NovelToon NovelToon

Cinta Kita Di Antara Corona

Bab 1 Ketika Estonia Memanggilku

Dulu, aku bermimpi berada di posisi ini. Sekarang, kesempatan telah mengantarkannya ke tanganku. Di sinilah aku, disusupi keraguan. Haruskah aku pergi memenuhi panggilan impian? Atau berpaling, karena luka lama akan menganga, jika aku kembali ke tempat yang sama.

Hatiku ingin kembali, namun juga takut. Aku yang pernah terluka, haruskah kembali untuk menghadapi rasa takutku sendiri. Takut akan kesedihan, kesepian, dan trauma karena ditinggalkan. Bagaimana kupenuhi panggilan berikutnya saat hati ini belum sembuh dari rasa sakit olehnya.

Aku kembali datang ke rumahnya, untuk mendiskusikan luka. Karena ia tempat yang tepat, yang telah mengisi ruang besar di hatiku saat aku luput dari mendengarkan diriku sendiri. Mentorku yang kumaksud, orang yang memberikan hatinya untuk mendengarkan tanpa menghakimi setiap cerita yang mengalir dari mulutku.

Kerja baru, di tanah nan jauh dari Indonesia, di tempat hatiku pernah terluka. Bijakkah menjemput mimpi di tempat aku pernah kehilangan mimpi? Inilah pertanyaan yang terus muncul dalam kepalaku.

Aku tahu ini keputusan yang tidak mudah. Tidak bisa tiba-tiba aku bilang ya dan kemudian disusupi ragu yang menyeretku ke dalam semua batas ketidakmampuanku.

Estonia tidak dekat, bahkan dengan pesawat bisa memakan waktu hampir 20 jam perjalanan. Untuk itulah aku datang dan bersiap dengan keputusan besar ini. Sebab, jika ternyata aku begitu rapuh dan ingin menyerah, akan butuh begitu banyak waktu untuk mengubah arah.

"Pergilah, penuhi panggilanmu. Sesuatu yang baru telah menunggumu di Estonia." Ia melepaskanku dengan begitu yakin.

Orang yang kusebut mentor kehidupan ini, padanyalah aku sering datang sebelum mengambil sebuah keputusan besar. Lebih tepatnya, meyakinkan hati saat keraguan menghampiri.

"Aku hanya tidak mau kembali ke luka lama. Itu semua terlalu menyakitkan untuk dikenang" jawabku ragu-ragu.

"Hadapi atau mati. Jika kamu memilih untuk selalu lari, maka jiwamu sesungguhnya mati dalam perjuanganmu sendiri. Sebab kamu tidak berjuang untuk menghadapi segala rasa sakit. Suatu saat, semua luka akan membunuhmu dengan caranya." katanya lagi.

Sebagaimana hari-hari kemarin, hari ini pun sama, kami selalu berdiskusi di meja bundar rumahnya. Meja yang telah mendengarkan banyak isi hati, baik tentang cinta atau luka.

Ada banyak hari telah kuhabiskan dengan mendatanginya dan mendengarkan petuah-petuahnya. Mungkin tepatnya 5 tahun lamanya sejak aku merantau ke ibukota ini.

Dia orang yang mengubah jalan hidupku. Menggulung begitu banyak ketakutanku dan menggantinya dengan kepercayaan diriku. Dia membuat aku percaya bahwa aku memiliki semua bensin perjuangan yang kubutuhkan untuk bisa sukses dalam hidupku.

Kepercayaan yang mengantarkanku memilih Jakarta sebagai tempat berjuang. Kini, jalan hidup berkata lain, seperti batas waktuku telah berakhir di kota kesayanganku ini.

Jakarta terlalu nyaman, aku tahu rasanya keluar dari zona nyaman atau rasa aman yang selama ini sudah kugenggam, akan selalu dipenuhi ketakutan-ketakutan. Sebagian ketakutan itu memang beralasan, namun sebagian lagi tidak.

Begitu pun denganku, tentu saja berat, saat teman-teman dekat semua di sini, saban hari bisa bertemu dan bercengkrama. Dalam nuansa ramainya ibukota, cuaca hangat selalu membelah kesepianku.

