"Jawab dulu, kamu marah sama saya?"
Aku hanya diam enggan menjawabnya. Dia sudah tahu jawabannya, tanpa bertanya. Aku hanya menampilkan ekspresi kesalku dihidapannya dan menyerobot ponselku yang terampas oleh dia.
Aku berbaring di sofa membelakangi pak Aksara yang masih dengan posisi semula. Air mataku menetes tanpa permisi. Aku lemah dihadapannya, Bastian aku butuh kamu.
Aku merasakan kepergian pak Aksara. Aku lelah menangis terus menerus seperti ini karenanya. Aku akan memasrahkan pernikahan ini kepada Tuhan. Aku akan mengikuti alur Tuhan saja, tidak usah memaksa kalau hasilnya akan menyakitkan.
Aku kembali tidur di sofa. Pak Aksara tidak perlu membuat batas teritorialnya di kasur karena aku sudah kembali lagi tidur di sofa.
Efek menangis membuatku tertidur pulas. Aku terjaga sampai sebuah tangan dingin menyentuh pipiku. Siapa lagi kalau bukan pak Aksara yang akan membangunkanku seperti itu. Aku hanya menguletkan tubuhku dan bergumam, "saya tidak mau pindah, pak."
"Siapa yang menyuruh kamu pindah. Saya mau bangunin kamu salat subuh." Aku langsung terperanjat dari sofa.
Sekarang aku sadar, makhluk apa dihadapanku. Iblis bertanduk kerbau yang kuhadapi.
Aku lari masuk ke kamar mandi untuk cuci muka dan bergosok gigi. Setelahnya, aku mengambil air wudu. Aku bersiap mengenakan mukenah, tetapi pak Aksara masuk ke kamar mandi kembali. Dia akan mengambil wudhu.
Allahu akbar
Kita salat berjemaah di tengah peperangan. Aku mengakui kalau pak Aksara adalah suami yang bertanggungjawab. Betapa beruntungnya kak Lila mendapatkan lelaki seperti dia. Mungkin, dia bersikap menjengkelkan terhadapku karena dia belum bisa menerima semua ini.
Assalmu'alaikum warahmatullah
Aku mencium punggung tangannya setelah berdoa. Untuk beberapa kalinya, aku mencium tangannya setelah menikah dengannya.
Kebiasaan burukku adalah tidur setelah salat subuh. Aku bisa bangun siang karena tidak ada jam perkuliahan hari ini. Aku juga tidak jadi mengambil motor karena ternyata kata pak Aksara belum beres motornya.
Aku bangun sekitar pukul setengah delapan pagi. Pak Aksara sudah pergi ke kampus untuk mengajar. Dia memiliki jadwal penuh setiap harinya, kalau tidak ngajar ya mengisi seminar.
Aku mengucek mataku dan meraba-raba meja kecil yang berada di samping sofaku. Aku menemukan benda pipih yang kucari. Sebuah pesan muncul dari pak Aksara. Ini bukan tentang masalah kuliah, tetapi masalah keluarga.
Kirim nomor rekening kamu sekarang.
_Pak Monster
Pesan itu dikirim pukul 07.05 WIB. Aku menangkap layar nomor rekeningku yang ada di aplikasi mobile banking dan segera kukirim ke pak Aksara. Setelahnya, aku turun ke bawah untuk menemui ibu yang belum berangkat ke toko. Toko ibu selalu ramai, dia memiliki dua karyawan di tokonya.
"Bu, sarapannya apa?" tanyaku saat menemui ibu di depan tv.
Aku bergelayut di lengannya. Dari kecil, aku sangat manja kepadanya. Sedangakan, kak Lila lebih dekat dengan ayah. Sebenarnya, ayah dekat dengan semua keluarganya.
"Sayur oseng," jawabnya yang tengah menonton berita disiaran yang memiliki logo berwarna merah. "mau ikut ibu ke toko enggak?" ajaknya.
"Mika mau tidur saja bu, mumpung enggak ada kelas."
Aku dan ibu menonton siaran berita yang terjadi di Indonesia. Sekitar pukul 09.00 WIB ibu baru pergi ke toko. Aku mandi dan kemudian sarapan.
Tidak ada kegiatan yang harus kulakukan sekarang. Jadi, aku hanya membaca kumpulan puisi yang kemarin belum sempat aku selesaikan. Kesendirian ini malah mengingatkanku pada hubunganku dengan pak Aksara. Ada rasa ngilu di dalam hatiku saat mengingat, bahwa pak Aksara belum bisa menerima kehadiranku di hatinya. Namun, aku rasa kita impas karena aku mencintai Bastian dan dia masih mencintai kakakku.
Permasalahannya adalah aku tidak menyukai hubungan ketidakjelasan ini. Dia sudah mulai mengusik hubunganku dengan Bastian, aku juga tidak bisa membodohi Bastian terus-menerus.
Sekitar pukul 15.00 WIB aku pergi ke kost Rere tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Aku pergi ke tempatnya menggunakan jasa ojol. Motorku masih di bengkel.
