Cinta Kita Di Antara Corona
Dulu, aku bermimpi berada di posisi ini. Sekarang, kesempatan telah mengantarkannya ke tanganku. Di sinilah aku, disusupi keraguan. Haruskah aku pergi memenuhi panggilan impian? Atau berpaling, karena luka lama akan menganga, jika aku kembali ke tempat yang sama.
Hatiku ingin kembali, namun juga takut. Aku yang pernah terluka, haruskah kembali untuk menghadapi rasa takutku sendiri. Takut akan kesedihan, kesepian, dan trauma karena ditinggalkan. Bagaimana kupenuhi panggilan berikutnya saat hati ini belum sembuh dari rasa sakit olehnya.
Aku kembali datang ke rumahnya, untuk mendiskusikan luka. Karena ia tempat yang tepat, yang telah mengisi ruang besar di hatiku saat aku luput dari mendengarkan diriku sendiri. Mentorku yang kumaksud, orang yang memberikan hatinya untuk mendengarkan tanpa menghakimi setiap cerita yang mengalir dari mulutku.
Kerja baru, di tanah nan jauh dari Indonesia, di tempat hatiku pernah terluka. Bijakkah menjemput mimpi di tempat aku pernah kehilangan mimpi? Inilah pertanyaan yang terus muncul dalam kepalaku.
Aku tahu ini keputusan yang tidak mudah. Tidak bisa tiba-tiba aku bilang ya dan kemudian disusupi ragu yang menyeretku ke dalam semua batas ketidakmampuanku.
Estonia tidak dekat, bahkan dengan pesawat bisa memakan waktu hampir 20 jam perjalanan. Untuk itulah aku datang dan bersiap dengan keputusan besar ini. Sebab, jika ternyata aku begitu rapuh dan ingin menyerah, akan butuh begitu banyak waktu untuk mengubah arah.
"Pergilah, penuhi panggilanmu. Sesuatu yang baru telah menunggumu di Estonia." Ia melepaskanku dengan begitu yakin.
Orang yang kusebut mentor kehidupan ini, padanyalah aku sering datang sebelum mengambil sebuah keputusan besar. Lebih tepatnya, meyakinkan hati saat keraguan menghampiri.
"Aku hanya tidak mau kembali ke luka lama. Itu semua terlalu menyakitkan untuk dikenang" jawabku ragu-ragu.
"Hadapi atau mati. Jika kamu memilih untuk selalu lari, maka jiwamu sesungguhnya mati dalam perjuanganmu sendiri. Sebab kamu tidak berjuang untuk menghadapi segala rasa sakit. Suatu saat, semua luka akan membunuhmu dengan caranya." katanya lagi.
Sebagaimana hari-hari kemarin, hari ini pun sama, kami selalu berdiskusi di meja bundar rumahnya. Meja yang telah mendengarkan banyak isi hati, baik tentang cinta atau luka.
Ada banyak hari telah kuhabiskan dengan mendatanginya dan mendengarkan petuah-petuahnya. Mungkin tepatnya 5 tahun lamanya sejak aku merantau ke ibukota ini.
Dia orang yang mengubah jalan hidupku. Menggulung begitu banyak ketakutanku dan menggantinya dengan kepercayaan diriku. Dia membuat aku percaya bahwa aku memiliki semua bensin perjuangan yang kubutuhkan untuk bisa sukses dalam hidupku.
Kepercayaan yang mengantarkanku memilih Jakarta sebagai tempat berjuang. Kini, jalan hidup berkata lain, seperti batas waktuku telah berakhir di kota kesayanganku ini.
Jakarta terlalu nyaman, aku tahu rasanya keluar dari zona nyaman atau rasa aman yang selama ini sudah kugenggam, akan selalu dipenuhi ketakutan-ketakutan. Sebagian ketakutan itu memang beralasan, namun sebagian lagi tidak.
Begitu pun denganku, tentu saja berat, saat teman-teman dekat semua di sini, saban hari bisa bertemu dan bercengkrama. Dalam nuansa ramainya ibukota, cuaca hangat selalu membelah kesepianku.
Pergi meninggalkan tanah kelahiran, tinggal di salah satu negara terdingin di dunia, di mana matahari tak sering-sering menyapa. Memang awalnya impian, memenangkan pekerjaan yang mungkin menjadi incaran banyak orang. Namun, lagi, gadis tropis ini telah terlalu terbiasa dalam kenyamanan dan kehangatan tanah surga Indonesia. Terlebih lagi, hatiku, menemukan alasan lainnya yang menjadikannya berat untuk pergi.
"Jangan tergoda dengan kenyamanan yang kamu punya sekarang. Itu akan membuat kamu lupa berkembang," nasehat berikutnya.
"Banyak orang mati dalam kenyamanannya karena tidak lagi berkembang. Bukan raganya, tapi jiwanya. Orang tenggelam dalam rutinitas, tak ada gairah dan terbuai dengan zona nyaman yang dimilikinya. Tidak ada yang salah, jika itu pilihan masing-masing orang. Namun sayang, jika masih muda sepertimu tidak memilih berpetualang."
Kata-katanya membangkitkan gairahku. Dia benar, mungkin nanti saat tua aku punya lebih banyak uang, namun untuk apa saat bertemu dengan begitu banyak keterbatasan dalam berpetualang.
Saat ini mungkin aku hanya punya sedikit uang, bukankah lebih baik mengambil segala resiko dan melanjutkan berbagai kesempatan dengan berpetualang di dunia ini.
Bagaimana aku tahu apa yang disebutnya dengan sesuatu yang baru telah menungguku di Estonia. Mungkin memang saatnya memantapkan hati, menghadapi luka dan menjemput yang baru itu di sana.
