Allan tidak dapat memenuhi janjinya untuk bersama denganku di Hari Valentine. Ia punya tugas keluar kota yang tak bisa ditinggalkannya. Aku tidak tahu harus bersikap seperti apa. Haruskah kecewa atau biasa saja. Kecewa, karena itu hari di mana biasanya pasangan bersama-sama menghabiskan waktu mereka. Aku sudah melihat beberapa kali valentine di negara ini dirayakan. Terlepas dari pro dan kontra terhadap valentine terutama untuk negara seperti Indonesia, namun itu tidak terjadi di sini. Setidaknya, itu yang kuketahui.
Valentine sungguh berwarna di kota ini, semua orang, tua muda bahkan anak kecil memilih bunga untuk kesayangannya. Tidak hanya untuk pasangan kekasih saja, namun orang-orang telah terbiasa merayakannya melampaui batas pasangan kekasih, suami istri, bahkan sesama teman atau juga pada orang tua. Hari valentine tidak lagi dimaknai sempit di sini.
Kehebohan akan bunga-bunga, coklat berbentuk hati dan berbagai bentuk lainnya. Aku menyukai valentine, karena di hari itu semua orang akan sibuk menyiapkan hadiah untuk orang-orang yang dikasihinya. Baik mengajak makan di luar, memilih bunga bersama atau para suami-istri yang menggenggam bunga menaiki bus untuk segera pulang ke rumahnya. Ini pemandangan yang begitu membahagiakan untukku.
Bayangkan jika setiap orang, sibuk merayakan cinta seperti ini maka orang-orang tidak akan sibuk mengurusi hal-hal yang tidak perlu. Seperti menyebarkan kebencian atau bahkan perang sekalipun seharusnya tidak perlu terjadi jika manusia begitu disibukkan dalam aktivitas saling mencintai seperti ini.
"So, what's the plan?" Luky duduk di sampingku yang sejak tadi sibuk memandangi TV Tower dari jendelaku. Cahaya lampu kerlap kerlip dari atas sana.
"Nggak tahu, aku sudah setuju untuk ikut triple date. Mas Senar & Lessy, Melly dan suaminya juga bakal di sana. Allan sebelumnya menyetujuinya. Untuk pertama kalinya aku sangat bahagia karena ia mau bertemu teman-temanku" jawabku sendu.
"Emang segitu pentingnya kerjaannya itu, gak bisa ditunda?" tanyanya lagi.
"Nggak bisa katanya". Aku menghela napas panjang.
Ini yang terjadi jika terlalu berharap. Aku sebenarnya punya hal lainnya yang kutakutkan. Karena pernah diputuskan menjelang valentine. Aku ingat bagaimana menangis di tengah kota tua seorang diri. Melihat pasangan-pasangan lainnya disibukkan dengan perayaan cinta kasih. Sementara aku baru saja dicampakkan dan sehari menjelang valentine, bukankah perih? Tadinya aku berpikir, jika Allan di sisiku di hari valentine, maka kenangan menyakitkan itu akan tergantikan. Apa yang harus kulakukan sekarang. Apa sebaiknya kukatakan pada mereka kalau aku sedang tidak enak badan, jadi tidak ikut dinner bersama.
"Aku akan pergi denganmu. Jangan batalkan janjimu dengan teman-temanmu" Seperti bisa membaca pikiranku, Luky langsung menyuguhkan solusi.
"Trus aku bilang apa tentang Allan ke mereka?" Kenapa pula pertanyaan ini muncul.
"Ya bilang aja yang sebenarnya, jadi kamu datang bersamaku".
"Tapi ini kan triple date. Rencananya begitu, setiap orang bawa pasangan masing-masing. Lah masak aku bawa teman?" aku mengernyitkan dahiku sendiri.
"Emangnya kenapa? Kan kamu sendiri yang bilang, valentine gak melulu tentang pasangan". Wah Luky mengingat dengan baik kata-kataku.
"Ok, kalau gitu. Kamu jadi teman kencanku hari valentine".
"My pleasure, daripada kamu berpikir mencari lelaki random lagi. Kan gak lucu kamu aktifkan lagi aplikasi demi butuh seseorang yang kamu kencani di hari valentine. Tenang, I'm here now. Jadi kamu bisa pakai aku sebanyak yang kamu mau setiap kamu butuh".
Aku melotot ke arahnya. Kesal tapi ada sedikit senang dalam hatiku. Tentu saja solusinya ini bukan ide yang buruk sama sekali.
