Melihat tatapan itu, membuat tubuhku bergetar. Apa yang akan ia lakukan? Apa maksudnya melakukan semua ini. Muncul kembali di kehidupanku. Mencampuri urusanku.
"Di! Menjauhlah dariku. Kumohon ...," pintaku memohon.
Mata itu semakin tajam. Sorotnya menakutkan. "Jawab dulu, Nia!"
"A-apa?"
"Mengapa kamu menikah dengan Bastian?"
"Hah?"
"Jawablah, jujur!"
"Karena aku mencintainya."
"Bohong!"
Wajah itu semakin dekat. "Bastian hanya pelarianmu saja, kan?"
Aku menelan saliva. "Kami saling mencintai."
"Tidak! Kamu terpaksa menikahinya. Iya, kan?"
Aku mendelik tajam. "Kamu pikir kamu siapa? Tahu apa kamu soal perasaan! Kamu sendiri saja, tak mengerti apa itu cinta! Apa yang kamu tahu tentang diriku? Kamu tak lebih dari seorang pecundang!"
"Kamu bertanya padaku, apa itu cinta? Biar kutunjukkan!"
Wajah itu semakin dekat, membuatku harus berontak.
"Di!"
Plak!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kirinya.
"Kamu gila! Aku sudah menikah, Di!"
"Aku memang gila, karenamu, Nia!" Kembali ia mendekat, kudorong dada bidang yang pernah paling kusukai itu.
"Menjauh, Di! Menjauhlah dariku! Jangan membuatku semakin membencimu!"
Bulir bening mulai menetes di pipiku. "Kumohon ... jalani hidup kita masing-masing. Aku sudah memilih jalanku. Aku sudah bahagia dengan pilihanku. Biarkan aku bahagia, Di. Dan ... kamu ... bahagialah bersama tunanganmu itu."
"Apa aku membuatmu menangis? Nia ... Nia ... aku masih mencintaimu. Aku ... aku sangat merindukanmu."
"Aku tidak!"
Tangannya memegangi dada bidangnya. Seolah merengkuh sesuatu di dalam sana.
Dia tertawa konyol. "Pulanglah ... hapus air matamu. Biar kuantar!"
"Tidak perlu! Aku bisa memesan taksi."
Aku berjalan meninggalkannya. Kubangunkan Arka yang masih terlelap. Lalu menggendongnya untuk pulang. Kakiku terus melangkah menuruni tangga.
"Biar kuantar! Ini sudah pukul delapan lebih. Suamimu tentu khawatir."
Sesekali kuseka air mata yang terus meluncur di pelupuk. Entah mengapa, bulir bening ini terus mengalir. Tak tahu apa yang sesungguhnya kurasakan. Entah kemarahan, kebencian, atau bahkan penyesalan.
***
Di dalam mobil, kami saling diam. Diam. Dengan ranah pikiran masing-masing. Arkaku dengan santainya masih terlelap.
Sebuah lagu piano diputarnya. Mengusik jiwa yang tengah melanglang menuju amarah. Pelan ... musik itu mengalun manis. Perlahan, hatiku lepas landas, kembali mengukir masa yang telah berlalu.
Tanganku memencet tombol off, mematikannya. Namun, tangan orang yang duduk di sebelahku kembali mengalunkan melodi piano tersebut. Tak mau kalah. Kupencet kembali untuk menghentikan musik itu. Dan ... tangan itu dengan sigap menghidupkannya lagi.
Aku menyerah. Masih dalam posisi diamku. Dan dia dalam posisi diamnya. Kubiarkan suara piano itu kembali mengalun indah. Mengaliri kembali jiwa ini tentang nuansa yang sempat mengisi hati.
Kekesalanku perlahan runtuh. Berganti dengan memori itu ... yang sangat ... romantis.
Jiwaku begitu tenang menikmati suara piano ini. Hanya saja ... luka yang sempat membekas, menganga kembali. Bayangan gadis cantik, tinggi semampai, bergaun merah itu, tiba-tiba mengusik nostalgia ini.
Romantisme pun berganti egoisme. Sejahat dan seegois itu, kah, aku? Ya ... Tuhan. Orang ini semakin membuatku tersiksa, atas dosa sedikit saja memikirkannya. Ingat, Ima! Jangan biarkan orang-orang menyebutmu PELAKOR! Tidak, untuk selamanya!
***
Kami sampai di rumah. Kulihat rumah minimalis itu masih gelap. Apa suamiku belum pulang?
Aku turun dari kabin. Masih dengan Arka yang terlelap. Tanpa sepatah kata pun. Kubiarkan dokter elang itu merenungi kekeliruannya. Agar dia tahu, aku bukan Nianya yang dulu. Yang mudah memaafkan kesalahannya. Kini, aku ... Imania Saraswati, adalah seutuhnya seorang istri dari pemilik nama, Muhammad Bastian.
***
Mentari pagi bersinar cerah. Menggugah diriku yang masih nyaman dengan rasa kantuk. Disusul dengan tangisan Arka. Rasa kantukku hilang seketika.
"Arka ... tenang, Sayang. Mama di sini."
Arka yang berbaring di antara kami -- aku dan suami -- mengingatkanku tentang memar di kakinya.
"Sayang ... apa kakimu masih sakit?" Menatap khawatir pada Arka. Seraya memeriksa punggung kakinya.
"Enggak." Arka menggeleng, menghentikan tangisnya.
"Oh ... syukurlah," ucapku lega.
"Lalu kenapa?" Menatap heran ekspresi Arka yang masih nyengir kesakitan.
Arka menoleh papanya yang masih tertidur pulas. Mempraktikkan tangannya yang tertindih papa, tadi.
"Oh ... dasar, Papa!"
Hari ini suamiku libur bekerja. Wajar kalau dia masih tidur. Waktu menunjukkan pukul tujuh pagi. Aku juga bangun kesiangan. Ah, sore kemarin sangat melelahkan tubuh dan otakku. Sampai begitu lelapnya kutertidur, tak menyadari Mas Bastian pulang, yang entah pukul berapa semalam.
Aku beranjak dari tempat tidur. Mengajak Arka bangun. Serta membiarkan Mas Bastian yang masih nyaman dalam mimpinya. Sesekali bibir itu menyunggingkan senyum. Mungkin dia sedang mimpi indah.
***
"Ayo, Pa?"
"Sebentar, Ma." sahutnya dari dalam kamar.
Hari ini, Minggu, mas Bastian libur kerja. Kami berencana untuk pergi ke zoo, kebun binatang di kota kami.
Seperti biasa, kami akan naik motor. Mas Bastian keluar menghampiri kami -- aku dan Arka -- yang sudah siap.
***
Sampai di kebun binatang.
Arka sangat antusias. Maklum, dia jarang diajak jalan-jalan, kecuali di sekitar perkampungan saja. Kami sangat menikmati perjalanan keliling zoo.
"Papa, itu apa?"
"Itu Burung Unta, Sayang?"
"Kalau yang itu!"
"Itu Burung Kenari."
"Papa ... ayo lihat Harimau!"
"Ayo!"
Begitu lah. Arka sangat senang. Suasana zoo di hari Minggu lumayan ramai. Kami beristirahat di sebuah bangku panjang yang di sediakan untuk umum.
***
Sudah sore. Sebelum kami pulang. Kami akan mampir ke sebuah rumah makan bakso yang cukup favorit di kota ini. Bakso Si Mbah, namanya. Bukan milik mbah kami. Kata orang, bakso Si Mbah ini, dinamakan sejak lama, sudah turun temurun. Soal rasa ... tiada lawan, deh! Itulah mengapa kami menyukai bakso ini.
Kami sampai di Bakso Si Mbah. Tempatnya ada di sebelah POM bensin. Kami sengaja mencari tempat duduk yang santai. Kami memilih lesehan. Di sini lebih nyaman di banding duduk di kursi itu. Karena Arka tidak akan bebas bergerak, yang sedang aktif berjalan ke sana ke mari.
Tidak lama kemudian, makanan kami pun datang.
"Hati-hati, Ma, ini masih panas!" Mas Bastian mengingatkan.
"Ya, Pa," jawabku seraya menyuapi Arka.
Tiba-tiba ada suara kaki melangkah menuju tempat lesehan kami.
"Hai, Bas!"
Suamiku menghentikan suapannya. "Hai, Di. Mari gabung dengan kami!"
Aku melirik ke arahnya. Mengapa ada dia lagi. Dunia sesempit inikah. Tidak ada tempat makan lain kah, sehingga dia datang ke sini. Aku membatin, berharap dia tak duduk bersama kami.
"Bagaimana, Nes? Kita gabung di sini saja, ya?" Dokter itu menoleh ke arah wanita cantik di sebelahnya.
Oh ... dia itu kan, tunangannya. Ini kedua kali aku melihatnya. Sedikit senyum kulempar padanya.
"Em ... tadinya ... aku ingin duduk di sana." Seraya menunjuk tempat duduk yang ada kursinya, bukan lesehan. "Tapi ... karena ada anak kecil yang manis ini. Aku ingin duduk bersama kalian. Boleh, kan?" ujarnya sambil menyentuh pipi Arka gemas.
"Boleh, donk? Silakan duduk," ucap mas Bastian.
Kami pun duduk berhadapan. Aku sedikit risih dengan kehadiran mereka. Apalagi tatapan dokter elang itu, sesekali mencuri pandang padaku.
"Sungguh menyebalkan!" desisku lirih.
"Apa?" Wanita cantik itu menatap padaku.
"Ah ... ma-maksudku ... i-ini ... baksonya masih sangat panas. Menyebalkan!" jelasku gugup.
Gadis cantik berambut panjang sebahu itu tersenyum, diikuti tawa kecil dokter elang itu.
-- BERSAMBUNG --
_____________________________________________
Note :
Lesehan \= Duduk di atas lantai dengan beralaskan tikar dan sebagainya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 210 Episodes
Comments
Kustri
bagus.. g halu
2020-07-10
2
carrisa Evania
aku seneng ceritanya 🥰🥰
2020-06-15
4
DoraemonCantik
keren
2020-05-13
2