Aku berlari mencari toilet. Kuabaikan suamiku yang masih terus memanggil seraya mengekor di belakangku.
"Permisi, Nona, bisa kau tunjukkan di mana letak toilet?"
Kepada seorang wanita muda bergaun merah muda itu aku bertanya tergesa-gesa.
"Di sebelah kanan, itu lurus saja." Seraya menunjuk ke sebuah arah.
"Terima kasih."
Mas Bastian yang mengikutiku, tiba-tiba berbalik arah, setelah menanyakan sesuatu kepada wanita bergaun merah muda tadi.
Kulangkahkan kakiku ke dalam toilet. Kuembuskan napas panjang. Ah, disini agak lega. Meski sesak di dada masih membelenggu. Setidaknya diriku aman berada di sini. Membiarkan mata ini menuntaskan perihnya.
Kuhadapkan bayangan diri ke cermin. Kutatap pantulan bayangan itu dengan cermat. Wanita malang yang menanti selama bertahun-tahun pujaan hatinya. Wanita yang pernah paling beruntung memiliki sosok seperti dia. Dia yang meninggalkan sang Puteri sendirian, menunggu janji yang terucap begitu indah. Hingga tiada kabar darinya, menghilang, enyah.
Setelah sekian lama menanti, merindu. Kini bak terkoyak ombak tsunami. Hatinya luluh lantak, hancur ditelan ombak. Menyaksikan pria yang masih merajai hatinya, mengikat hubungan dengan wanita lain. Mengubur hidup-hidup janji manis yang pernah diikrarkannya.
Kuseka perlahan bulir bening di wajah. Dasar bodoh! Apa gunanya menangisinya. Lihatlah bagaimana dia sekarang? Impian itu telah ia genggam. Dia berhasil meraihnya. Sukses menjadi seorang dokter muda nan gagah. Dan kini ... aku merasa dikhianati.
[Hai, Puteri Angsa? Pangeran Elangmu mendarat dengan baik di negeri Paman Sam.]
[Syukurlah ... kuharap sayapmu tidak terluka. Kau terbang terlalu jauh.]
[Aku baik-baik saja Tuan Puteri.]
Aku yang tidak bisa baik-baik saja.
[Aku rindu, Pangeran.]
[Baru beberapa hari, Tuan Puteri.]
Ya, baru beberapa hari. Aku tak tahu berapa ratus hari lagi menahan rindu padamu, Di.
[Nia?]
[Hm .... ]
[Aku mencintaimu.]
[Ya, aku tahu.]
[Seberapa banyak kau tahu tentang diriku?]
[Tak terhingga.]
[Benar. Kalau begitu, relakan aku di sini. Meraih mimpiku. Biarkan aku belajar, dan berjuang. Jika kau sungguh-sungguh memahamiku. Seharusnya kau men-support Pangeranmu ini. Demi masa depan kita nanti. Percayalah! Aku pasti kembali dalam pelukanmu. Aku janji! ]
[Apa aku terkesan menghalangi jalanmu?]
[Aku tidak bilang begitu.]
[Baiklah, berjuanglah Pangeran Elangku. Aku 'kan menunggumu. Dan s'lalu mencintaimu. Baik-baik Sayang, jaga kesehatan, jangan lupa merindukanku, Love.]
Beberapa hari selepas kepergiannya di Amerika Serikat, kami masih berkirim pesan. Empat bulan kami menjalani LDR dengan baik. Hingga pada kejadian itu.
[Ya, Nia.]
[Kenapa pesanku tidak dibalas?]
Saat itu selama satu Minggu tiada satu pun pesan masuk darinya. Aku kesal!
[Nia, aku di sini untuk belajar. Bukan untuk main-main. Please ... kamu jangan kekanakan.]
[Ya, aku memang kekanakan!]
Menunggu balasan darinya. Satu menit ... dua ... tiga ... nihil. Pesanku terkirim, tetapi belum ia buka. Sesibuk itu kah? Malam-malam begini? Ya, waktu siang di sini, malam di California. Jam menunjukkan pukul 13:20 WIB (Jumat). Yang berarti di California masih pukul 22:20 (Kamis petang). Waktu di Indonesia 15 jam lebih awal dari California.
[Di, kalau satu jam kamu gak balas, kita putus!]
Sebenarnya aku tidak serius mengatakan itu. Aku hanya sekedar menggertak. Dan benar, tepat satu jam kemudian dia mengirim sebuah puisi dalam lampiran Ms. Word.
Bintangku
By. Dimas A. W
Gelapnya malam
Asal hidupku jangan
Hitamnya langit
Asal hatiku jangan
Gulitanya dunia
Asal ada cintamu
Segalanya terasa indah
Cahyamu laksana bintang
Indahkan malamku
Meski jauh menahan rindu
Bayangmu senantiasa
Hadir hiasi malamku
California, 13 Desember 2011
[Kita masih jadian?]
