aku cintai dan sangat mencintaiku.
Roda mobil taksi berhenti berputar. Artinya, kami sudah sampai di depan rumah. Ibu langsung mengemasi pakaiannya untuk dibawa ke rumah sakit. Sedangkan, aku menunggunya saja di depan ruang tv. Aku dan pak Aksa tidak membawa pakaian, kami akan bolak-balik pulang karena kesibukan kami masing-masing. Pak Aksa masih memiliki kewajibanmengajar di kampus dan aku masih harus kuliah.
"Kamu enggak bawain pakaian ganti buat, Aksa?" tanya ibuku yang sudah berada diambang pintu kamarnya.
"Kak Aksa nanti juga pulang," kataku enteng.
Aku tidak tahu pakaian apa yang harusku bawa untuknya. Aku juga tidak akan menyentuh area lemari pakaian dia.
"Setidaknya, dia harus pakai, pakaian yang lebih santai dan nyaman."
Ibu sangat perhatian dengan menantu satu-satunya itu, aku jadi iri saja. Atau jangan-jangan ibu leader club Aksara Lovers, jadi ibu sangat perhatian sampai sedetil itu.
Aku menarik ucapanku yang tidak akan menyentuh area pakaian pak Aksa. Dengan sangat terpaksa, aku menaiki tangga menuju kamarku untuk membawa satu set pakaian untuknya. Aku membawakan celana training panjang dan kaos polos lengan pendek yang berwarna senada untuknya. Aku manaruhnya di paper bag.
Aku dan ibu kembali menunggu taksi daring yang aku pesan melalui ponsel pintarku. Aku tidak bisa menyetir mobil dan aku tidak tega jika membonceng ibu dengan motor legendku. Sekitar lima belas menit, kendaraan beroda empat tersebut berhenti tepat di depanku.
"Kamu bawa baju juga enggak?" tanya ibu setelah kami duduk di kursi belakang sopir.
"enggak, besok Mika kuliah pagi." Aku tidak menginap di rumah sakit. Jarak rumah sakit ke kampus lebih jauh dibanding dari jarak rumah ke kampus.
"Oh ya sudah."
Sekitar dua puluh menit menempuh perjalanan, akhirnya kami sampai juga di rumah sakit. Kak Lila masih diruang ICU, dia belum sadar dari komanya. Kata dokter harus banyak-banyak berdoa untuk kakakku. Aku tahu perasaan ibu sangat tidak tenang disepanjang perjalanan, tapi ibu selalu berusaha menutupinya dariku. Aku juga khawatir dengan kondisi kakakku. Aku berharap Tuhan akan memberi keajaiban untukknya. Aku berharap kak Lila diangkat penyakitnya supaya bisa hidup bersama kembali dengan pak Aksa, suamiku.
Aku memasuki ruang ICU yang begitu tenang. Aku melihat pak Aksa masih duduk menatap tubuh kak Lila yang masih terbaring di ranjang rumah sakit. Sesekali dia juga menatap layar monitor jantung untuk memastikan mantan istrinya dalam keadaan stabil atau tidak.
"Pak Aksa, ini baju buat ganti." Aku menaruh paper bag yang berisi pakaian untuk dia di atas sofa.
"Terima kasih, Mik." Pak Aksa menjawab tanpa menoleh ke arahku.
Aku menutup pintu ruangan tersebut. Mataku langsung tertuju di kursi tunggu yang tidak terlalu lama. Beberapa keluarga dari pasien yang berada di ruang ICU sering duduk di sana. Ruangan ICU selalu membatasi pengunjung dan penunggu pasien.
Aku duduk di samping ibu yang sedang duduk. Ibu sedikit terkejut dengan kedatanganku. Pandangan matanya selalu kosong setiap kali kak Lila dilarikan ke rumah sakit. Selang beberapa detik saat aku baru duduk, pak Aksa keluar dari ruangan tersebut.
"Bu, saya pulang dulu sebentar."
Pak Aksa pamit pulang ke ibu. Entah ada urusan apa hingga membuat dirinya memutuskan untuk pulang. "Mik, saya pulang dulu." Dia juga pamit kepadaku. Aku hanya mengangguk memberi persetujuan untuk dia.
Kepergian pak Aksa, aku memutuskan masuk ke ruang ICU bersama ibu. Ibu bisa duduk di sofa yang ada di ruangan tersebut. Maksimal dua orang yang boleh menemani pasien di dalam.
Posisi paper bag yang aku bawakan untuk pak Aksa masih sama persis, seperti yang aku letakkan tadi. Aku yakin dia sama sekali tidak menyentuhnya. Sudah kuduga, dia tidak akan menerima perhatian sekecil apapun dariku. Aku hanya menungngging bibir kecut. Dia takut, kalau aku akan menggantikan posisi kakakku di hatinya? please, aku masih ada Bastian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Dinar David Nayandra
broken heart duluan ketika dah bawaain malah ga di gubris
2023-02-19
1