Pergi meninggalkan tanah kelahiran, tinggal di salah satu negara terdingin di dunia, di mana matahari tak sering-sering menyapa. Memang awalnya impian, memenangkan pekerjaan yang mungkin menjadi incaran banyak orang. Namun, lagi, gadis tropis ini telah terlalu terbiasa dalam kenyamanan dan kehangatan tanah surga Indonesia. Terlebih lagi, hatiku, menemukan alasan lainnya yang menjadikannya berat untuk pergi.

"Jangan tergoda dengan kenyamanan yang kamu punya sekarang. Itu akan membuat kamu lupa berkembang," nasehat berikutnya.

"Banyak orang mati dalam kenyamanannya karena tidak lagi berkembang. Bukan raganya, tapi jiwanya. Orang tenggelam dalam rutinitas, tak ada gairah dan terbuai dengan zona nyaman yang dimilikinya. Tidak ada yang salah, jika itu pilihan masing-masing orang. Namun sayang, jika masih muda sepertimu tidak memilih berpetualang."

Kata-katanya membangkitkan gairahku. Dia benar, mungkin nanti saat tua aku punya lebih banyak uang, namun untuk apa saat bertemu dengan begitu banyak keterbatasan dalam berpetualang.

Saat ini mungkin aku hanya punya sedikit uang, bukankah lebih baik mengambil segala resiko dan melanjutkan berbagai kesempatan dengan berpetualang di dunia ini.

Bagaimana aku tahu apa yang disebutnya dengan sesuatu yang baru telah menungguku di Estonia. Mungkin memang saatnya memantapkan hati, menghadapi luka dan menjemput yang baru itu di sana.

"Apa yang menungguku di sana?" Tanyaku penuh ingin tahu.

"Banyak, salah satu cintamu" mentorku selalu yakin dengan ucapannya. Ia seperti dukun yang meramal kehidupanku, dan kata-katanya sering benar.

Tergoda, ingin kutanya lebih lanjut, namun aku menahan diriku. Jodoh, selalu menjadi daya tarik yang ingin kuketahui. Sebab ia selalu bilang, bahwa jodohku ada di Eropa, bukan di Indonesia.

Kegagalan masa lalu membuatku takut memikirkan untuk meneruskan perjuangan terkait yang satu ini. Meskipun, ada sisi lain dalam diriku yang ingin mencoba sekali lagi.

Aku sering memilih negara-negara Eropa dalam perjalanan project yang kupimpin. Tiap kali aku terbang, selalu kuedarkan pandangan. Siapa, siapa jodohku, yang itukah atau yang di sana, terkadang aku malu melihat tingkahku sendiri. Namun aku percaya, hijrahku kali ini melampaui perjalanan menemukan jodoh itu sendiri.

"Bagaimana kalau aku gagal bertahan? dan aku ingin pulang?" tanyaku lagi.

"Jangan memutuskan sesuatu setengah-setengah. Jika sudah membuat keputusan, maka jangan lihat ke belakang. Maju dan ambil segala tantangan" tegasnya.

Kata-katanya memang selalu menyemangati hati ini. Meski kutahu, kerapuhan pasti akan singgah nantinya. Tak ada yang mengatakan berhijrah adalah pekerjaan yang mudah, aku mengingatkan diri sendiri.

"Ingat selalu kalimat ini, lebih baik mati dalam memperjuangkan mimpi daripada mati dalam keraguan dan tak memperjuangkan apa-apa" tambahnya lagi.

Bagaimana aku bisa lupa pada kalimatnya yang satu ini. Tentu saja tersimpan rapi dalam hatiku. Sebab petuah darinya inilah yang membuatku mampu melangkahkan kaki merantau ke ibukota pertama kalinya di tahun 2013.

Jauh sebelum merantau, aku menjadi salah satu relawan yang bekerja di organisasinya, tepat setelah tsunami memporak-porandakan tanah kami.

Siapa yang dapat melupakan tsunami 26 Desember 2004 itu. Bencana terbesar di Asia yang merenggut 200 ribu nyawa lebih seketika di kampung halaman kami. Tak akan mungkin terlupa dalam sejarah kehidupan manusia.