[Menurutmu?] Balasku.
[Jangan katakan itu lagi, kumohon!]
[Maafkan aku, Di. Aku terlalu mengkhawatirkanmu.]
[Apa lagi yang kau ragukan? Nia, aku s'lalu merindukanmu. Namun, pahami diriku. Aku Mahasiswa Baru. Di tahun pertama aku harus tinggal di asrama. Mematuhi segala peraturan yang ada. Bukankah kau juga kuliah? Berjuanglah dan raih cita-citamu! Kita sama-sama berjuang! Sampai bertemu nanti di Indonesia, Sayang. I Miss You.]
[I Miss You Too. Tidurlah! Istirahatlah! Sudah hampir jam satu pagi.]
[Kau sampai menghafal zona waktuku. Terimakasih ... maafkan Pangeran yang terlalu sibuk ini, ya.]
Pesan beserta puisi terakhir darinya. Semenjak itu, pesanku tidak pernah terkirim lagi. Sebegitu besar ambisinya untuk belajar, sampai-sampai lupa memberiku kabar. Mengesampingkan diriku demi mencapai tujuan. Seharusnya aku mengerti. Tetapi rindu ini terlalu berat. Apa salah bila sedikit saja aku meminta perhatianmu?
Tak tahu alasannya mengapa sampai ia benar-benar melupakanku. Atau lebih tepatnya, mengabaikanku. Apa aku terlalu berlebihan? Atau mungkin terlalu berharap dia menjadi milikku seutuhnya? Jangan-jangan dia mulai bosan dengan sikapku yang posesif dan manja. Atau jika benar, dia telah tergoda gadis-gadis cantik di negeri Paman Sam.
Rasa gengsi membuatku enggan menghubunginya terlebih dahulu. Cukup bagiku sikapnya kini membuktikan ia benar-benar sedang sibuk. Seorang ambisius yang pekat dengan obsesinya. Aku hanya rindu, Dimas. Salahkah aku?
Berbeda dengan Dimas yang semula kukenal. Penuh perhatian, konyol, yang tidak bisa satu hari saja untuk tidak meneleponku. Meski hanya sebatas mengingatkanku untuk makan, atau sekedar mengucapkan selamat tidur.
Aku juga kuliah, Di. Tetapi tidak over sibuk sepertimu. Memberi kabar pada pacar saja, sudah tak sempat. Sejak sikapmu yang dingin itu aku memutuskan, untuk membiarkanmu terbang bebas menggapai impian.
Membiasakan diri mengapung di dalam rindu yang mengekang rasa. Andai sayap ini mampu kuajak terbang jauh. Inginku menggapai dirimu nun jauh di sana. Sayangnya, aku hanya seekor Angsa. Apalah daya, 'kan kutunggu kepulanganmu padaku. Seperti janjimu dulu, di Taman Pelangi.
***
Tok! Tok! Tok!
Kudengar suara pintu toilet ada yang mengetuk. Segera kucuci muka agar tiada yang tahu bekas merah membengkak pada mataku. Kulap dengan tissue, lalu dengan wajah polos tanpa sisa make up, kuberanikan diri untuk cuek.
Tak kuhiraukan lagi penampilanku yang polos natural. Kutatap lekat-lekat bayangan kembaranku di cermin.
"Mulai sekarang aku sudah bertekad, untuk tidak lagi peduli dengan diri seorang Dokter Elang itu. Sudah cukup! Cukup dengan drama cintanya yang kosong! Dimas Adi Wibowo! Dengar baik-baik. Mulai saat ini, kita saling AMNESIA!"
Tok! Tok! Tok!
"Ya, sebentar ...."
Kupastikan emosiku telah membaik. Kubenarkan jilbabku, kemudian kubuka daun pintu toilet.
Krekk!
"Nia."
Betapa mengejutkan. Seorang pria berdiri tegak tepat di depan toilet wanita.
"Siapa kamu?" Kulangkahkan kaki keluar toilet, dan tanpa mempedulikan lagi siapa orang yang sedang berdiri di hadapanku.
"Nia!" panggilnya seraya menahan lenganku.
"Anda siapa?" Kulepaskan lengan dari genggaman pria itu. "Maaf, aku tidak mengenalmu!"
-- BERSAMBUNG --
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 210 Episodes
Comments
Wien Narti
hadeh..si Nia setres.kl emng LDR y mestinya phm lh aplg tuk bljr toh km jg udh punya arka.kcuali km blm nkh.jm msh setia nunggu trs perjuangn ap j yg udh km lewati.br km cmburu
2022-02-13
1
Tri Wahyuni
lucu yaa jelas2 Ima yg nikah duluan udah punya buntut malah ......emang pantas cemburu!!! kalau benar2 wanita Sholehah ngak begitu!!! apalagi berhijab ih maluin 2
2020-09-15
3
Kustri
lanjut yuk..
2020-07-10
2