Semenjak kejadian itu, ketika Dewi tiba-tiba datang, marah-marah menuduhku berselingkuh dengan suaminya. Aku memutuskan untuk lebih berhati-hati dalam bermain medsos. Aku takut hal semacam ini terulang lagi padaku. Meski sesungguhnya aku tidak bersalah. Aku merasa seperti difitnah.
Pagi, seperti biasa, kusiapkan sarapan untuk suamiku.
"Mas, ayo sarapan dulu, makanan sudah siap!" ajakku bersemangat.
Suamiku selalu sarapan sebelum berangkat ke kantor. Alhamdulillah ... dia baru saja diterima kerja sebagai manager di sebuah Bank Swasta di kotaku. Dulu suamiku juga pernah menjadi sopir truk lintas, seperti suami Dewi. Beberapa bulan yang lalu dengan berbekal ijazah sarjana, ia melamar pekerjaan dan langsung diterima.
"Ya, sudah Mas berangkat dulu, Sayang."
Kecupan hangat bertengger di keningku.
"Arka belum bangun?"
"Belum," jawabku sambil membenarkan dasi yang sama sekali tidak salah.
Setelah sarapan, suamiku berpamitan. Sekedar melayangkan kecupan di keningku dan Arka. Namun, karena Arka masih tertidur nyenyak, suamiku pun menghampiri ranjang Arka.
"Papa, berangkat dulu ya, Jagoan ...," bisiknya lirih agar Arka tidak terganggu.
Cup!
Suamiku memang selalu melakukan hal-hal kecil seperti ini. Itulah yang membuatku terkesan. Ia sosok suami yang perhatian, pengertian, dan lembut.
Hanya saja, semenjak bekerja di Bank, aku merasa ada yang berbeda dari suamiku. Dia orang yang tidak suka keluar malam, jika bukan urusan penting saja. Akan tetapi sekarang, suamiku jadi sering keluar malam. Sekedar berkumpul bersama teman-temannya, atau urusan pekerjaan. Tetapi, kubuang jauh-jauh pikiran buruk dari otakku. Toh, suamiku juga perlu melepas penat. Yang penting bagiku, dia tidak berbuat macam-macam.
Meski begitu, tidak kupungkiri, kadang rasa curiga hinggap di hati ini. Kuamati suamiku, yang dulu tidak pernah mementingkan penampilan. Kini, dia selalu wangi. Rambut ikal yang biasanya dibiarkannya kusut, sekarang tampak licin dan tertata rapi. Kaos oblong dan celana jeans pendek yang biasa ia kenakan, kini tertata rapi tanpa tersentuh tangannya lagi. Suamiku jadi senang memakai celana jeans panjang, kemeja, dan sepatu.
Tetapi kuyakinkan diriku, kusingkirkan jauh-jauh kecurigaan itu. Lagi pula suamiku juga sudah menjadi pegawai kantoran, bukan sopir seperti dahulu. Dan aku juga senang melihatnya selalu rapi. Bukankah cukup enak dipandang?
Ya, memang sudah seharusnya suamiku merubah penampilannya. Yang penting tidak merubah hatinya!
***
Kupikir masalah kemarin sudah selesai.
Malam ini aku bersama suami pergi ke rumah mertuaku, yang tempatnya tidak jauh dari rumah kami. Ya, kami masih satu desa. Kami berkunjung ke rumah mertuaku untuk menitipkan Arka sebentar.
"Kami titip Arka ya, Bu? Kami mau menghadiri acara pertunangan temannya Mas Bastian dulu ya, Bu?" pamitku kepada ibu mertua.
"Ya sudah, hati-hati kalian? Kamu jangan ngebut-ngebut loh, Yan!" pesan ibu mertuaku. 'Iyan' adalah panggilan kesayangan ibu paruh baya tersebut terhadap suamiku.
"Ya, Bu?" jawab suamiku.
"Bu, nanti kalau Arka minta ASI, aku sudah siapkan di kulkas."
"Ya, Nak, pergilah! Jangan kemalaman pulangnya, ya?"
Kami pun pamit. Kusalami tangan ibu mertua dan kucium Arka yang masih tertidur dalam gendongan ibu.
Malam ini kami akan menginap di rumah ibu mertuaku.