Terkenang bersama air yang menggenang dalam lautan yang membawa pergi jiwa-jiwa. Aku percaya kejadian ini diabadikan dengan berbagai cara. Untuk kami, generasi yang mengalami, tentu berbagi melalui kisah pada anak cucu kami.

Sejak menjadi relawannyalah, hubungan kami dekat layak anak dan bapak atau adik dan abang atau juga teman. Padanya kusimpan kemelakatan dengan baik. Percaya pada nasehat-nasehatnya dan gagah berani bangkit mempercayai mimpi-mimpi.

Perjalanan panjang dari anak desa yang tinggal jauh dari perkotaan, serba keterbatasan dan tak punya jaringan. Lalu berkembang penuh percaya diri dan mengambil segala kesempatan yang ada.

Tak hanya merambah segala kesempatan di tingkat nasional, aku telah melalang buana ke berbagai negara dan mengikuti program-program internasional.

"Pergi, jemput segala kesempatan di hadapanmu!" kata-katanya selalu sama setiap aku lulus program atau mendapatkan kesempatan tertentu.

Ia selalu ingin aku mengambil bagian dan tidak menyia-nyiakan kesempatan yang datang. Selalu percaya bahwa dengan begitu, jalan-jalan lainnya akan terbuka. Termasuk jalan bekerja dan tinggal di luar negeri. Di antara semua negara yang pernah masuk daftar mimpiku, Estonia memang tak pernah ada di sana sebelumnya.

Aku merasa lebih tertantang di negara-negara besar di Eropa, bukan dengan negara-negara kecil. Namun kesempatan berkata lain, kadang kita tak pernah tahu, langkah perjuangan akan mengantarkan kita ke batas tanah yang mana.

Kesempatan memimpin beberapa project internasional menghadiahiku pekerjaan baru di Estonia. Negara yang berada di Eropa bagian utara ini menjadi negara yang maju dalam hal teknologi dan sering disebut-sebut sebagai negara masa depan.

Estonia, tempat di mana ribuan Start Up lahir dan menjadi salah satu negara terkuat dalam mendukung perusahaan Start Up di dunia. Dengan kepedulian yang besar dari pemerintahnya, Estonia telah melangkah jauh ke depan. Ia telah menjadi negara impian bagi anak muda terutama pencinta Start Up. Inilah kesempatan yang patut kuperjuangkan.

Walau pada awalnya memang bukan keinginanku tinggal di sana. Aku ingat target yang diberikan mentorku. Aku memang sering datang berkunjung dan tinggal dengannya untuk beberapa waktu tertentu.

"Setahun lagi berada di Indonesia, setelah itu pindah ya, merantau dan ambil tantangan-tantangan baru" kata-katanya waktu itu yang menyemangati namun juga menantang.

Aku tahu, terlepas dari apapun yang menungguku, panggilan ini akan kupenuhi. Aku dapat mendengar Estonia memanggil namaku. Memulai kehidupan baru di negara Baltic yang mungkin memberiku cerita baru dan mampu mengobati cerita luka lama. Aku adalah Vashla, kembali ke Estonia untuk menjawab panggilan baru hidupku.

Bab 2 Selamat Tinggal Ayam Gepuk

Selain akan merindukan mentorku dan seluruh teman-teman di Jakarta, aku tahu rinduku juga pada Ayam favoritku. Tak akan terlupa gurihnya Ayam yang dijual di Jakarta dengan berbagai menu. Mulai dari Ayam Geprek, Ayam Gepuk, Ayam Pedas, Ayam Cabe, Ayam Mercon, Ayam Rendang, Ayam Gledek, Ayam Lada, Ayam Keju dan berbagai barisan menu Ayam lainnya yang gampang ditemui di mana saja.

Di antara semua menu Ayam di atas, favoritku adalah Ayam Gepuk. Dapat kudengar hatiku berontak karena Estonia tak memiliki Ayam Gepuk tentunya. Hati dan pikiranku terus bertanya bagaimana jika rindu? Ayam Gepuk ini memang telah mencuri hatiku sejak beberapa tahun ini di Jakarta.

Aku punya ide untuk mengadakan pesta Ayam Gepuk bersama gank Gepukku. Harus ada farewell party dengan Ayam Gepuk ini biar kesedihan dapat terobati saat berpisah dengan makanan favoritku. Aku butuh mengumpulkan pasukan Gepuk segera.

"Malam minggu di apartemenku, kita kumpul ya. Farewell sambil makan Ayam Gepuk" tulisku di group whatsapp kami.

"Oke, mau jam berapa?" balas Vavan cepat, tepat setelah pesan beberapa menit kuposting.

Dia yang memperkenalkanku makan Ayam Gepuk pertama kali dan orang yang seharusnya bertanggung jawab pada kegilaanku setelahnya. Kita sering makan dengan level paling pedas, sampai muka dan telinga seperti terbakar.

Setelah kami berdua jatuh cinta pada Ayam Gepuk, lalu teman-teman lain adalah korbannya. Karena kami sering meracuni teman-teman dengan menu ini setiap kali berkumpul. Bahagia, karena mereka kini ikut terjerat makanan favorit kami.

"Vashla! Kamu jual Ayam Gepuk aja di sana," goda Livi saat kami semua sudah kumpul.

"Aku tukang makan aja" jawabku.

"Ide bagus tuh vi, aku setuju. Lumayan nambah-nambah duit", timpal Mauli.

"Kalian kira mereka makan cabe? Aku belum pernah nemu orang Estonia yang bisa makan cabe kayak kita," kataku menepis ide Livi. Aku tahu dia bercanda.

Mereka berdua seringnya memang kompak saling menimpali kalau sudah kumpul. Lalu sibuk bikin skenario dengan membayangkan aku yang mendagangkan Ayam Gepuk di Estonia. Negara yang hanya dilihat mereka dari internet.

Aku hanya ikut menertawakan candaan mereka karena paham betul negara yang tak makan cabe ini. Jika pun ada, seringnya Cabe tak pedas sama sekali untuk kategori orang Indonesia. Menyimak dua gadis ini saling sahutan tentu saja seru. Mereka harus mengunjungiku suatu saat biar bisa lihat sendiri seperti apa negara mungil ini.

"Aku mau dada, dua dada sekaligus, plus sayap juga deh" aku langsung menarik bungkusan Ayam Gepuk yang baru tiba.

"Buset! kesurupan apa?" Vavan menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Biarin, kan kita order banyak! Nasi, mana nasi?" teriakku ke muka Mauli.

Ini kebiasaan kami, memesan Ayam Gepuk lalu memasak nasi sendiri biar bisa makan sepuasnya. Ditambah makan Ayam Cabe dengan sambalnya yang dicampur nasi panas adalah surga.

Sambal Ayam Gepuk memang beda. Tidak hanya cabenya yang enak karena pedasnya benar-benar nendang, namun campuran kacang yang digiling lalu ditumis dalam minyak yang ditambah bawang ini membuat lidah tak mampu menahannya.

"Kita yakin nih, mau abisin nasi sebegini banyak?" Mauli meletakkan satu baskom nasi di hadapan kita semua. Asap mengepul dari nasi yang baru saja diambil dari rice cooker.

Surganya orang Indonesia adalah nasi putih dan sambal. Ini surga yang juga kami percayai disandingkan dengan Ayam Gepuk favorit kami.

"Jangan pernah ragu soal nasi. Kita punya dua monster lainnya yang siap menghabiskan semua nasi ini, hahaha" tawaku meledak memenuhi ruangan sambil menjulurkan lidahku ke arah Vavan dan Livi.

Di antara kami, mereka berdua adalah pencinta nasi putih yang tiada duanya. Tak ada cerita setiap makan tanpa menambah ronde kedua dan seterusnya. Bisa ditebak, berikutnya adalah tindakan barbar kami dalam menghabisi potongan-potongan Ayam Gepuk bahkan sampai ke tulang-tulangnya.

Siapa yang dapat menolak manisnya tulang Ayam yang dihisap bersama bumbu-bumbu Gepuk yang bermandikan minyak. Tak sampai satu jam, ludes tanpa sisa semuanya. Kami tersenyum bahagia kekenyangan.

Lanjutan adegan berikutnya adalah slimming tea session. Genitnya kami ini yang suka ala-ala. Kehidupan kami penuh drama, percaya pada makan apa saja, asal setelahnya bersantai dengan sliming tea bersama sambil membahas berbagai cerita.

Sesi sliming tea juga terkadang cara lain mengurangi rasa bersalah kami. Makan banyak, olahraga sedikit, diimbangi sliming tea yang sebenarnya tidak pernah seimbang. Karena sesi ini juga tidak rutin, namun cukup menjawab drama berat badan yang kami bikin sendiri.

"Eh lo lebih kangen Ayam Gepuk atau kita?" Vavan melihat ke arahku dan bersamaan dengan yang lain setelah menyeruput teh kami.

"Rindu kamu!" jawabku sambil mengedipkan mata ke arahnya.

Lelaki Chinese yang satu ini sudah menjadi teman dekatku sejak lama. Sama-sama berasal dari tanah Sumatera, kami berdua adalah pejuang di tanah rantau Jakarta.

Sebagaimana kebanyakan pemuda lainnya yang mengadu nasib di kota besar, kami seperti terlempar ke dalam kolam yang jauh berbeda dari yang pernah kami jalani tentunya.

Aku dan Vavan dua sahabat yang unik. Satu Chinese, satu Acehnese, dengan karakter kami yang begitu bertolak belakang satu sama lain. Meski ada banyak teman-teman lainnya sering ikut berkumpul, namun kami berdua jauh lebih sering menghabiskan waktu bersama.

Pertemuan kami juga penuh kenangan karena tak terjadi di Indonesia. Kami bertemu di Filipina suatu ketika saat sedang mengikuti konferensi Asia untuk aktivis lingkungan.

Dia menjejaliku dengan banyak sekali pertanyaan dalam Bahasa Inggris dan beberapa kali kami berpapasan menjadi teman dalam permainan game saat hari pertama konferensi.

"Where are you from btw?" tanyanya.

"Indonesia," jawabku pendek.

"Hei, gue orang Indo juga"

"What?" aku membelalakkan mata ke arahnya dan kami berdua mulai tertawa.

Aku mengira ia orang China atau Filipina, ia mengira aku orang Pakistan karena kulit coklatku dan wajah yang tidak seperti kebanyakan orang Indonesia menurutnya. Sejak saat itulah, kami menjadi dekat.

Sepulang dari Filipina, kehangatan hubungan kami tak pernah hilang. Sementara Livi adalah gadis Papua yang juga sudah lama berteman denganku. Bedanya Vavan lebih dulu. Begitupun Mauli, gadis Jawa yang datang kemudian dalam hubungan pertemanan kami. Persahabatan kami melampaui sekat suku dan agama. Seperti Indonesia, beragam dan satu dalam cinta.

"Jangan kau berani lupakan kami" Mauli memelukku sambil berlinang air mata. Berulang kali ia menghapus air matanya dengan ujung jilbab segi empatnya.

Kami berpelukan sampai malam meninggalkan kenangan Ayam Gepuk yang kami makan. Tentu saja, persahabatan tak semudah itu digantikan. Meski jarak dan waktu tak lagi sama seperti saat masih bersama. Ada cinta yang tetap dipelihara dan tak akan tergantikan begitu saja.

"I love you kesayangan".

Aku ikut larut dalam haru biru ini. Selamat tinggal kebersamaan sampai kita bertemu kembali. Selamat tinggal Ayam Gepuk. Tunggu aku kembali.

Bab 3 Aku Di Antara Vavan & Luky

Sebagaimana perjalanan keluar negeri yang sering kulakukan dan Vavan seringnya mengantarku, pun sama kali ini. Ia tak mau melewatkan kesempatan ini karena untuk pertama kalinya aku pergi dalam waktu yang lama.

Aku beruntung memilikinya di sisiku yang kadang berperan seperti petugas bandara dan seringnya mengecek semua dokumen sebelum bepergian. Terlihat cerewet, namun kecerewetannya beralasan.

Dia jauh lebih teliti dariku. Selalu memastikan dokumen, barang yang harus di packing di tas tenteng, list obat yang harus dibawa, minuman dan makanan, serta berbagai list barang kebutuhan lainnya.

"Semua udah masuk koper?" tanyanya sambil menutup bagasi mobil.

"Sudah, cuma satu yang belum" jawabku.

"Ayam Gepuk" ledeknya.

Kami berdua tertawa karena sama-sama tahu. Tepat seperti yang diterkanya dan memang tidak berencana membeli Ayam Gepuk. Mobil Vavan melaju keluar dari area apartement yang kutinggali.

Aku memandang sekali lagi gedung tinggi yang selama ini sudah menjadi tempat tinggalku ini. Lantai 17, di Tower inilah kami menciptakan banyak kenangan persahabatan, yang tak akan pernah kulupakan.

Jogging di malam hari yang biasanya kami lakukan, karena malas bangun pagi. Ada taman di Grand Floor yang mengitari kolam renang yang besar, ada fasilitas gym juga. Itu yang membuat aku memilih tempat ini, salah satunya.

Berkumpul, jogging, berenang atau piknik di taman adalah hal yang rutin kami lakukan sambil cuci mata lihat cowok-cowok yang biasanya juga olahraga sore hari di sana. Hanya berlaku bagi kami-kami tentunya, Vavan lebih memilih Gym biasanya. Aku pasti akan merindukan semua aktivitas ini, apalagi hangatnya matahari.

"Tumben nih gak macet" Vavan mulai memutar musik sambil tetap konsentrasi dengan kemudinya.

"Iya nih, semoga dewi keberuntungan ini mengikuti kita terus. Sampai di bandara dengan selamat, kamu pulang lagi juga semua lancar. Proses ****check in**** dan dokumenku juga lancar jaya menembus semua imigrasi, amin".

"Amin!" Vavan mengucapnya dengan suara besar menandingi musik di mobilnya.

Hanya butuh 1 jam, kami tiba di bandara Soekarnoe Hatta. Jalanan Jakarta yang sedang tidak terlalu macet telah memberikan kelancaran ini. Masih ada banyak waktu dan aku juga tidak perlu buru-buru. Ini yang kusuka, tiap bepergian punya cukup waktu untuk check in dan masih bisa bersantai menikmati segelas kopi sebelum masuk pesawat.

Vavan menggenggam tanganku dan kami berjalan bersama dari area parkir mobil ke terminal keberangkatan. Hal yang biasa kami lakukan ketika berjalan. Orang seringnya mengira kami adalah pasangan.

Bagi kami itu hanyalah kebiasaan dalam mengekspresikan kedekatan hubungan pertemanan kami. Dia memelukku dan menghela nafas panjang. Tak ditunjukkannya air mata, ia selalu tersenyum dan menenangkan dengan pandangan teduhnya.

"Call me anytime. Jangan kencan sembarang orang" pesannya yang disambut tawaku. Dia tahu semua jenis laki-laki yang pernah kukencani.

"Jangan pernah berani kirim aku foto saat kalian makan Gepuk" Ancamku yang disambut gelak tawanya.

Aku memeluk erat tubuhnya. Aku tahu rindu akan segera menyergapku saat tiba di Estonia nanti. Kami saling melambai, aku mempersiapkan segala dokumen untuk check in. Dia kembali berjalan menuju area parkir.

"Vashla!" ia berteriak dari jauh. Aku berpaling ke arahnya. Ia berlari ke arahku, memelukku dengan nafasnya yang memburu.

"I will miss you" bisiknya lirih. Duh hatiku berdentum kencang. Seperti drama-drama di TV.

"I will miss you too" kataku. Setelah itu, kami benar-benar berpisah karena aku harus check in.

***

Setelah 10 jam lebih duduk di pesawat, aku kembali menginjakkan kakiku di bandara Ataturk, Istanbul. Ini salah satu bandara favoritku. Selalu senang tiap kali transit di sini, walau sering punya masalah dengan internet di bandaranya. Namun, aku menyukai semua fasilitas lain yang mereka punya.

Aku sudah sering menghabiskan jam-jam di sini dengan membaca buku dan bekerja. Aku tukang kerja, jadi lokasi di mana aku berada sama sekali tidak mempengaruhi kerjaku, selama ada internet. Jika sedang tidak ada internet, seringnya aku mengerjakan beberapa pekerjaan secara offline.

