"Lepas!" Kudorong dada bidang dokter tampan tersebut.
"Nia, kumohon! Dengarkan aku sebentar saja!"
Lolos. Aku berhasil meloloskan diri darinya. Kulangkahkan kaki menjauh.
"Kamu tidak mengerti keadaanku saat itu!" tukasnya.
Kuhentikan langkah. Berdiri membelakangi dokter tampan.
"Saat itu ... aku benar-benar sibuk. Aku ingin setiap hari mengabarimu. Akan tetapi, bisnis ayahku waktu itu hampir saja bangkrut -- "
Aku sama sekali tak mengerti. Apa hubungannya dengan bisnis ayah? Sungguh ... dokter ini! Kulangkahkan kembali kaki ini.
"Tunggu!" Tangan itu meraih lenganku.
"Lepaskan! Aku tak ingin siapa pun salah paham."
Ia pun melepasku. Kupercepat kaki, segera menjauh.
***
Bersyukur Mas Bastian hanya terluka ringan. Berada di sini, bertemu dengan dokter itu lagi. Membuat hati ini bimbang. Setiap melihat mata elangnya, tersirat beberapa rahasia. Yang entahlah!
"Sayang, kamu kenapa?"
Suara lembut Mas Bastian membuyarkan lamunanku. "Ah, enggak apa-apa."
"Mengkhawatirkan Arka?" Tangannya mengelus pundakku lembut lagi.
"I-iya." Bohong.
Memang aku mengkhawatirkan jagoan kecil itu. Hanya saja, aku lebih mengkhawatirkan diri jika terlalu sering didekatnya. Dokter itu ... wajahnya, gaya bicaranya, semuanya, masih sama. Yang beda adalah keadaan kami. Status kami sudah berbeda. Aku ini istri orang. Sedangkan dia, tunangan orang.
"Pagi ...." Seorang dokter ngeloyor masuk, memecah hening di ruang berukuran 5 x 5 meter ini.
Aku tak berusaha menoleh. Sudah tahu, jelas dia. Suaranya pun masih sama.
"Pagi, Di. Eh, Dok!" jawab suamiku sumringah.
"Terlalu formal, Brother!"
"Oke, Di!"
Mereka tertawa, sedang aku hanya diam.
"Masih betah di sini?" candanya, seraya menjejerkan tubuh atletisnya di dekatkku.
"Boleh pulang?" Mas Bastian balik bertanya.
Menghela napas. "Sebenarnya aku senang kau di sini. Kita jadi lebih dekat."
Terperangah aku mendengarnya. Namun, tetap berusaha santai. Sindiran halus.
"Maksudmu?" Dahi Mas Bastian mengkerut, isyarat bingung.
"*Just kidding, Brother*!" Dokter elang itu, menepuk lirih pundak Mas Bastian.
"Sudah merasa baik 'kah?" lanjutnya.
"Hanya sedikit pegal. Tulang-tulangku terasa remuk."
"Itu wajar. Habis kebanting kan?"
"He-em. Boleh pulang?"
"Tentu."
Syukurlah ... lega rasanya. Segera kuangkat tubuh ini, beranjak menuju tempat administrasi.
Selesai! Siap kemasi barang-barang kami. Kuhubungi pula keluarga di rumah. Ayah mertua yang mengangkat telepon. Kami disuruh naik angkot saja. Maklum, kami belum punya mobil.
"Sudah, Sayang?"
"Sudah, Mas."
"Naik angkot?" Mas Bastian membulatkan matanya.
Kepala ini mengangguk seraya tersenyum. Mengisyaratkan kata 'tidak apa'.
Baru saja kami melangkah keluar ruang opnam, seseorang muncul menghentikan langkah kami. Kupasang raut muka masam padanya.
"Mau bareng?" tawarnya.
"Tidak usah!" tolakku langsung.
Kuraih pergelangan tangan Mas Bastian, tapi ia menahan gerakku.
"Enggak apa-apa, Ma? Dia temanku."
Kutatap tajam mata pria yang sudah kunikahi sejak dua tahun lebih. Dia memang temanmu, tetapi dia ... juga temanku. Ya, teman. No more!
"Aku akan senang jika kalian mau kuantarkan pulang." Dokter itu terkesan memaksa.
Aku yang tidak senang.
"Lagian, Bastian belum seutuhnya fit, kan? Tidak mungkin harus berdesak-desakan di dalam angkot," tambahnya.
Oke, aku kalah. Kupaksakan langkah mengikuti mereka. Tibalah di depan sebuah mobil hitam mewah. Mas Bastian duduk di depan bersama sang Dokter. Sedangkan aku, terpaksa menjejalkan tubuh ini ke dalam mobil, di jok belakang mereka.
Di perjalanan, mereka asyik berbincang. Dan aku hanya terdiam. AC yang dingin terasa panas bagiku, setelah tangan dokter itu memutar sebuah musik yang ...,
You are just too young to find the senses in your life ....
Looking for something else like the
dream that you have ....
Filled your life with something else like teardrop in your eyes ....
Who does care what you are while
the river flows in you?
You are not the fool, no ....
You’re a beautiful one ....
You are like the sun ....
Cause this one river flows in you ....
You are not the no one ....
You just look for more here ....
Who does care because you are the one with it inside ....
Hati ini merasakan desiran aneh. Sedang otak terpacu memikirkan hal itu. Memori itu kembali lagi. Di saat hati ingin membuangnya jauh-jauh.
Tatkala kududuk berdua. Jemarinya begitu lihai memainkan piano. Di sebuah tempat paling romantis, malam itu. Bibir ini turut melantunkan lagu itu. Sesekali kami saling tatap, menikmati melodi cinta diiringi alunan kasih di antara dua insan yang sedang dilanda asmara.
Kala itu, musik ini terasa sangat manis. Namun, entah mengapa tiba-tiba dada ini merasakan sesak. Aku benci lagu ini! Sangat benci!
"Lagu ini ... favorit kami," ujar dokter elang tiba-tiba.
Sesekali bibirnya ikut melantunkan syair. Kulirik dari kaca spion tengah kabin. Tampak jelas wajahnya sedang mengenang sesuatu.
"Dulu, kami sangat romantis." Mulut manis itu terus mengutarakan masa lalunya. Yang sangat tak ingin lagi kuungkit. Untung, Mas Bastian tidak terlalu peduli. Ia tampak cuek.
Perasaan ini semakin tak menentu. Sambil sesekali melihat wajahnya lewat kaca spion tengah kabin. Senyumnya terus mengembang menikmati alunan manis lagu. Tiba-tiba dia kedipkan sebelah kiri mata elangnya. Sontak aku kaget.
Apa sedari tadi ia tahu bahwa, mata ini memperhatikannya? Sontak diri ini salah tingkah. Pura-pura kubenarkan kerudung pashminaku yang sama sekali tidak salah.
Senyumnya melebar. Bodoh! Aku mengumpat diri sendiri. Terciduklah diri.
"Di." Mas Bastian menoleh. "Istriku juga suka lagu ini," ungkapnya tanpa menaruh curiga.
"Oh ... ya?" Pura-pura terkejut.
"Tidak!" Terlontarlah kata itu, setelah sedari tadi menahan diri.
-- BERSAMBUNG --
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 210 Episodes
Comments
Nafid Fajarina
godaannn
2020-12-30
2
Arini Susanti
kenapa cerita ini juga bisa sama dengan cerita hidupku ya... yang berantakan gara2 masa lalu yang datang tidak tepat.
2020-09-20
3
Kimie Meonk
aq jg punya panggilan sayang untuknya...
2020-09-16
1