Keesokan harinya, Alice terbangun dari tidurnya.
Hari ini adalah hari pertamanya tinggal bersama Keluarga Dakota.
Alice kemudian beranjak dari tempat tidur dan membuka pintu kamarnya.
Tidak lupa ia membawa boneka kesayangannya.
Seperti biasa sebelum berangkat ke sekolah, Kate akan sarapan pagi bersama Ell.
Laura dan Marine selalu menemani mereka.
Sama dengan hal sekarang, Laura dan Marine sedang menyuapi Ell dan Kate.
Alice melirik ke arah Ell dan Kate yang sedang disuapi oleh Ibu mereka.
Ia bersembunyi di balik dinding.
Tatapan Alice berubah menjadi senduh.
Ia juga ingin seperti itu, sama seperti El dan Kate yang begitu disayangi oleh Ibu mereka.
Seketika ia teringat dengan Ibunya yang berjanji akan datang menjemputnya.
Apa suatu saat nanti ia akan merasakan hal itu juga dari Ibunya?
"Alice.."
panggil Laura.
Ell dan Kate melihat ke arah Alice yang terlihat baru bangun tidur.
Sama seperti sebelumnya, Marine memberikan tatapan tajam pada Alice.
"Kemarilah sayang..
Bibi akan menyuapimu juga."
Laura mengarahkan Alice untuk ikut makan bersama mereka.
Alice perlahan melangkahkan kakinya menuju meja makan.
"Apa Ibu ingin menyuapinya juga?
Aku tidak mau Ibu melakukannya.
Ibu hanya boleh menyuapiku saja."
ucap Ell dengan nada sinis.
Langkah Alice terhenti dan perlahan mundur setelah mendengar ucapan Ell.
"Ell, kau tidak boleh seperti itu sayang.
Alice adalah Adikmu.
Tentu Ibu harus menyuapinya juga."
"Apa yang dikatakan Ell benar Laura.
Anak itu baru saja bangun tidur dan belum mandi.
Tubuhnya pasti sangat bau.
Selera makan anak-anak akan hilang jika ia ikut makan bersama kita.
Dasar anak pemalas!"
"Marine, ucapanmu itu sangat kasar.
Kau seharusnya tidak mengatakan hal itu pada Alice."
"Bibi benar.
Ibu tidak boleh mengatakan hal itu pada Alice.
Bukankah Alice adalah Adikku, anak Paman Raphael?
Kita harus mengajaknya makan bersama kita."
ucap Kate.
Kate kemudian menghampiri Alice yang menundukkan wajahnya.
"Alice, kau bisa ikut makan bersama kami.
Tidak ada seorangpun yang akan memarahimu.
Ayolah."
ucap Kate dengan nada membujuk.
"Kate, hentikan sayang.
Kemarilah, kau harus segera menghabiskan makananmu.
Ibu takut kau terlambat nanti."
"Rihanna..."
panggil Marine.
"Iya Nyonya.."
"Bawa anak itu pergi dan segera mandikan dia.
Setelah itu kau beri dia makan."
"Baik Nyonya.."
Rihanna kemudian menghampiri Alice.
"Ayo ikut dengan saya Nona."
Alice menaikkan wajahnya dan kemudian ikut dengan Rihanna, kembali ke kamarnya.
--
Saat ini Laura sedang berada di rumah mereka,mempersiapkan kebutuhan Ell sebelum berangkat ke sekolah.
Rumah Laura dan Sergio berada tepat di sebelah rumah Keluarga Dakota.
"Ell, kenapa kau bicara seperti itu saat di meja makan tadi?
Itu hal yang tidak baik sayang.
Perkataanmu pasti sangat menyakiti Alice."
"Aku tidak suka dengannya Ibu."
"Kenapa kau tidak suka Alice, hem?"
Laura mensejajarkan tingginya dengan Ell.
"Anak itu membuat keluarga kita berubah Bu.
Sebelumnya keluarga kita sangat bahagia.
Tapi sejak kedatangannya, banyak perkelahian yang terjadi.
Paman dan Bibi sering berdebat karena dia.
Dan sekarang Ibu juga mulai perhatian dengannya."
"Ell, kau tidak boleh bicara seperti itu sayang.
Alice adalah keluarga kita.
Ibu paham bahwa kehadirannya yang tiba-tiba pasti mengejutkanmu dan juga Kate.
Tapi itu bukan kesalahan Alice sayang.
Sejak bayi Alice memang hidup terpisah dengan kita."
"Kalau begitu dia seharusnya tidak usah kembali Bu."
"Ell, suatu saat nanti kau akan mengerti maksud perkataan Ibu.
Ibu minta kau jangan pernah membenci Alice, hem?
Bukankah anak Ibu adalah anak yang baik?"
Ell tidak menjawab permintaan Laura.
Ia mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Laura mengerti bahwa di usia Ell yang masih kecil, Putranya itu belum bisa memahami maksud perkatannya.
Dia juga masih anak-anak.
"Baiklah, sekarang Ibu akan mengantarmu ke depan."
Laura membawa tas Ell dan kemudian mengantar Ell ke depan rumah.
Kate pasti sedang menunggunya.
--
Sepulang sekolah dan setelah makan siang, seperti biasa Ell dan Kate langsung pergi bermain basket ke lapangan yang tidak jauh dari rumah mereka.
"Kate, kali ini kau harus mengalahkanku."
Kate tersenyum dan kemudian melipat kedua tangannya.
"Baiklah.
Siapa takut?"
Kate mulai merebut bola dari Ell dan mencetak angka.
"Itu belum seberapa Kate."
Ell melakukan aksinya untuk merebut poin yang berikutnya.