Kopi panas, sandwich dan desert seringnya menemaniku di bandara ini. Itu sudah cukup menyenangkan bagiku. Ada banyak pilihan cafe yang menawarkan kenyamanan bagi pelanggannya. Namun jika tidak nongkrong di cafe sekalipun, bandara ini menyediakan banyak tempat duduk dan meja yang juga nyaman jika ingin bekerja.

Kubuka whatsapp untuk mengecek beberapa chat dan juga group yang seringnya begitu ribut. Lumayan mengusir rasa sepi di antara keramaian manusia yang sedang bepergian.

"Hey, how are you? You arrived?" kupandangi pesannya dengan senyuman mengembang di bibirku. Luky, lelaki favoritku. Ia seperti biasa rutin mengecek keadaanku.

Lelaki ini, teman virtualku. Sudah tiga tahun kami berteman dan merayakan kehangatan dalam berbagai percakapan. Kami hanya bertemu sekali di Bali, dalam sebuah malam tanpa sengaja.

Di Pantai Sanur, bersama teman-teman Baliku, dia di sana malam itu. Salah satu temanku mengenalkan lelaki bule pada kami semua. Sederhana dan sangat biasa, namun bertumbuh menjadi hubungan jarak jauh yang luar biasa setelah itu.

Luky sering menelpon sejak itu, kami bercerita tentang apa saja. Tak terlepas topik cinta. Setiap kali dia punya pacar baru, sampai dia putus, aku merasa menjadi saksi hubungannya itu, meski hanya lewat layar.

Dia juga mendapatkan cerita yang sama dariku, termasuk mendapat update tentang keberadaanku. Sebagaimana Vavan, Luky menjadi teman dekatku yang telah diuji oleh tahun-tahun yang berlalu.

Luky dan Vavan tidak pernah bertemu, namun terkadang mereka mengobrol satu sama lain. Akulah yang menghubungkan mereka berdua. Menariknya, mereka juga menemukan kecocokan dalam berdiskusi, sehingga ikut kecipratan jaringan pertemanan jarak jauh ini.

Luky di New Zealand sekarang, ia sedang menikmati working holiday visa yang didapatkannya. Sementara dia sendiri adalah warga negara Jerman. Sebagaimana aku, Luky suka merantau dan berpindah-pindah negara. Itu juga yang membuat kami sulit untuk bertemu meski sudah beberapa kali berusaha.

Sejak berpisah dari Bali, kami tidak lagi bertemu secara fisik. Persahabatan memang begitu, terkadang kita bisa merasa dekat pada orang yang hanya bertemu sekali, dan bisa menjadi asing pada orang yang bertemu begitu sering.

"Sitting at airport, waiting for the next flight. Want to call?" balasku.

Hanya dalam hitungan menit, telephone darinya berdering. Untuk beberapa saat, aku masuk dalam dimensi dunia kami sendiri meski dipenuhi oleh keramaian di bandara Turki. Aku bahagia berada di antara dua lelaki ini, Vavan dan Luky. Garis-garis kenyamanan telah membawa banyak kebahagiaan dalam hidupku semenjak mereka hadir.

Luky mulai cerita seperti biasa dari pekerjaan serabutan yang dikerjakannya di New Zealand. Mulai bekerja di pelabuhan, di perkebunan dan di pertanian serta di peternakan. Kudengar kisahnya dengan bahagia karena ia juga menuturkannya dengan bahagia.

Betapa ia menikmati alam indah New Zealand di dekat lokasi di mana film Lord of the Ring diciptakan. Dia menggambarkan suasana alam di sana yang mengagumkan. Terlihat memang, dia adalah pencinta kehidupan yang dekat dengan alam, terutama jika ia bisa tinggal di hutan untuk beberapa waltu, itulah kehidupan yang diidam-idamkannya.

Vavan pencinta kehidupan perkotaan, bekerja di perusahaan-perusahaan besar di Jakarta. Ia biasanya mengambil pekerjaan di bagian marketing. Kedua mereka adalah petualang, yang satu berpetualang di alam, yang satu selalu berusaha memenangkan pekerjaan dengan jabatan bagus di perusahaan-perusahaan di kota. Sementara aku penyuka keduanya. Sebagaimana menyukai mereka berdua.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!