"Apa yang menungguku di sana?" Tanyaku penuh ingin tahu.
"Banyak, salah satu cintamu" mentorku selalu yakin dengan ucapannya. Ia seperti dukun yang meramal kehidupanku, dan kata-katanya sering benar.
Tergoda, ingin kutanya lebih lanjut, namun aku menahan diriku. Jodoh, selalu menjadi daya tarik yang ingin kuketahui. Sebab ia selalu bilang, bahwa jodohku ada di Eropa, bukan di Indonesia.
Kegagalan masa lalu membuatku takut memikirkan untuk meneruskan perjuangan terkait yang satu ini. Meskipun, ada sisi lain dalam diriku yang ingin mencoba sekali lagi.
Aku sering memilih negara-negara Eropa dalam perjalanan project yang kupimpin. Tiap kali aku terbang, selalu kuedarkan pandangan. Siapa, siapa jodohku, yang itukah atau yang di sana, terkadang aku malu melihat tingkahku sendiri. Namun aku percaya, hijrahku kali ini melampaui perjalanan menemukan jodoh itu sendiri.
"Bagaimana kalau aku gagal bertahan? dan aku ingin pulang?" tanyaku lagi.
"Jangan memutuskan sesuatu setengah-setengah. Jika sudah membuat keputusan, maka jangan lihat ke belakang. Maju dan ambil segala tantangan" tegasnya.
Kata-katanya memang selalu menyemangati hati ini. Meski kutahu, kerapuhan pasti akan singgah nantinya. Tak ada yang mengatakan berhijrah adalah pekerjaan yang mudah, aku mengingatkan diri sendiri.
"Ingat selalu kalimat ini, lebih baik mati dalam memperjuangkan mimpi daripada mati dalam keraguan dan tak memperjuangkan apa-apa" tambahnya lagi.
Bagaimana aku bisa lupa pada kalimatnya yang satu ini. Tentu saja tersimpan rapi dalam hatiku. Sebab petuah darinya inilah yang membuatku mampu melangkahkan kaki merantau ke ibukota pertama kalinya di tahun 2013.
Jauh sebelum merantau, aku menjadi salah satu relawan yang bekerja di organisasinya, tepat setelah tsunami memporak-porandakan tanah kami.
Siapa yang dapat melupakan tsunami 26 Desember 2004 itu. Bencana terbesar di Asia yang merenggut 200 ribu nyawa lebih seketika di kampung halaman kami. Tak akan mungkin terlupa dalam sejarah kehidupan manusia.
Terkenang bersama air yang menggenang dalam lautan yang membawa pergi jiwa-jiwa. Aku percaya kejadian ini diabadikan dengan berbagai cara. Untuk kami, generasi yang mengalami, tentu berbagi melalui kisah pada anak cucu kami.
Sejak menjadi relawannyalah, hubungan kami dekat layak anak dan bapak atau adik dan abang atau juga teman. Padanya kusimpan kemelakatan dengan baik. Percaya pada nasehat-nasehatnya dan gagah berani bangkit mempercayai mimpi-mimpi.
Perjalanan panjang dari anak desa yang tinggal jauh dari perkotaan, serba keterbatasan dan tak punya jaringan. Lalu berkembang penuh percaya diri dan mengambil segala kesempatan yang ada.
Tak hanya merambah segala kesempatan di tingkat nasional, aku telah melalang buana ke berbagai negara dan mengikuti program-program internasional.
"Pergi, jemput segala kesempatan di hadapanmu!" kata-katanya selalu sama setiap aku lulus program atau mendapatkan kesempatan tertentu.
Ia selalu ingin aku mengambil bagian dan tidak menyia-nyiakan kesempatan yang datang. Selalu percaya bahwa dengan begitu, jalan-jalan lainnya akan terbuka. Termasuk jalan bekerja dan tinggal di luar negeri. Di antara semua negara yang pernah masuk daftar mimpiku, Estonia memang tak pernah ada di sana sebelumnya.
Aku merasa lebih tertantang di negara-negara besar di Eropa, bukan dengan negara-negara kecil. Namun kesempatan berkata lain, kadang kita tak pernah tahu, langkah perjuangan akan mengantarkan kita ke batas tanah yang mana.
Kesempatan memimpin beberapa project internasional menghadiahiku pekerjaan baru di Estonia. Negara yang berada di Eropa bagian utara ini menjadi negara yang maju dalam hal teknologi dan sering disebut-sebut sebagai negara masa depan.
Estonia, tempat di mana ribuan Start Up lahir dan menjadi salah satu negara terkuat dalam mendukung perusahaan Start Up di dunia. Dengan kepedulian yang besar dari pemerintahnya, Estonia telah melangkah jauh ke depan. Ia telah menjadi negara impian bagi anak muda terutama pencinta Start Up. Inilah kesempatan yang patut kuperjuangkan.
Walau pada awalnya memang bukan keinginanku tinggal di sana. Aku ingat target yang diberikan mentorku. Aku memang sering datang berkunjung dan tinggal dengannya untuk beberapa waktu tertentu.
"Setahun lagi berada di Indonesia, setelah itu pindah ya, merantau dan ambil tantangan-tantangan baru" kata-katanya waktu itu yang menyemangati namun juga menantang.
Aku tahu, terlepas dari apapun yang menungguku, panggilan ini akan kupenuhi. Aku dapat mendengar Estonia memanggil namaku. Memulai kehidupan baru di negara Baltic yang mungkin memberiku cerita baru dan mampu mengobati cerita luka lama. Aku adalah Vashla, kembali ke Estonia untuk menjawab panggilan baru hidupku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
bukan siapa
keren bahasanya
2021-06-15
1
Hania Putri Bangsa
kata kata nya keren. lanjut baca
2021-05-29
1