Alice keluar dari rumah karena ia merasa sangat bosan berada di dalam kamar.
Alice melangkahkan kakinya menuju taman rumah.
Ia tersenyum melihat banyak bunga-bunga indah tertanam di sana.
Alice melanjutkan langkahnya, hingga ia melihat Ell dan Kate sedang bermain basket.
Masih ada rasa takut di dalam dirinya untuk bertemu dengan Ell.
Ia tahu bahwa sejak awal Ell tidak menyukai kehadirannya.
Namun ia berusaha memberanikan diri.
Ia pikir lambat laun Ell akan berubah.
"Alice..."
Kate menjatuhkan bola yang berada di tangannya dan kemudian menghampiri Alice.
"Alice, apa kau ingin ikut bermain bersama kami?"
Alice perlahan menganggukkan kepalanya.
"Kalau begitu, kemarilah.
Ell akan mengajarimu."
Kate menggandeng tangan Alice dan membawanya pada Ell.
"Ell, Alice ingin bermain bersama kita.
Karena kau yang lebih jago dariku, kau mau kan mengajari Alice bermain basket?"
Ell memberikan tatapan marah.
"Untuk apa aku mengajarinya bermain basket?
Tempat ini adalah milik kita berdua Kate!
Dia hanyalah orang asing.
Dia bukanlah bagian dari tempat ini!"
"Ell, mengapa kau berkata seperti itu?
Alice itu Adikku.
Dia juga bagian dari tempat ini."
"Kau yakin dia Adikmu?
Jika ia memang benar-benar Adikmu, Paman dan Bibi tidak akan melakukan pemeriksaan padanya."
"Ell cukup.
Alice hanya ingin bermain bersama kita."
ucap Kate dengan membujuk.
"Sampai kapanpun aku tidak mau mengajari dia bermain basket.
Bahkan ia tidak boleh menginjakkan kakinya ke sini."
Alice mencoba menahan tangisnya.
Sungguh perkataan Ell begitu melukai dirinya.
Ia memegang erat bonekanya.
"Ell..."
"Lebih baik kita kembali ke rumah.
Aku tidak ingin bermain lagi."
Ell kemudian menarik tangan Kate.
"Ell, lepaskan tanganku.
Aku ingin bermain bersama Alice."
Ell semakin membawa Kate menjauh dan akhirnya meninggalkan Alice sendiri.
Setelah kepergian mereka, Alice langsung meluapkan perasaan sedihnya.
Ia menutup kedua matanya dan kemudian menangis terisak.
Bagaimanapun ia hanyalah anak kecil yang tidak tahu apa-apa.
Mario pulang dari kantor.
Ia melihat ke sekelilingnya dan tidak mendapati Alice.
"Dimana Alice?"
tanya Mario pada Rihanna.
"Ada di dalam kamarnya Pak.
Sebentar saya panggilkan."
Saat masuk ke dalam kamar Alice, Rihanna begitu terkejut saat tidak mendapati Alice.
Padahal ia meninggalkan Alice di kamarnya dalam kondisi tidur tadi.
Rihanna kemudian kembali menghadap Mario.
"Maaf Pak. Nona Alice tidak ada di kamarnya.
Terakhir Nona Alice tidur kamarnya.
Tapi sekarang, saya tidak tahu dimana Nona Alice.
Saya akan mencarinya Pak.
"Tidak perlu Bu.
Saya yang akan mencarinya."
Mario kemudian menjelalahi rumah.
Namun Alice sama sekali tidak ada di sana.
Seketika perasaannya menjadi takut dan khawatir.
Ia takut Alice pergi dari rumah karena perkaataan kasar Marine waktu itu.
Walaupun mustahil, mengingat penjagaan di rumah yang begitu ketat.
"Tuan, kami menemukan Nona Alice di lapangan basket."
ucap salah satu pengawal.
"Baiklah, terima kasih."
Mario kemudian melangkahkan kakinya menuju lapangan basket.
Di sana ia melihat Alice sedang menangis sambil memeluk erat bonekanya.
Mario mendekati Alice.
"Sayang, apa yang kau lakukan sendirian di sini?"
Dengan wajah yang dipenuhi air mata, Alice menatap Mario dengan tatapan senduh.
"Paman..
Aku sangat merindukan Bu Sonya.
Apa Paman boleh membawaku kembali ke sana?"
"Tapi di sini rumah Alice.
Alice tidak boleh kembali lagi ke sana sayang."
"Tapi semua orang sangat membenciku Paman.
Mereka tidak suka melihat kehadiranku di sini."
"Tidak sayang, itu tidak benar.
Semua orang di sini sangat menyayangimu dan tidak ada seorangpun yang membencimu.
Mereka hanya perlu waktu.
Sama seperti Alice yang perlu waktu untuk menyesuaikan diri."
"Tidak ada yang menyayangiku Paman.
Untuk apa aku tinggal di sini?"
Mata Alice perlahan mulai berkaca-kaca.
"Ada Paman yang sangat menyayangimu Alice.
Kalau begitu, Alice mau kan tinggal bersama Paman?"
Alice menganggukkan kepalanya dan mulai kembali menangis.
Mario menghapus air mata Alice.
Alice kemudian memeluk Mario dengan erat.
Tangisan Alice membuat Mario merasa tidak tega.
Sangat wajar jika anak seusia Alice seperti ini.
Alice seharusnya tidak mendapatkan perlakuan kasar dari orang-orang di sekitarnya.
Mario mengelus punggung Alice dengan lembut.
(Maafkan Paman Alice.
Paman tidak bisa membawamu kembali ke sana.)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
D'wie author
Mario paman yg baik pdhl dia cm ipar Raphael.
2021-04-19
1