***
Aku berdandan, memberikan diriku maksimal akan perayaan hari valentine bersama Luky.
"Tuan putri sudah siap belum?" Luky berdiri di pintu kamarku seperti yang biasa ia lakukan, dengan gaya tangannya yang dilipat dan tubuhnya bersandar ke pintu.
"Bentar, alisku sudah rapi belum?" tanyaku menghadap ke arahnya.
"Aku sudah bilang kamu tidak perlu make up banyak. Biarkan wajahmu apa adanya, jauh lebih baik," ia menanggapi sambil tersenyum.
"I knew it, you wil say the same thing," aku kembali berpaling ke cermin. Melihat diriku sendiri dan percaya bahwa aku memang cantik. Meski di tempat di mana aku berasal, aku tidak masuk standar cantik sama sekali.
"Sudah hitam, gendut, jelek, hidup lagi". Bertahun-tahun, kalimat bully ini tidak pernah pergi dari ingatanku.
Itu terjadi begitu sering di masa kecil dan remajaku. Bahkan sampai dewasa. Karena aku dianggap tidak cantik dan tidak pernah mendapatkan tempat yang ku mau. Termasuk dalam hal kompetisi misalnya, yang bahkan tidak perlu mengandalkan fisik. Aku terbiasa digeser dengan orang lain yang biasanya rupawan, ah masa remajaku telah membekas dengan kenangan jenis ini.
Luky berjalan ke arahku dan berdiri tepat di belakangku. Kini kami berdua berada di depan cermin, dan melihat diri kami dengan begitu jelas di sana. Untuk sesaat kami saling memandang di cermin dan tenggelam dalam pikiran kami yang dalam. Ia menyentuh bahuku, begitu hangat dan erat.
"Lihat gadis yang di cermin. Cantik dan penuh kharisma. Gadis yang paling kuat yang pernah kukenal" ia berbisik di telingaku.
"You think so? I'm beautiful?".
"Hanya orang buta yang akan mengatakan kamu tidak cantik".
"Oke, berarti mereka semua buta. Orang-orang di masa laluku yang membullyku dan memperolok-olokkanku di publik karena aku tidak cantik. Kasihan, orang-orang buta itu, punya mata tapi tak bisa melihat," kataku sambil tersenyum dan membalikkan badan ke arah Luky.
"Gitu dong, senyum. Gimana tuan putri, kita sudah siap berangkat?" Luky mengulurkan tangannya bak seorang pangeran yang mengajak sang putri berdansa. Aku tersipu dan menyambut tangannya.
Kami turun dari taxi dan berjalan menembus jalan kota tua. Meski virus Corona merebak dan menakutkan ketika dibicarakan, namun tak ada perubahan pada segala aktivitas di sini. Mungkin, karena tidak ada dampak serius, jadi tidak ada anjuran lainnya dari pemerintah selain anjuran selalu mencuci tangan setiap dari manapun.
"Barnya di dekat Gereja Kuning itu bukan?" Tanya Luky sambil mengayun tanganku.
Kami berjalan seperti berpasang kekasih lainnya yang kami lihat di jalan. Hari kasih sayang memang indah. Aku ternyata bisa bahagia seperti ini meski yang menggandeng tanganku bukanlah Allan.
"Iya di situ, kita sering lewat kok, itu Bar Irlandia. Mereka yang pilih tempat, katanya makanannya enak di situ".
Kami menutup hari valentine dengan bahagia. Canda, tawa dan dinner bersama teman-teman. Triple date ini telah berjalan dengan baik. Meski lelaki yang kukencani bukanlah pacarku, Allan. Luky telah menggenapi perannya dengan baik. Tidak hanya pada saat Triple Date, namun setelah itu juga.
"Tunggu di sini, aku akan kembali segera," Luky berjalan cepat, setengah berlari ke arah Old Town. Aku menunggu di antara pepohonan di taman kota yang hanya 100 meter dari gerbang Old Town.
Gelapnya langit bertabur bintang, meski hanya beberapa, tetap indah. Kerlap kerlip lampu kendaraan dan semua bangunan di sekeliling, lampu taman bahkan lampu hias di beberapa pohon, begitu mendukung. Kuterka itu sisa natal yang belum dilepas. Luky kembali dan membawa sesuatu di tangannya.
"Happy Valentine's Day Vashla," Ia menyuguhkan setangkai mawar merah dan mencium pipiku.
Aku tersenyum bahagia. Kini, lengkap sudah valentineku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments