Sebagaimana perjalanan keluar negeri yang sering kulakukan dan Vavan seringnya mengantarku, pun sama kali ini. Ia tak mau melewatkan kesempatan ini karena untuk pertama kalinya aku pergi dalam waktu yang lama.
Aku beruntung memilikinya di sisiku yang kadang berperan seperti petugas bandara dan seringnya mengecek semua dokumen sebelum bepergian. Terlihat cerewet, namun kecerewetannya beralasan.
Dia jauh lebih teliti dariku. Selalu memastikan dokumen, barang yang harus di packing di tas tenteng, list obat yang harus dibawa, minuman dan makanan, serta berbagai list barang kebutuhan lainnya.
"Semua udah masuk koper?" tanyanya sambil menutup bagasi mobil.
"Sudah, cuma satu yang belum" jawabku.
"Ayam Gepuk" ledeknya.
Kami berdua tertawa karena sama-sama tahu. Tepat seperti yang diterkanya dan memang tidak berencana membeli Ayam Gepuk. Mobil Vavan melaju keluar dari area apartement yang kutinggali.
Aku memandang sekali lagi gedung tinggi yang selama ini sudah menjadi tempat tinggalku ini. Lantai 17, di Tower inilah kami menciptakan banyak kenangan persahabatan, yang tak akan pernah kulupakan.
Jogging di malam hari yang biasanya kami lakukan, karena malas bangun pagi. Ada taman di Grand Floor yang mengitari kolam renang yang besar, ada fasilitas gym juga. Itu yang membuat aku memilih tempat ini, salah satunya.
Berkumpul, jogging, berenang atau piknik di taman adalah hal yang rutin kami lakukan sambil cuci mata lihat cowok-cowok yang biasanya juga olahraga sore hari di sana. Hanya berlaku bagi kami-kami tentunya, Vavan lebih memilih Gym biasanya. Aku pasti akan merindukan semua aktivitas ini, apalagi hangatnya matahari.
"Tumben nih gak macet" Vavan mulai memutar musik sambil tetap konsentrasi dengan kemudinya.
"Iya nih, semoga dewi keberuntungan ini mengikuti kita terus. Sampai di bandara dengan selamat, kamu pulang lagi juga semua lancar. Proses ****check in**** dan dokumenku juga lancar jaya menembus semua imigrasi, amin".
"Amin!" Vavan mengucapnya dengan suara besar menandingi musik di mobilnya.
Hanya butuh 1 jam, kami tiba di bandara Soekarnoe Hatta. Jalanan Jakarta yang sedang tidak terlalu macet telah memberikan kelancaran ini. Masih ada banyak waktu dan aku juga tidak perlu buru-buru. Ini yang kusuka, tiap bepergian punya cukup waktu untuk check in dan masih bisa bersantai menikmati segelas kopi sebelum masuk pesawat.
Vavan menggenggam tanganku dan kami berjalan bersama dari area parkir mobil ke terminal keberangkatan. Hal yang biasa kami lakukan ketika berjalan. Orang seringnya mengira kami adalah pasangan.
Bagi kami itu hanyalah kebiasaan dalam mengekspresikan kedekatan hubungan pertemanan kami. Dia memelukku dan menghela nafas panjang. Tak ditunjukkannya air mata, ia selalu tersenyum dan menenangkan dengan pandangan teduhnya.
"Call me anytime. Jangan kencan sembarang orang" pesannya yang disambut tawaku. Dia tahu semua jenis laki-laki yang pernah kukencani.
"Jangan pernah berani kirim aku foto saat kalian makan Gepuk" Ancamku yang disambut gelak tawanya.
Aku memeluk erat tubuhnya. Aku tahu rindu akan segera menyergapku saat tiba di Estonia nanti. Kami saling melambai, aku mempersiapkan segala dokumen untuk check in. Dia kembali berjalan menuju area parkir.
"Vashla!" ia berteriak dari jauh. Aku berpaling ke arahnya. Ia berlari ke arahku, memelukku dengan nafasnya yang memburu.
"I will miss you" bisiknya lirih. Duh hatiku berdentum kencang. Seperti drama-drama di TV.
"I will miss you too" kataku. Setelah itu, kami benar-benar berpisah karena aku harus check in.
***
Setelah 10 jam lebih duduk di pesawat, aku kembali menginjakkan kakiku di bandara Ataturk, Istanbul. Ini salah satu bandara favoritku. Selalu senang tiap kali transit di sini, walau sering punya masalah dengan internet di bandaranya. Namun, aku menyukai semua fasilitas lain yang mereka punya.
Aku sudah sering menghabiskan jam-jam di sini dengan membaca buku dan bekerja. Aku tukang kerja, jadi lokasi di mana aku berada sama sekali tidak mempengaruhi kerjaku, selama ada internet. Jika sedang tidak ada internet, seringnya aku mengerjakan beberapa pekerjaan secara offline.
Kopi panas, sandwich dan desert seringnya menemaniku di bandara ini. Itu sudah cukup menyenangkan bagiku. Ada banyak pilihan cafe yang menawarkan kenyamanan bagi pelanggannya. Namun jika tidak nongkrong di cafe sekalipun, bandara ini menyediakan banyak tempat duduk dan meja yang juga nyaman jika ingin bekerja.
Kubuka whatsapp untuk mengecek beberapa chat dan juga group yang seringnya begitu ribut. Lumayan mengusir rasa sepi di antara keramaian manusia yang sedang bepergian.
"Hey, how are you? You arrived?" kupandangi pesannya dengan senyuman mengembang di bibirku. Luky, lelaki favoritku. Ia seperti biasa rutin mengecek keadaanku.
Lelaki ini, teman virtualku. Sudah tiga tahun kami berteman dan merayakan kehangatan dalam berbagai percakapan. Kami hanya bertemu sekali di Bali, dalam sebuah malam tanpa sengaja.
Di Pantai Sanur, bersama teman-teman Baliku, dia di sana malam itu. Salah satu temanku mengenalkan lelaki bule pada kami semua. Sederhana dan sangat biasa, namun bertumbuh menjadi hubungan jarak jauh yang luar biasa setelah itu.
Luky sering menelpon sejak itu, kami bercerita tentang apa saja. Tak terlepas topik cinta. Setiap kali dia punya pacar baru, sampai dia putus, aku merasa menjadi saksi hubungannya itu, meski hanya lewat layar.
Dia juga mendapatkan cerita yang sama dariku, termasuk mendapat update tentang keberadaanku. Sebagaimana Vavan, Luky menjadi teman dekatku yang telah diuji oleh tahun-tahun yang berlalu.
Luky dan Vavan tidak pernah bertemu, namun terkadang mereka mengobrol satu sama lain. Akulah yang menghubungkan mereka berdua. Menariknya, mereka juga menemukan kecocokan dalam berdiskusi, sehingga ikut kecipratan jaringan pertemanan jarak jauh ini.
Luky di New Zealand sekarang, ia sedang menikmati working holiday visa yang didapatkannya. Sementara dia sendiri adalah warga negara Jerman. Sebagaimana aku, Luky suka merantau dan berpindah-pindah negara. Itu juga yang membuat kami sulit untuk bertemu meski sudah beberapa kali berusaha.
Sejak berpisah dari Bali, kami tidak lagi bertemu secara fisik. Persahabatan memang begitu, terkadang kita bisa merasa dekat pada orang yang hanya bertemu sekali, dan bisa menjadi asing pada orang yang bertemu begitu sering.
"Sitting at airport, waiting for the next flight. Want to call?" balasku.
Hanya dalam hitungan menit, telephone darinya berdering. Untuk beberapa saat, aku masuk dalam dimensi dunia kami sendiri meski dipenuhi oleh keramaian di bandara Turki. Aku bahagia berada di antara dua lelaki ini, Vavan dan Luky. Garis-garis kenyamanan telah membawa banyak kebahagiaan dalam hidupku semenjak mereka hadir.
Luky mulai cerita seperti biasa dari pekerjaan serabutan yang dikerjakannya di New Zealand. Mulai bekerja di pelabuhan, di perkebunan dan di pertanian serta di peternakan. Kudengar kisahnya dengan bahagia karena ia juga menuturkannya dengan bahagia.
Betapa ia menikmati alam indah New Zealand di dekat lokasi di mana film Lord of the Ring diciptakan. Dia menggambarkan suasana alam di sana yang mengagumkan. Terlihat memang, dia adalah pencinta kehidupan yang dekat dengan alam, terutama jika ia bisa tinggal di hutan untuk beberapa waltu, itulah kehidupan yang diidam-idamkannya.
Vavan pencinta kehidupan perkotaan, bekerja di perusahaan-perusahaan besar di Jakarta. Ia biasanya mengambil pekerjaan di bagian marketing. Kedua mereka adalah petualang, yang satu berpetualang di alam, yang satu selalu berusaha memenangkan pekerjaan dengan jabatan bagus di perusahaan-perusahaan di kota. Sementara aku penyuka keduanya. Sebagaimana menyukai mereka berdua.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
Hania Putri Bangsa
ngebayangin punya bnyak temen dr berbagai penjuru daerah Indonesia dan negara dunia... pasti seneng bnget bs berbagi berbagai cerita
2021-05-29
1