***
Setelah berkendara kurang lebih 20 menit menggunakan sepeda motor, kami berdua sampai di tempat acara yang diselenggarakan di sebuah gedung hotel berbintang lima. Wajar jika dekorasinya tampak sangat mewah.
Baru masuk saja kami sudah di suguhi pemandangan dekoratif yang sangat indah. Kurasa acaranya akan sangat meriah. Lagi pula tamu undangan yang hadir sudah cukup ramai.
Kugandeng lengan suami. Kuamati gamis batik berwarna cokelat keemasan yang kukenakan.
"Apa penampilanku tidak memalukan, Sayang?" bisikku pada mas Bastian, seraya berjalan memasuki ruangan yang sangat luas ini.
"Tidak, kok! Tapi lain kali kamu perlu membeli pakaian yang lebih glamour seperti mereka!" Suamiku agak terkekeh melihatku yang kurang percaya diri dengan apa yang kukenakan. Sebab kuamati tamu-tamu yang hadir, semua memakai pakaian yang glamour nan mewah.
"Sebentar, kamu tunggu di sini ya, Sayang."
Kuanggukkan kepala. Aku masih terpana memandangi dekorasi yang sangat indah. Maklum, ini pertama kali aku menghadiri acara besar, selain kondangan, atau menghadiri resepsi pernikahan.
Aku sedang membayangkan betapa meriahnya pernikahan anak dari bos suamiku ini. Baru tunangan saja mewahnya minta ampun.
Suamiku menghampiri seorang pria yang sedang bercakap-cakap dengan para tamu. Kurasa dia adalah bos dari suamiku. Dari belakang tampak postur tubuhnya atletis. Pria ber-jas merah itu tampak masih sangat muda. Meski hanya terlihat dari samping.
Suamiku tampak akrab berbincang dengannya. Kulihat mereka berjalan menghampiriku.
"Ini, istriku, Ima."
Kuamati lebih dekat, sepertinya aku tidak asing dengan senyuman itu. Pria tinggi ini ....
"Imania Saraswati?" Pria ber-jas merah dengan kemeja putih itu mengangkat kedua alisnya. Memandangku penuh selidik. Memastikan bahwa ia tidak salah orang.
Awalnya aku heran, bagaimana dia tahu nama lengkapku? Beberapa detik kami saling pandang, ternyata aku baru mengenalinya. Agak sedikit berbeda, atau aku yang sedikit mulai melupakan wajahnya.
Ya, ampun? Tuhan ... rencana apa ini? Kami dipertemukan dengan cara yang tidak terduga.
"Di-Dimas ... kamu Dimas?" tanyaku tak percaya dengan apa yang kulihat di depan mata.
Pria dengan senyum termanis yang enam tahun lalu .... (flash back)
"Nia, hari ini aku hanya bisa ngasih kamu imitasi. Tetapi percayalah. Suatu saat nanti akan kuselipkan sebuah cincin emas di jari manismu ini. Tunggu sampai aku berhasil lulus sarjana nanti," ucap pria manis nan tampan tersebut. Bersimpuh di hadapanku seraya menyelipkan sebuah cincin perak cantik bertuliskan huruf 'D'.
"Kamu mau kan, menerima cintaku?" Dikecupnya punggung tanganku lembut.
Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Rasanya bahagia sekali memiliki cintanya. Seorang pria konyol yang kadang-kadang berubah romantis, merayuku dengan puisi-puisi andalannya.
Dia pun berdiri, kupeluk dia erat seakan tak ingin melepaskannya. Dihapusnya air yang perlahan turun dari mataku. Ia bisikkan kalimat-kalimat romantis guna menenangkanku.
"Aku tidak ingin berpisah darimu, Di!"
"Aku hanya pergi sebentar, Nia. Percayalah padaku! Relung hati ini hanya mampu dimilikimu. Jarak mungkin akan memisahkan kita. Mengukir rindu yang bergejolak. Namun hati tidak akan mampu mengukir rindu selain dirimu, Niaku."
Di taman bunga Pelangi kami berpisah. Berjanji untuk saling setia. Menyimpan cinta yang tiga tahun telah terukir indah.
"Aku akan kembali padamu. Simpan ini, bacalah ketika kamu sedang rindu, serindu-rindunya padaku." Sebuah buku ia berikan padaku. Buku bergambar kartun Naruto.
"Kau memintaku menjadi kutu buku, guna mengalihkan rasa rindu yang pastinya akan teramat dalam?"
Dia agak terkekeh mendengar pertanyaan konyolku. Diusapnya puncak kepalaku, mengelus rambut yang kubiarkan terurai panjang.
"Ini bukan buku biasa, Sayang?"
"Bukan komik Naruto?" Tanpa membukanya terlebih dahulu aku mencoba menerka bahwa buku itu bukan komik. Lalu kumasukkan ke dalam tas.
Tawanya pun pecah seakan pertanyaanku sangat konyol. Sengaja aku tak membukanya sedikit pun. Kubiarkan rasa penasaran ini tersisihkan sejenak. Konsentrasiku saat ini hanya tertuju pada sosok pria tampan di hadapanku. Yang sebentar lagi akan pergi nun jauh di sana.
"Aku hanya berpindah tempat, bukannya berpindah hati. Matamu terlalu khawatir padaku. Masih ragu kah, dengan kesetiaanku?" Seraya menyentuh hidungku dengan telunjuknya.
"Ya, aku takut nanti kamu berpaling hati dariku. Pasti di fakultasmu akan banyak gadis-gadis cantik nan seksi yang mungkin akan menggodamu. Atau mungkin, kamu yang tergoda untuk .... " Air mataku kembali meluncur. "Aku ... aku takut ...."
"Sst .... "
Telunjuk itu menghentikanku bicara. Kami saling menatap, perlahan bibir itu semakin dekat. Hingga dalam cinta yang menggebu, ciuman pertama terasa begitu manis. Kubiarkan cinta kami beradu. Mengadukan betapa beratnya hati kami saling melepas.
Sungguh, tak mampu rasanya berpisah dalam cinta yang sedang mekar-mekarnya. Aku hanya takut, bila kuncup bunga yang baru mekar ini gugur layu.
Mengapa tidak satu fakultas saja denganku? Mengapa harus pergi? Mengapa tidak bersamaku? Mengapa harus berpisah? Mengapa? Mengapa ....
Langit yang cerah berubah menghitam. Seperti memahami perasaanku yang gundah gulana. Melepas pangeranku.
Air langit benar-benar turun. Kami biarkan tubuh kami basah dalam kucuran air langit. Didekapnya tubuh langsingku dalam kehangatan kasihnya. Air mataku kembali mengalir, beradu dalam derasnya air hujan.
Kulepaskan pelukannya.
"Kenapa?"
Tanpa menjawabnya, kutatap mata elangnya. Kurasa dia berusaha menyembunyikan genangan pilu itu. Kuletakkan kedua telapak tanganku di kedua sisi pipi sang pangeran elang. Kujinjitkan sedikit kakiku, dan ....
Cup!
Kukecup bibir pangeran elang dan ia hanya tertegun menatapku.
"Ini yang kedua," bisikku malu-malu.
Sore itu sekuat hati kulepaskan sang elang untuk terbang menggapai impiannya. 'Kan kutunggu hingga sang elang menepati janjinya.
***
"Kalian sudah saling kenal?"
Pertanyaan suamiku membuyarkanku akan memori lama yang masih tersimpan baik di hatiku. Ya, Tuhan ... perasaan apakah ini? Pangeran macam apakah dia, tega meninggalkan tuan putri dalam kesepian, kesunyian, dan kerinduan.
-- BERSAMBUNG --
______________________________________________
Hola, Readers Keceh Tersayang ...!
Jangan lupa untuk FAVORITKAN novel ini, ya?
Sayang sekali jika kalian mundur di sini. Sejauh ini, pembaca tidak ada yang kecewa terhadap jalan cerita BUKAN PELAKOR hingga ENDING.
Kenapa?
Itu karena kisah novel ini benar-benar berbeda dari yang lain. Isinya juga lengkap. Ada sad, ada komedi, ada sweet, dan ada ninu-ninu (eh, apaan, tuh).
Sekali lagi Author Keceh peringatkan, novel ini khusus 21+. Untuk usia remaja, Kakak Author sarankan agar lebih bijak dalam mencerna bacaan.
Thank you ...!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 210 Episodes
Comments
Wien Narti
waduuh...udah sosor menyosor
2022-02-13
1
neng ttumiii
nama panggilan nya SMA dgn nama ku.. JD berasa d dlm novel😁
2021-03-23
0
Maria Suzan Ursula
kakak author.. like
2020-09-26
2