Tidak lama, mobil hitam milik dokter itu muncul dan berhenti tepat di halaman rumahku. Bunyi klakson membuat mas Bastian bergegas keluar rumah. Kuamati dari jendela, suamiku tampak menyapa dokter tersebut. Sedangkan sesekali, mata dokter elang seperti mencari-cari sesuatu ke arah rumah.
Di-starternya kembali mobil itu, sebelum melaju, dia menoleh ke arahku. Ia kedipkan sebelah matanya padaku.
Deg!
Aku terciduk lagi. Segera kututup gorden jendela tempatku mengintip. Sial!
***
Angin sore berembus segar. Aku berjalan menyusuri jalan setapak perkampungan. Ditemani Arka yang baru lancar berjalan. Seraya menuntunnya ke arah taman desa. Kami bertemu dengan Dewi, sahabat karibku, dulu.
"Assalamualaikum ... Wi," sapaku.
"Waalaikumsalam ...," jawabnya tersenyum.
Aneh. Apa dia sudah tidak marah padaku? Tentang hal waktu itu, apa dia sudah mengabaikannya? Tapi syukurlah.
"Kamu mau ke mana, Wi?"
"Aku mau ke taman. Bosen di rumah terus."
"Kalau begitu, mari kita ke sana," ajakku.
"Ayo! Eh ... anakmu sudah tambah besar, ya ... tambah ganteng, tambah lucu."
"Alhamdulillah."
Kami pun berjalan menuju taman. Sesampainya di taman, kami duduk berbincang-bincang di dekat ayunan.
"Ima." Dewi menggenggam punggung tanganku.
Aku menoleh, mengamati raut muka yang tampak serius itu. "Iya, Wi."
"Maafkan aku." Sorot mata itu berubah teduh.
"Untuk?" Aku tidak mengerti. Apa ini tentang kejadian setahun yang lalu. Saat Dewi tiba-tiba datang ke rumahku, menuduhku berselingkuh.
"Seharusnya aku mempercayaimu." Ia memelukku. "Maafkan aku, Ima ... sahabatku."
Hatiku sangat lega. Sahabatku kembali. Kubiarkan Arka yang sedang berjalan tidak jauh dari tempatku duduk. Dia terlihat sangat senang. Ini pertama kalinya Arka kuajak ke taman.
"Wi ... aku sudah pernah bilang. Aku tidak pernah ada hubungan dengan suamimu. Tentang chat via WA yang waktu itu, jujur aku tidak tahu. Sungguh ... aku tidak punya nomor kontak Mas Rangga, suamimu, Wi," tuturku.
Ia melepas pelukannya. "Ima ... aku tahu. Aku sudah mengerti sekarang. Mas Rangga memang playboy. Sejak melihat ada namamu di kontak Mas Rangga, aku mencoba menghubunginya. Itu memang perempuan. Namanya Wulan." Air mata mulai mengalir dari mata Dewi. "Mas Rangga sengaja menamai kontak Wulan dengan namamu."
Kutatap dia dengan iba. "Wi ... yang sabar, ya?"
Kemudian dia menceritakan tentang beberapa hari kemudian setelah mengetahui tentang Wulan. Bahwa, Dewi segera melabraknya. Rumahnya tidak terlalu jauh. Dia tetangga desa.
"Mas Rangga juga mengakui, sudah menggunakan namamu, untuk mengecohku. Juga memfitnahmu. Mas Rangga memang begitu. Menghalalkan segala cara demi mendapatkan apa yang dia mau. Atas penolakanmu waktu itu pada suamiku, terima kasih, Ima." Dia menuturkan detail kesalah pahaman itu.
Aku mengembus napas lega. "Wi? Saat itu, suamiku sempat datang menemui Mas Rangga, kan? Apa mereka tidak bertengkar? Aku penasaran, soalnya Mas Bastian tiba-tiba saja memintaku untuk melupakan kejadian tersebut. Kamu ingat?"
Dewi terdiam sesaat. "Em ... a-aku ... aku kurang tahu, Ima, maaf ...," jawabnya terbata-bata.
Ada kejanggalan di mata Dewi. Dia sedang menutupi sesuatu. "Wi? Kamu tidak sedang berbohong, kan?"
Dia tertegun. "Ah, enggak, kok ... beneran. Enggak ada apa-apa, kok?" Seraya memperbaiki posisi duduknya.
Aku tahu Dewi sedang mencoba menyembunyikan sesuatu. "Wi ... kamu sudah kuanggap seperti kakakku sendiri. Kalau ada sesuatu, please ... ceritakan padaku. Jangan ada yang ditutup-tutupi," pintaku sedikit memaksa.
Dia kembali diam. Sesekali memandang ke atas, lalu ke bawah. Entah apa yang tengah dipikirkannya.
"Ima ... sebenarnya .... " Dewi menggigit bibir bawahnya.
"Ya." Kutatap lebih dalam mata Dewi. Meyakinkan agar dia mau mengatakannya.
"Sebenarnya ... Mas Rangga dan suamimu ... mereka ... ada perjanjian --"
Buk!
Belum selesai bicara, kami dikejutkan oleh suara tangisan Arka.
"Ya, Tuhan!" pelukku.
"Arka!" Dewi ikut mengejar di belakangku.
Arka jatuh di dekat ayunan. Saking asyik dan seriusnya ngobrol, aku sampai lupa keberadaan Arka.
"Sayang kamu enggak apa-apa?" Aku panik, Arka terus menangis. