Kedua kepala di depan serentak menengok ke belakang. Sementara mas Bastian menatapku heran, dokter Elang memainkan alisnya seraya menatapku.
"Fokus! Awas!" teriakku.
Ssett!
Dokter elang itu segera mengontrol laju mobilnya. Hampir saja terjadi sesuatu dengan kami. Jika itu terjadi, akan kusalahkan dia! Sebuah mobil di depan kami tiba - tiba menghentikan lajunya.
"Lampu merah!" gumam suamiku.
"Apa kau gila? Bisa-bisa kau membunuh kami! Kalau sedang nyetir, fokuslah ke depan!" cecarku emosi.
"Sayang ... sudahlah. Lagian tidak terjadi apa-apa." Suamiku membelanya.
"Hampir, hampir terjadi apa-apa. Dan itu ... karena ulah si Dokter Gila ini!"
Deg! Aku menggigit bibir bawahku sendiri. Bagaimana bisa aku melontarkan kata sebegitu kasar padanya. Padahal aku tahu, dia tidak sengaja. Ah, emosiku kacau.
"Maaf, itu memang salahku. Tak seharusnya melihat ke belakang yang hanya akan memecah konsentrasi. Harusnya aku fokus menatap ke depan. Tapi terkadang, kita perlu memperhatikan ke belakang, untuk memastikan kondisi baik-baik saja."
Apa maksudnya?
"Maksudku, kadang-kadang menyetir pun perlu mengawasi spion agar tahu situasi yang terjadi di belakang," lanjutnya.
Aku tahu, apa yang dikatakan oleh dokter tadi. Tapi aku tak peduli. Terserah apa katanya. Aku sungguh tidak peduli!
Mobil kembali melaju setelah lampu berubah menghijau.
***
Kami sampai di depan rumah. Mobil pun berhenti.
"Mau masuk dulu, Di?" tawar suamiku.
"Em ...."
Aku harap jawabannya tidak. Perasaanku sedang kacau. Dan itu karenanya. Bisa-bisa aku berkata lebih kasar lagi padanya
"Mungkin lain kali saja, Bas."
"Syukurlah ...," desisku lega.
"Sayang ...." Mas Bastian menatapku, matanya mengisyaratkan rasa tak enak pada temannya itu.
"Ma-maksudku ... syukurlah ... syukur kita sudah sampai. Begitu maksudku."
Dokter itu tersenyum, seakan senang membuatku jengkel.
"Mama?"
Kualihkan pandangan pada sumber suara. Tampak seorang anak laki-laki berlari ke arahku dari dalam rumah. Diikuti seorang ibu paruh baya mengekor di belakangnya.
Kubungkukkan sedikit tubuhku, kutelentangkan kedua lengan guna merengkuh jagoan kecilku.
"Sayang ... kamu kangen sama Mama, ya ...." Kupeluk erat, kucium Arka dan kugendong dia.
"Ini putra kami, Arka." Mas Bastian memperkenalkan. "Ayo, Arka, salim sama Om Dokter!"
Pelan kudekatkan Arka untuk mengajarinya sopan. Kuajak Arka memberi uluran tangan kecilnya kepada sang dokter.
"Hai ... boleh kenalan? Aku Pangeran Elang ... kamu siapa, Ganteng ...," celotehnya tak masuk akal seraya meraih uluran Arka.
Sungguh bodoh. Bisa-bisanya dia mempercandakan sesuatu yang dapat membuat masalah baru pada kami. Benar-benar sudah tidak waras dokter ini!
"Siapa namamu, Ganteng?" Diusapnya pipi gembul Arka dengan gemas.
Aku hanya diam tak menyahut, tak memberi anjuran pada Arka untuk menjawab.
"Akka," jawab Arka lirih.
Nyatanya, Arka memang sudah mulai pintar bicara, sudah bisa diajak berinteraksi.
"Aka?" Dokter tersebut menatap lebih dekat anakku.
"Arka," sahutku membenarkan.
Detak jantungku berdebar saat wajah itu mendekat pada anak dalam gendonganku. Kenapa? Kenapa getaran ini masih saja sama ....
Arka tampak tersenyum memperhatikan dokter tersebut. Arka bukan anak kecil yang mudah menyukai seseorang. Namun, kurasa dia menyukai dokter elang itu.
"Sudah pintar ternyata, ya. Besok kalau Om main ke sini lagi, Om bawain hadiah, deh!"
"Tidak usah!"
Mata sang dokter beralih menatapku.
"Ya, sudah. Ayo masuk, Mas! Kamu perlu istirahat." Aku menjauh dari dokter gila tersebut.
"Ima?" Ibu mertuaku menahanku sebentar.
"Bu, aku mau istirahat, lelah. Aku juga kangen sama Arka."
Kutinggalkan mereka, masuk ke dalam rumah.
"Aku pulang dulu, Bas."
"Ah, ya, terima kasih, Di. Kamu sudah banyak membantuku."
"Santai, Brother!"
***
Malam ini terasa dingin. Kutengok suamiku sudah tertidur pulas. Begitupun Arka. Sepulang dari rumah sakit, lelah sekali rasanya. Namun, entah mengapa, mata ini belum mau diajak tidur.
Kuputuskan untuk beranjak dari tempat tidur. Langkah kaki ini menuju dapur. Mengambil segelas air putih, dan membawanya menuju kamar. Kuletakkan gelas di atas meja samping ranjang. Sudah pukul 22.15 malam, rasa kantuk tak kunjung datang.
Aneh. Tiba-tiba bayangan itu kembali muncul. Sosok yang ingin kuempas jauh-jauh. Beberapa hari ini, aku cukup dibuat sebal olehnya. Sudah dua tahun lebih kunikahi mas Bastian. Dia orang yang baik, lembut, dan tidak neko-neko. Aku menikah atas dasar cinta. Ya, cinta, kurasa begitu.
Atau ... mas Bastian hanya sebagai cara agar aku melupakan kepedihan itu. Tidak! Itu tidak benar. Aku memang menyukainya. Tapi kenapa ... saat bertemu dokter elang itu, hatiku serasa goyah. Antara getaran dan gelombang. Aku tak mampu menahan rasa itu. Rasa yang diam-diam menyelinap di hati ini.
Bodohnya lagi, aku tak tahu cara menyikapinya. Diri ini gugup, dan tatapan mata itu membuatku salah tingkah. Yang bisa kulakukan setelahnya hanya amarah, yang diluapkan dengan cara marah-marah. Kemudian timbul rasa benci, mengingat kejadian masa lalu.
Sepertinya aku salah. Tidak seharusnya aku begitu. Yang ada, mas Bastian akan curiga, bahwa dokter itu pernah menjadi bagian penting di dalam masa remajaku. Aku tak yakin suamiku akan baik-baik saja, membiarkan dokter itu terus bermunculan di hadapan kami. Karena sebaik atau seburuk apapun masa lalu, setidaknya dia pernah mengisi bagian dari masa hidupku.
Mas Bastian memang bukan tipe posesif. Tapi tetap saja, aku tak ingin persahabatan mereka menjadi sebuah kecanggungan, dan aku sendiri penyebab rasa canggung tersebut. Tidak! Sebaiknya aku berlatih untuk tetap tenang menghadapi dokter elang. Ya, akan kulakukan.
***
Pagi ini, hari Senin. Mas Bastian bilang, ia akan mulai berangkat kerja. Jadi, segera kusiapkan sarapan untuknya.
"Hm ... baunya enak."
Kutengok suamiku yang sedang melangkah menuju meja makan.
"Semangat sekali kelihatannya." Kuamati dia sudah rapi. "Sudah enakkan?"
"Sudah, donk? Cuma luka ringan, kok. Kamu masak nasi goreng lagi?"
"Kan aku belum sempat belanja, Mas?" Seraya meletakkan dua piring nasi untuk kami santap.
"Ya, enggak apa-apa, sih."
Kuletakkan pinggang di sebuah kursi dekat suami. Kami menyantap nasi goreng itu bersama.
"Sayang."
"Ya."
"Kamu ada masalah dengan dokter Dimas?"
"Uhuk!" Nasi yang baru saja masuk ke kerongkongan menyembur keluar.
"Eh, maaf ... maaf, ini." Disodorkannya segelas air untukku. "Kamu enggak apa-apa?"
Aku masih terbatuk-batuk. Pertanyaan yang belum sempat kucerna, bahkan baru sampai di telinga, tiba-tiba saja mengejutkan tenggorokanku.
"Enggak apa-apa, kok, Mas," jawabku setelah dada ini mulai lega dari sesak akibat tersedak.
"Kamu sepertinya benci banget sama dokter Dimas. Kenapa?" Matanya menatapku penuh selidik. Sehingga ia abaikan sejenak nasi goreng yang hangat menggoda di hadapannya.
"Aku ... hanya ... tidak suka kamu terlalu dekat dengannya."
"Dia temanku, Ma. Bahkan, Dimas memperlakukanku seperti saudara. Lihat saja, dia sangat baik."
Sesaat kami saling beradu pandang. "Mas ... aku tidak ingin kita jadi banyak merepotkan orang lain. Ingat, Mas, kan kamu sendiri pernah bilang, agar jangan terlalu percaya akan kebaikan seseorang. Bisa saja, dia ada maksud tertentu. Jangan terlalu hanyut dalam bantuan orang lain. Tidak baik, bila terlalu banyak berhutang budi."
"Sayang ... nanti, kamu harus belajar menghargai niat baik seseorang."
Hah! Niat baik katamu, Mas! Bisa jadi dia adalah pengganggu rumah tangga kita. Terutama aku.
"Please ... kamu bersikap baik, ya, padanya. Hilangkan prasangka buruk dari pikiranmu itu. Aku tak mau, istriku yang cantik ini terlihat judes di hadapan orang lain." Seraya menggenggam tanganku.
"Ya, baiklah."
Baru saja mas Bastian mau menyuap nasi, tiba-tiba dering gedgetnya berbunyi.
"Ya, halo ... Di."
'Di' siapa?
"Tidak usah, Di. Lagian aku juga ada motor."
Terdengar samar ada suara seorang pria di seberang telepon.
"Baiklah, aku sudah siap ini. Ya, sudah, kalau enggak ngerepotin."
"Ok, thanks, Di."
Ditutupnya sambungan telepon.
"Siapa?" tanyaku cepat.
Suamiku tersenyum. "Dokter Dimas, katanya mau menjemputku berangkat bareng."
Kuletakkan sendok dari tangan kananku, lalu beranjak, membereskan sisa nasi goreng yang belum habis disantap. Baru saja kukatakan agar tidak terlalu dekat dengannya.
"Jangan marah. Bukankah kantorku dan rumah sakit itu searah?"
"Enggak apa-apa," kataku seraya tersenyum.
-- BERSAMBUNG --
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 210 Episodes
Comments
julia rizky
kayaknya bastian udh selingkuh , kan pas di acara ketemu wanita berbaju merah
mungkin sya
2020-12-29
2
julia rizky
kayaknya bastian udh selingkuh , kan pas di acara ketemu wanita berbaju merah
2020-12-29
1
Niena Anjarwati
dah baca 2x bagus banget ceritanya
2020-12-02
1