"Tumben banget sih, enggak hubungi aku dulu." Rere membukakan pintu untukku.
"Pasti belum mandi ya," ledekku. Melihat penampilan Rere yang kayanya belum. Rere hanya cengengesan, benarkan tebakkanku.
"Jalan yo," ajakku.
"Kamu jauh-jauh dari kosku, cuma ngajak jalan. Traktir ya, tanggal tua nih."
Rere masuk kamar mandi setelah mendapat anggukan dariku. Aku mengecek saldo ATM-ku, barangkali pak Aksara sudah mengirim uang untukku. Benar saja, di sana ada nomor rekening atas nama Aksara Arkatama dan ada keterangan di dalamnya.
"Duit jajan bulan depan."
Nominal uangnya lumayan banyak sih, kalau ukuran buat jajan. Aku tersenyum setelah menutup aplikasi mobile banking. Rasanya gini jadi istri dosen sendiri.
Aku rebahan di atas kasur Rere untuk menunggu dia mandi. Aku memainkan permainan teka-teki yang ada di ponselku. Permainan ini bisa memperluas wawasan.
"Lagi marahan sama Bastian?" tanya Rere tiba-tiba yang muncul dari kamar mandi.
"Kok mikirnya gitu," jawabku sambil melanjutkan permainanku.
"Soalnya, Mika biasanya enggak kaya gini." Rere mengeringkan wajahnya dengan tisu.
"Emang Mika gimana?" tanyaku kemudian.
"Mika ngeselin," jawabnya sambil melempar bantal ke arahku. Kami menimpalinya dengan tertawa bareng.
Aku pergi menggunakan motor Rere. Aku membawa helm sendiri dari rumah. Karena ini aku yang ngajak, jadi aku harus yang menyetir untuknya. Arah perjalanan kami searah dengan jalan rumahku. Hampir setengah jam, kaki menempuh jarak perjalanan ini.
"Kok serem sih, mainnya." Rere bergelayut di tanganku setelah aku memakirkan motornya.
"Aku kangen sama kakakku." Aku membeli bunga tabur di sekitar area makam.
"Tuhkan bener, pasti kamu lagi ada masalah."
Aku tidak menimpali ucapan Rere. Aku berjalan menuju tempat peristirahatan kakak dan ayahku. Sebelumnya, aku tidak ada niatan ke sini. Namun, entah mengapa tanganku mengarahkannya ke sini.
Aku duduk di pusaran makam ayah dan kakakku yang masih ada gundukan tanahnya. Aku duduk berdoa untuknya, air mataku tidak bisa dibendung lagi.
Aku memeluk batu nisan kakakku yang bertuliskan KALILA ARSHANTI S. Aku memeluknya seakan bisa mengobrol dengannya lewat telepati. Aku mengadukan semua unek-unekku tentang pak Aksara. Aku juga meminta maaf kepada kakakku karena kami belum bisa menerima satu sama lain akan pernikahan ini. Air mataku menetes membasahi pipiku. Aku merasakan lengan tanganku ada yang menyentuh. Sudah pasti itu tangan Rere yang sedari tadi ada di sampingku.
"Mik, kalau kamu ada masalah. Kamu bisa cerita ke aku. Kalau kamu kangen sama kakakmu, kamu bisa meluk aku." Aku sudah berada dipelukannya.
Punggungku terasa hangat dan basah. Mungkin, itu tetesan air mata Rere. Meskipun, kami baru dipertemukan saat kuliah, tapi dia sudah sangat dekat denganku. Aku selalu mencurahkan isi hatinya ke dia, begitu juga sebaliknya. Namun, masalahku dengan pak Aksara tidak bisa kuceritakan dengannya.
"Re, makasih ya. Sudah mau berteman denganku." Aku mengencangkan pelukanku dan kembali meneteskan air mataku.
Kami pulang setelah berpamitan dengan kakakku. Sesuai janjiku, aku mentraktir Rere makan di tempat makan langganan kami. Aku mencoba menghilangkan rasa sedihku.
"Kalau ada masalah cerita. Kalau kamu cuma mendem masalah sendiri, enggak bakal ada solusi."
Dia memberiku sepasang sendok yang telah dibersihkan dengan tisu.
"Aku cuma kangen sama kakakku doang, kok." Aku menampilkan senyum untuknya.
"Beneran?"
"Beneran, Re."
Rere kalau lagi mode peka ya, kelewat peka orangnya. Kami nongkrong berdua sampai pukul setengah tujuh malam. Dia curhat tentang Zain yang tak kunjung mengajaknya jalan sepulang dari penelitiannya. Rere selalu memaklumi pacarnya yang sedang melewati masa sulit sebagai mahasiswa, yaitu mengerjakan skripsi.
Aku pulang di antar oleh Rere sampai depan rumah. Aku masuk ke rumah dan mendapati pak Aksara yang duduk di kursi ruang tamu.
"Dari mana?"
Terima kasih banget untuk kalian yang mau baca cerita ini. Like dan vote ya biar author semangat ehe. 😍❤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments