Meski disibukkan dengan kekasih baruku Allan dan kebersamaanku dengan Luky, namun aku tidak mengabaikan pekerjaanku. Karena pekerjaan yang sekarang kumiliki ini adalah salah satu mimpi yang telah kuperjuangkan begitu jauh. Aku bekerja dengan sungguh-sungguh karena memang mencintai apa yang kukerjakan ini.
Siapa yang menyangka seorang gadis miskin yang dibesarkan di desa terpencil di Aceh, ujung paling barat Indonesia ini, mendapatkan pekerjaan impian di tanah Eropa. Melihat kembali masa kecilku, bagaimana dibesarkan dalam masa konflik, tanpa komputer dan internet, bisa sampai di karir seperti ini. Serasa mustahil jika dipikirkan, namun bukankah tak ada yang tak mungkin jika memang diperjuangkan dengan sungguh-sungguh.
Mentorku mengatakan bahwa rumus sukses itu adalah bertemunya kesempatan dan kualitas diri.
"Jika kamu punya kualitas diri yang begitu bagus, namun tidak adanya kesempatan yang datang, maka tak akan bertemu dengan yang namanya sukses. Jika kamu diberikan kesempatan yang bagus sekalipun namun tidak memiliki atau tidak mampu meningkatkan kualitas diri, tidak akan bertemu dengan sukses. Jadi sukses itu bertemunya kualitas diri dan kesempatan maka jadilah sukses" kata-katanya saat ia sering memberikanku nasehat.
Aku mengingat dengan baik pesannya. Makanya untuk sampai ke titik ini, aku tidak akan menyia-nyiakan apa yang sudah kuperjuangkan dengan susah payah. Sudah kulihat banyak kehancuran diri dan karir karena dibutakan oleh cinta semata. Merasa tak seimbang atau tak setimpal mengorbankan mimpiku demi seorang lelaki yang mengatasnamakan cinta. Seharusnya cinta justru menjadi jawaban atas penyelamatan diri dari kehancuran yang terjadi.
"I prepare you coffee & sandwich," Luky bersuara dari ruang tamu. Ah Luky seperti biasa begitu manis. Hanya kalau lagi kumat dan sedang tidak bertengkar denganku. Biasanya hari-hari kami dipenuhi pertengkaran seperti Tom & Jerry. Ada saja perdebatan, meski banyak juga hal manisnya.
"Oh thank you so much. I hope I will have enough time to enjoy coffee and breakfast first," teriakku dari dalam kamar sambil memakai baju dan celanaku.
"You have enough time. Don't worry. Just don't put so much make up. Come here soon," lanjutnya.
"Ok. Ok".
Aku menyegerakan make upku yang hanya berlangsung beberapa menit. Keluar untuk menikmati breakfastku. Bahagia memiliki Luky, jika ia sedang bisa bangun pagi, ia tak sungkan menyiapkanku sarapan.
Hari ini adalah salah satu hari penting di kantorku. Kami akan kedatangan sekelompok mahasiswa yang dibawa oleh Tallinn University. Mahasiswa-mahasiswa ini berasal dari Australia, Papua Nugini, China, Taiwan, Estonia, dan Jepang. Mereka datang ke kantor kami untuk mempelajari tentang bagaimana e-democracy platform yang sedang kami bangun dan bagaimana sistem ini bekerja di Estonia. Seberapa efektif dan dampak yang sudah terjadi selama ini. Serta mereka dapat mencoba langsung memakai platformnya dan mengujinya saat visit ini. Aku, Alin dan Malor bos kami yang akan mengisi kuliah hari ini tentang E-democracy ini.
"Are you nervous?" tanya Luky yang sibuk memperhatikan kakiku saat sedang sarapan. Aku pasti akan menggoyang-goyangkannya jika sedang nervous.
"Mhmmm a little bit," jawabku sambil menyeruput habis kopi yang dibikinnya.
"Kan sudah latihan dari semalam. Gampanglah itu". Luky mencoba menenangkanku. Dia memang membantuku sejak semalam. Berdiri di hadapannya dan berlatih speechku. Dia sangat membantu dalam hal ini. Tidak hanya memperbaiki Bahasa Inggrisku, namun juga konten yang kusampaikan tentang perjalanan demokrasi di Indonesia.
"Lama ya Soeharto pimpin Indonesia. Wah, aku membayangkan bagaimana rakyat Indonesia hidup di masa itu" dia mengingatkanku tentang diskusi mereka semalam.
"Yah, gitulah keadaannya" jawabku buru-buru sambil berdiri.
Semalam, kami berdiskusi sampai larut. Perjalanan demokrasi dan cerita tentang konflik yang terjadi mulai dari konflik Aceh, Sampit di Kalimantan, Papua, Perang 65 dan sebagainya. Diskusi yang berat, menguras hati dan energi.
"Ok. Aku harus jalan sekarang. Minta tolong buang sampah ya, pastikan kamu buang secara terpilah sesuai jenis boxnya di depan apartemen" pesanku.
"I know I know. Memilah sampah budaya kami di rumah. Tak perlu mengajariku". Ah iya benar. Aku sudah terbiasa memberikan tugas dengan menjelaskan detail seperti ini, berlaku untuk Luky.
"Sorry, cuma bermaksud ngingatin kok," kataku nyengir.
"Taxiku sudah sampai. Bye".
Aku berhamburan menuju taksi dan menarik napas panjang berulang kali. Mencoba rileks dan setenang mungkin memulai hari. Sebentar lagi, ini akan menjadi pengalamanku yang pertama mengisi kelas tentang e-democracy. Di mana di negaraku sendiri bahkan belum memulainya dengan baik. Estonia memang tempat belajar untukku. Semoga yang kukerjakan di sini bermanfaat untuk Indonesia ke depannya. Doaku menuju kantor.
"Hi! Everyone!" sapaku begitu sampai kantor.
"Hi Agustina. Kuidas läheb ?" Malor bos kami menyapaku yang artinya apa kabar.
"Hästi. Kuidas sul läheb? Aku menjawab sekaligus menanyakan kabarnya kembali dalam Bahasa Estonia.
"Hästi. Bagaimana perasaanmu menyambut kedatangan tamu-tamu kita hari ini?" tanyanya lagi.
"Excited!" jawabku singkat.
"Cool. Then everyone get ready" perintah Malor langsung disambut aksi kami.
Kami menyiapkan segala sesuatu. Video yang mau kami tunjukkan. Memastikan file presentasi dan mengatur kursi. Oh berbicara soal kursi, selain kursi kerja seperti kantoran biasa, kantor kami memiliki banyak kursi bantal yang dijadikan untuk duduk bersantai atau disebut juga bean bag. Jadi bekerja tidak harus selalu duduk di meja dan kemudian terpaku di depan komputer dengan posisi duduk tegak. Kerja juga bisa dilakukan sambil lesehan atau tiduran di kursi santai yang khusus disiapkan kayak sedang di pantai. Kantor disulap menjadi tempat yang nyaman dan bernuansa santai sesuai dengan filosofi kantor kami. Kerja tidak boleh lupa having fun.
Kami mengatur kursi-kursi santai ini dengan bentuk U. Lalu beberapa yang kurang di belakangnya kami tambahkan meja dan kursi biasa. Para tamu nanti bisa memilih duduk lesehan, santai di bantal atau di kursi kerja, atau sebagian space untuk berdiri kalau mereka mau.
"Eh mereka udah datang, di bawah, siapa yang jemput?" Tanya Luna.
"Aku saja yang turun, biar aku yang jemput". Oksy memakai sepatunya dan kemudian turun menjemput tamu kami.
Kami semua menyambut mereka dengan gembira. Melihat wajah-wajah mahasiswa ini seperti mengembalikan kenangan akan diri sendiri yang pernah jadi mahasiswa. Alin membuka pertemuan kami dengan mempersilahkan setiap orang memperkenalkan dirinya. Lalu ia mempersilahkan Malor untuk memulai sesi.
Malor mulai bercerita bagaimana ia memulai perjalanan untuk melahirkan perusahan social enterprise digital platform ini. Kenapa ia memiliki ketertarikan yang besar pada dampak bermanfaat pada citizen yang mendapatkan kekuatan untuk memperjuangkan hak-haknya. Latar belakangnya yang memang aktivis, berjuang bersama grass-root sejak dulu mendorong ia menciptakan platform e-democracy, di mana citizen dapat merumuskan sendiri topik-topik yang mau didiskusikan sesuai kebutuhan, mengumpulkan ide, melakukan voting dan kemudian merekomendasikan ide tersebut kepada pemerintah. Ada banyak topik sukses yang dipimpin oleh masyarakat itu sendiri dan berhasil melibatkan 1000 orang. Kemudian isu tersebut dibawa ke parlemen mereka di Estonia untuk dipertimbangkan.
"Salah satu cerita masyarakat lokal yang sukses melalui platfom kami adalah tentang dilarangnya penebangan hutan di salah satu lokasi di Estonia karena masyarakat lokal ingin melindungi Tupai di sana. Tidak banyak Tupai yang tersisa dan masyarakat lokal ingin Tupai tetap hidup dengan baik. Mereka melarang berbagai aktivitas pembangunan dan sebagainya yang merusak hutan. Lalu mereka memimpin diskusi dan melakukan voting. Akhirnya ide mereka didengar pemerintah dan hutannya dijaga dengan baik".
Mahasiswa yang berjumlah 15 orang itu manggut-manggut khidmat mendengar cerita Malor. Mereka mulai paham apa yang kami kerjakan di perusahaan ini dan bagaimana kami mendukung masyarakat dalam membuat suaranya didengar oleh pemerintah.
"Salah satu contoh lainnya akan dipresentasikan oleh Vashla. Sebagai Partnership Lead untuk Indonesia, ia telah sukses membuat perubahan disana melalui beberapa Indonesian Project yang kita kerjakan, Vashla silahkan" Malor memberi panggung untukku.
Aku berdiri di hadapan mereka dan memulai cerita tentang sejarah perjalanan demokrasi secara umum. Apa tantangan yang dihadapi. Kenapa penting mendorong masyarakat berdaya dan bersuara serta memiliki tools yang tepat.
Aku berikan contoh Islands Project yang kami pimpin di Indonesia. Bagaimana masyarakat pulau menyuarakan isu sampah yang tak kunjung usai di pulau mereka. Akhirnya melalui diskusi panjang, pengumpulan ide, voting ide, mereka berhasil merumuskan program yang mereka mau. Pada saat bertemu pemerintah dan presentasi, pemerintah lokal menyetujui dan berkomitmen menjalankan program tersebut.
Para mahasiswa bertepuk tangan saat sesi sharing berakhir. Presentasi kami dengan menampilkan kasus per kasus telah mempermudah mereka memahami bagaimana platform kami bekerja. Itu adalah hari yang membahagiakan buatku sebagai staf baru. Bangga melakukan sesuatu yang berarti dan melihat ini sebagai sebuah pencapaianku. E-democracy, aku menikmati proses bekerja dan belajar disini.
"Terima kasih atas pengalaman berharga ini," ucapku pada bosku.
"Palun," jawabnya dalam Bahasa Estonia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments