"Nia!"
Aku terus berjalan tanpa mengindahkan panggilannya. Aku sudah tak peduli dengan dirinya. Hidupku yang sekarang adalah bersama suami dan anakku. Aku bukan lagi Puteri Angsa yang takluk pada Pangeran Elang. Yang rela menunggu bertahun-tahun di tepi laut hanya demi Pangerannya.
Kuhampiri suamiku yang sedang asyik berbincang bersama teman-temannya. Kulempar senyuman agak terpaksa kepada mereka.
"Mas, ayo pulang. Bukankah acara sudah selesai? Aku mengkhawatirkan Arka."
Suamiku pun berpamit kepada mereka, untuk pulang lebih dulu. Toh, acara inti sudah selesai.
"Tunggu, Bas!"
Seseorang memanggil suamiku. Ah, ternyata dia. Segera kugandeng lengan Mas Bastian. Kuatur aksi manja seromantis mungkin. Layaknya pasangan pengantin baru.
"Ya, Di. Ada apa?"
"Kenapa buru-buru? Acara belum selesai."
"Emm ...."
"Oh, ya. Kami mau jalan-jalan dulu sebentar. Menikmati suasana malam Minggu. Maklum, kami jarang ada waktu khusus berdua. Ya kan, Sayang ...." Sengaja kupotong perkataan Mas Bastian.
"Ah, iya," jawab Mas Bastian menurut.
Kulihat Dokter Elang itu merasa terganggu dengan sikapku.
"Ayo, Sayang, nanti kemalaman!"
"Kami pergi dulu, Di," ucap Mas Bastian agak canggung karena sikapku, yang mungkin terasa aneh baginya.
Ada kepuasan tersendiri di benakku. Memamerkan kemesraan di depan matanya. Meski aku tak yakin bahwa dia cemburu. Tetapi setidaknya aktingku cukup membuatnya merasa terganggu. Lihat saja nanti! Akan kubuat dirinya menyesal karena telah mengabaikanku.
Sambil mengendarai motor, suamiku bertanya, "Sayang? Kamu serius ingin jalan-jalan dulu?"
"Ah, enggak kok, Mas. Kita langsung pulang saja."
Tiba-tiba Mas Bastian menghentikan laju motornya, dan masih bertanya dengan heran padaku.
"Tadi, kamu kan, bilang ingin jalan-jalan dulu?"
"I-iya, tetapi sudah malam banget. Kasihan Arka, Mas. Mungkin lain kali saja," tuturku.
"Baiklah." Mas Bastian kembali melanjutkan berkendara, meski raut mukanya masih terlihat penasaran. Namun ia tak melanjutkan pertanyaan itu. Memang suamiku orangnya kalem, tidak suka cerewet.
Hari yang cukup melelahkan. Kami pun sampai di rumah mertua. Syukurlah Arka tidak rewel.
***
"Pagi ... Ibu, Ayah, mari sarapan dulu?" tawarku sambil meletakkan hidangan di atas meja makan.
"Lihat, tuh! Mama sudah masak, Arka mau sarapan juga?" canda Ibu mertuaku yang sedang menggendong cucunya.
Arka seakan menjawab dengan suara mungilnya.
Aku sangat bersyukur mendapatkan mertua seperti mereka. Ibu mertua sangat menyayangiku dengan tulus. Sedangkan ayah mertua, beliau pengertian dan bijak. Selama hampir dua tahun, hubungan kami selalu baik. Terlebih lagi, Arka adalah cucu yang paling dekat dengan tempat tinggal mereka. Karena dua kakak perempuan Mas Bastian, tinggal di Jakarta ikut dengan suaminya.
Sore setelah Mas Bastian pulang kerja, kami pun pamit untuk pulang.
***
Seperti biasa, aku berbelanja sayuran di depan rumah Pak RT.
"Pagi, Bu Wati?" Kusapa tetangga yang merupakan salah satu ratu gosip di desaku ini.
"Pagi ... eh! Gimana tuh kelanjutan kisah kamu, Ima?"
"Maksud Bu Wati apa ya?"
"Itu loh? Soal kemarin itu. Pas kamu dilabrak sama si Dewi, tetangga sebelah kita?" ucapnya sambil memonyongkan bibirnya yang tebal.
"Iya, tuh, Ma. Makanya jadi orang jangan suka gatel, godain suami orang!" Ucap tetangga yang satunya lagi.
"Ih, amit-amit deh! Tidak tahu diri banget, ya! Awas loh, Bu-ibu. Entar suaminya digodain sama si Ima!" Ucap Bu Ani.
"Astaghfirullah ... eh, Bu-ibu. Tidak baik bicara seperti itu. Kita juga kan, belum tahu yang sebenarnya terjadi. Mungkin saja Bu Ima memang di fitnah. Bukannya kalian semua tahu sifat suami Bu Dewi?" Ucap Bu Rahma, istri pak RT.
"Halah! Palingan perempuannya duluan yang ganjen! Sudah tahu suami teman sendiri, eh, tahu-tahunya malah, TEMAN MAKAN TEMAN!" Celoteh Bu Wati, Si Ratu Gosip.
"Istighfar, Bu! Jangan seperti itu! Kasihan Bu Ima. Dia juga berhak menjelaskan, apa yang sebenarnya terjadi. Jadi tolong jangan nge-judge orang, apalagi tanpa bukti yang akurat!" tambah Bu RT sambil merangkulku.
"Sudah tidak apa-apa, Bu RT. Biar saja, yang salah pasti akan tampak jelas dengan sendirinya. Begitu pun yang benar, akan nampak jelas dengan sendirinya. Karena Allah SWT Yang Maha Tahu, apa yang sesungguhnya terjadi. Mau dijelaskan bagaimana pun juga, mereka tidak akan percaya. Jadi, biarlah mereka membenciku. Silahkan, aku ikhlas menerima." Seperti biasa, segera kubayar belanjaanku.
Yang salah pasti akan tampak jelas dengan sendirinya. Begitu pun yang benar, akan nampak jelas dengan sendirinya. Karena Allah SWT Yang Maha Tahu, apa yang sesungguhnya terjadi. Mau dijelaskan bagaimana pun juga, mereka tidak akan percaya.
Aku tidak ingin menanggapi bibir-bibir pedas mereka. Cukup bagiku, Tuhan bersamaku. Bersama hamba-Nya yang bersabar. Meski hatiku terasa sakit sekali mendengar ucapan-ucapan kasar mereka. Kupikir masalah sudah selesai. Ternyata tidak semudah itu hidup di lingkungan ini. Harus siap dikritik, dikomentari, dan di-bully. Meski untuk kesalahan yang sama sekali tidak kuperbuat.
"Halah! DASAR PELAKOR!" ucap Bu Wati kasar.
Kulangkahkan kakiku meninggalkan mulut-mulut nyinyir mereka. Sebelumnya aku tidak pernah bermasalah dengan mereka. Jika mereka masih menggosipkanku, itu bukan masalah bagiku. Justru merekalah yang bermasalah dengan mulut dan hatinya.
Sebelumnya aku tidak pernah bermasalah dengan mereka. Jika mereka masih menggosipkanku, itu bukan masalah bagiku. Justru merekalah yang bermasalah dengan mulut dan hatinya.
-- BERSAMBUNG --
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 210 Episodes
Comments
Efrina Lubis
hehee...mak" gosippp lg...
2020-07-24
2
Sinta Bibil
realita bgt ya emak"nya..
2020-07-17
2
Kustri
digosok makin sip!
emak² klu ngrumpi...
2020-07-10
1