Pak Aksara menarik tanganku untuk menjauh dari Bastian. Aku tahu, pasti dia akan memarahiku kalau aku membawa pacarku ke sini. Bukan karena cemburu, tapi aku yakin pak Aksara takut jika salah satu keluarga besarnya akan melihat aku jalan dengan lelaki lain. Mereka pasti akan berpikir hal yang tidak-tidak. Mereka juga tidak tahu tentang kesepakatan aku dan pak Aksara karena kesepakatan tidak tertulis itu hanya kami yang mengetahuinya.
"Kalila sempat kritis tadi malam, dia baru stabil menjelang subuh tiba." Pak Aksara menjawab pertanyaan yang aku lemparkan ke ibu tadi.
Perkiraanku meleset. Ternyata pak Aksara tidak memarahiku sama sekali karena membawa Bastian.
"Ibu sudah menangisinya sejak tadi malam. Jangan tanya kondisi Kalila dihadapannya, dia tidak akan bisa menjelaskannya."
Jadi ini, alasan pak Aksara tidak masuk ke kelas kami. Keadaan kak Lila semakin memburuk, tapi kenapa mereka tidak memberitahuku tentang keadaannya.
"Kenapa bapak tidak mengabari saya tentang keadaan kak Lila?" tanyaku sedikit jengkel plus kecewa.
"Saya dan ibu mana sempat memegang ponsel. Kita semua khawatir tadi malam sama dia." Pak Aksara sedikit meninggikan suaranya. Dan artinya, dia memegang ponsel hanya untuk memberitahu kelas yang akan diampunya saja.
"Jadi, saya tidak berhak khawatir kepada kakak saya sendiri?" kataku sedikit membentaknya. Aku sangat kecewa dengannya.
Aku pergi meninggalkan pak Aksara yang masih berdiri dan mematung. Aku sedikit kecewa terhadap sikap pak Aksara. Kalau dia tidak sempat memegang ponsel pada saat itu, setidaknya sebelum dia mengirim pesan untuk mahasiswanya tadi pagi, dia memberitahu keadaan kakakku yang sebenarnya.
Aku kembali menemui Bastian yang sempat aku tinggal beberapa menit lalu bersama pak Aksara. Aku berniat mengajak Bastian untuk melihat kondisi kakakku yang tidak sadarkan diri. Namun, belum sempat aku membuka pintu ruangan kakakku, ibu sudah keluar dengan kondisi yang tidak baik-baik saja. Ibu terlihat sangat panik.
"Bu ada apa?" tanyaku juga ikut panik.
"Kakakkmu," ujarnya gemetar.
Aku yang merasakan ada firasat buruk segera masuk ke ruangan kak Lila. Apa yang aku takutkan benar-benar terjadi, melihat monitor jantung kak Lila yang sudah bergaris lurus. Badanku lemas seketika dan aku berteriak menangis karena kepergiannya. Aku belum siap ditinggalkan oleh salah satu orang yang aku cintai di dunia ini.
Salah satu dokter dan beberapa suster yang menangi kakakku datang bersamaan dengan ibu, Bastian dan tentunya pak Aksara yang kini sudah mendekap tubuh kaku kakakku. Aku merasakan tangan Bastian memegang lenganku, dia membangkitkan tubuhku. Aku tidak peduli lagi siapa yang memeluk diriku sekarang. Aku hanya ingin melihat mata kakakku terbuka kembali.
Dokter menyatakan jika kondisi kakakku sudah membaik dihadapan Tuhan. Kakakku sudah tidak lagi merasakan kesakitan. Tuhan sudah mengambil penyakit sekaligus jiwa kakakku. Petugas rumah sakit mulai mencopot seluruh alat yang terpasang di tubuh kakakku.
Rumahku sudah ramai oleh orang-orang yang ikut takziyah. Air mataku tidak pernah berhenti mengucur semenjak di rumah sakit. Tubuh kakakku terbujur kaku dan ditutupi dengan kain putih. Rapalan ayat-ayat suci quran juga sudah terdengar di ruangan rumahku.
Seluruh anggota keluarga besar dari keluargaku dan kekuarga pak Aksara berkumpul di rumah keluargaku. Tetangga juga banyak yang datang. Sementara, Bastian masih ada di sampingku dari tadi. Aku selalu menahan tangan Bastian setiap kali dia akan menyentuh lengan atau tanganku untuk menguatkanku. Aku masih tahu diri, bahwa aku sudah milik pak Aksara secara hukum.
Ketika jenazah kakakku sudah dikebumikan, para staf kampus tiba di rumahku. Ada beberapa dosen dari jurusanku, ada juga dosen dari fakultas lainnya. Rektor kampusku juga datang untuk takziyah. Yang mereka tahu, kalau kakakku masih menjadi istri pak Aksara. Kuliahku siang ini terpaksa absen. Bastian juga ikut absen. Dia ikut mengantarkan jenazah kakakku ke pusaran terakhirnya. Kakakku dikebumikan pukul empat sore. Setelah itu, Bastian pamit pulang ke ibuku.
Aku masih menemani ibuku yang duduk di ruang tamu untuk menemui beberapa tamu dari pihak kampus. Akhirnya, beberapa dosen yang belum mengetahui kalau aku adalah adik ipar pak Aksara, mereka kini sudah tahu. Namun, mereka salah besar akan statusku. Aku bukanlah Mika adik ipar dosenku, tapi aku adalah Mika si istri dari mantan adik ipar sekaligus mahasiswinya.
Kepergian para petakziyah dan keluarga pak Aksara membuat rumah kami sepi kembali. Aku memasuki kamar, begitupun dengan ibuku. Aku membersihkan diriku di dalam kamar mandi. Saat aku keluar dari kamar mandi, aku melihat pak Aksa masuk ke kamarku. Matanya masih sayu karena tangisnya.
Aku membuka laci nakasku. Di sana masih ada cincin pernikahan yang aku lepas kemarin. Aku enggan memakainya karena takut Bastian dan Rere menyadari cincin itu. Jika mereka menyadari aku memakai cincin, maka akan timbul pertanyaan-pertanyaan yang mungkin aku akan kesulitan untuk menjawabnya.
Pak Aksara masuk ke dalam kamar mandi. Cukup lama pak Aksara dalam kamar mandi. Aku tahu, pasti dia menangis di bawah guyuran air sower yang membasahinya.
Aku yang lelah memutuskan untuk berbaring di kasur yang sudah dua malam aku tidak menidurinya. Aku lupa kalau ada pak Aksara di dalam kamarku. Aku sudah melihat pak Aksara berbaring di sampingku. Namun, sebelum aku pergi. Aku menanyakan satu hal kepada dia.
"Pak, bagaimana hubungan pernikahan kita nantinya?"
Pertanyaan akan kejelasan hubungan pernikahan terpaksa yang harus kita jalani demi orang yang sama-sama kita cintai. Pak Aksara mengganti posisi tidurnya, dia memiringkan tubuhnya mengahadapku. Tanpa menjawab sepatah katapun dari pertanyaanku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Saniya Mufidah
alur critanya cuma dari satu sudut pandang jadi gitu kurang seru. jadi gak tau crita dr sudut pandang pak aksa sama Cria kehidupan temennya di kampus
2022-09-30
3