Kuberdiri dengan putus asa. Dimas menarik lenganku. Membuka jendela kamar tersebut. Ia menatapku. Memintaku untuk mengikutinya. Cepat-cepat ia menjejalkan tubuhnya ke luar dari jendela. Dengan panik, aku pasrah mengikuti idenya. Kujejalkan tubuhku dengan kesulitan. Dimas membantu dari luar jendela. Meraih tubuhku agar tidak terjatuh.
Sret!
Krek!
Bersamaan keluar dari jendela. Pintu itu terdengar telah terbuka. Ya, Tuhan ... kami selamat!
Tapi rok-ku sepertinya sedikit sobek terkena jendela.
"Dimas, turunkan aku!"
Dimas menatapku sesaat. Ia tersenyum manis sekali, membuatku salah tingkah. Perlahan ia turunkan tubuhku dari gendongannya. Aku pun mengembus napas lega. Kutatap sekeliling. Kami berada di halaman belakang rumah.
Dimas tiba-tiba saja membungkuk di depanku. Meraih rok yang tadi sobek.
"Apa yang kamu lakukan!"
"Rok-mu sobek."
"Biarkan saja."
Dia menengadah. Cahaya remang-remang membuat wajah tampannya tampak begitu memukau. Sorot matanya begitu indah. Oh, kurasa aku sudah gila.
***
Malam yang dingin. Aku berbaring di ranjang. Arka sudah tertidur pulas bersama neneknya. Jadi, aku dan mas Bastian hanya tidur berdua. Berusaha kupejamkan mata. Pikiranku masih berkelana. Kejadian tadi di pesta benar-benar mengusik ketenangan. Diri ini telah berbuat dosa. Hanya itu yang paling kusesali.
Namun, kuakui, ada getaran aneh di hati ini. Getaran yang sama persis seperti bertahun-tahun yang lalu. Sesekali mata ini terpejam, merasakan apa yang barusan terjadi. Dadaku memanas. Desiran itu terasa hangat.
Tiba-tiba mas Bastian meraih tubuhku yang terbaring membelakanginya. Menghadapkan tubuh ini padanya. Ia mulai menempelkan bibirnya, menyentuh bibirku lembut.
"Mas," sergahku menahan tubuhnya.
"Mas, jangan sekarang. Aku ... aku lelah sekali."
Dia menghentikannya. Berganti menatapku. "Kenapa? Aku kangen sekali."
"A-aku sedikit tidak enak badan. Mungkin masuk angin tadi pas naik motor. Kepalaku sedikit pusing."
Dia pun mengecup keningku. "Tidurlah."
Mas Bastian menarik selimut untuk menutupi tubuhku. Dia pun kembali melanjutkan tidurnya.
Maafkan aku. Aku sudah berbohong. Dokter itu sudah meracuniku. Seharusnya aku tidak terpengaruh. Oh ... semoga malam seperti ini tak terulang lagi.
***
Waktu cepat berlalu. Tetapi, kejadian seminggu yang lalu, di pesta itu, masih melekat di pikiranku. Rasa takut perlahan mengusik. Dimas begitu nekad. Bagaimana bila nanti dia mendekatiku lagi. Tapi ... apa itu mungkin?
"Melamun, Mbak Ima?"
Suara seseorang mengagetkanku.
"Eh, Bu RT, mau ke mana Bu?"
"Ini, mau anter pesanannya Bu Ani."
Bu Rahma tampak membawa satu keresek berisi penuh buah mangga.
"Wah, panen, ya, Bu?"
"Alhamdulillah ... Mbak Ima mau? Nanti biar kubawakan."
"Eh, enggak usah, Bu."
Bu Rahma tersenyum. "Ya, nanti kalau Mbak Ima mau, tinggal main ke rumahku saja, ya? Ajak juga Arka."
"Terima kasih, Bu RT."
Bu Rahma berlalu. Ia memang selalu ramah. Hanya dia yang mempercayaiku, di saat tetangga yang lain mencibir. Kejadian konflik antara aku dan Dewi tempo dulu. Cukup menjadi pelajaran berharga, agar aku lebih berhati-hati dalam bertindak.
Aku yang sedang duduk di teras, kembali di kagetkan oleh sebuah mobil hitam yang memasuki halaman rumah. Aku berdiri, hendak bergegas masuk. Awalnya kupikir tidak ada suamiku di sana.
Mobil pun berhenti. Mas Bastian turun dari mobil, disusul pria itu.
"Di mana motormu, Mas?" Kadang-kadang aku memanggilnya dengan sebutan 'papa', jika sedang ada Arka. Kalau sedang tidak ada Arka, aku biasa memanggilnya 'mas'. Itulah kebiasaanku.
"Di bengkel. Tadi, di tengah jalan banku bocor. Untung ada dokter Dimas. Dia mengantarku pulang."
Aku meraih tas dari tangan mas Bastian. "Biar aku saja." Itu hanya sebagai alasan, agar aku bisa cepat-cepat menghindari tatapan mata elang itu.
"Sayang, buatkan kopi untukku dan dokter Dimas, ya?"
"Baik."
Suamiku menuju ke kamarnya untuk mengganti baju. Sedang aku buru-buru ke dapur. Heran! Mengapa dia terus saja mengganggu. Kemunculannya selalu menakutkan. Tatapan itu membuatku semakin waspada. Tak akan membiarkannya melakukan hal yang akan membuatku berdosa dan hancur.
Selagi aku menyeduh kopi. Tiba-tiba seseorang memeluk tubuhku dari belakang.
"Mas, malu dilihat orang, ah!"
Aku tertegun. Bau parfumnya sama sekali berbeda dengan mas Bastian. Aku menoleh.
Prak!
Gelas berisi kopi panas itu jatuh menyiram kakiku. Aku meringis kepanasan.
"Ada apa, Ma?" Suara mas Bastian dari dalam kamar.
Dimas membungkuk mencoba meraih kakiku, tapi aku menghindar.
"Ini semua gara-gara kamu!" desisku.
Dia tersenyum. Gelas yang satunya lagi ia tumpahkan di kakinya.
Aku terbelalak melihat kelakuannya. "Apa yang kamu lakukan!"
"Merasakan sensasi yang sama denganmu."
Dia meringis kepanasan. Masa bodoh! Kutinggalkan dia, untuk mengganti pakaian, dan mengoleskan salep luka bakar ke kakiku yang tersiram air kopi panas tadi. Setelahnya, kuseduh dua cangkir kopi yang baru lagi untuk mereka berdua.
Kuhidangkan pula dua toples cemilan dan sepiring kue keju untuknya. Sekadar menghormati tamu yang tak diundang ini. Menyebalkan!
"Tidak usah repot-repot!" katanya.
Aku diam saja seraya mengulum senyum tak ikhlas.
"Silakan," tawarku berusaha ramah menyuguhkan.
"Sayang, apa yang terjadi tadi. Kudengar suara benda pecah," tanya mas Bastian.
"Oh ... itu--"
"Itu aku, Bas. Baru saja aku tersiram kopi panas. Istrimu terlalu buru-buru dan ramah."
"Itu, kakimu, tersiram?" Mas Bastian tampak sedikit tidak enak padanya.
"Mas, itu--"
"Tidak apa. Santai saja," katanya berpura-pura polos.
Sungguh, pandai berdrama!
"Pantas tadi, bau kopi. Celanamu basah, Di?"
"Tidak apa. Lagian aku juga nanti langsung pulang. Sebenarnya, sih, tidak hanya celanaku yang basah, Bas."
Aku melirik sinis ke arahnya. Pria kurang ajar! Otak mesum!
Dia terkekeh mendapati ekspresiku. "Sepatuku juga basah," lanjutnya.
Aku berlalu dengan kesal dari mereka. Tapi tiba-tiba mas Bastian memanggilku.
"Ima!"
Aku menoleh.
"Lain kali hati-hati!"
"Iya, Mas."
Apa yang dipikirkannya? Aku yang menyiram sahabatnya itu secara sengaja? Atau tanpa sengaja aku menumpahkan minuman di celananya? Mas Bastian benar-benar sudah tertipu!
Selagi mereka berbincang. Aku menyibukkan diri untuk menyetrika pakaian. Kebetulan, Arka sedang di rumah neneknya. Jadi, aku bisa mengerjakan pakaian yang masih menumpuk untuk disetrika.
***
"Ma?"
"Iya, Mas?"
Aku beranjak dari kamar. Usai meletakkan baju-baju yang telah kusetrika ke dalam lemari.
"Duduklah sebentar!"
Aku pun menurut, duduk di sebelah mas Bastian, berhadapan dengan dokter itu.
"Ini ... Dimas menawariku untuk membeli mobil. Kebetulan yang punya showroom itu sepupunya Dimas. Kita bisa pergi lusa ke dealer."
"Aku akan meminta pertimbangan harga. Tenang saja. Jika perlu. Kamu pakai uangku saja dulu. Kamu bisa menggantinya lain waktu," kata si dokter elang.
"Wah, kamu benar-benar sahabat terbaikku, Di! Thanks banget, Di!"
Aku kembali terheran-heran, entah apa lagi maksud si dokter elang ini, sok membantu suamiku. Padahal jelas-jelas, ada niatan tersembunyi di balik itikad baiknya itu. Itu sudah tertangkap di dalam otakku. Percuma saja, aku sudah tidak percaya dengan belangnya.
"Kurasa tidak usah. Kami masih bisa membelinya sendiri. Ya, walaupun tak akan semewah mobil milikmu," ucapku ketus.
"Sayang ... ayolah! Kita akan mendapat keuntungan jika mengikuti tawarannya. Percayalah! Dimas sudah sangat baik. Percayalah padanya juga!"
Sayangnya aku sudah tidak mempercayainya lagi.
"Lusa, kau boleh ikut untuk melihat-lihat mobil di showroom. Ajak pula Arka," kata si dokter tersenyum.
Aku hanya diam. Suamiku kalau sudah seperti ini, pasti sulit dibantah.
"Ya, sudah. Aku pulang dulu. Jangan lupa lusa, ya, Bas. Ajak anak dan ... istrimu."
"Terima kasih banyak, Di."
Mas Bastian melambaikan tangannya dari teras. Aku yang berdiri di depan pintu melihat ke arah mobil itu melaju. Entah apa yang akan terjadi lusa.
-- BERSAMBUNG --
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 210 Episodes
Comments
Rahmawaty❣️
Akupun bgitu..mnggil papa saat didepan anak..tp klo lg brdua manggilnya sma² yank😁 krna wktu pcran manggilnya yank
2022-11-13
0
Lia Eka Pratama
waduuh jd clbk
2020-10-18
1
Arini Susanti
thor kenapa ceritanya mirip pengalaman hidupku,
2020-09-20
3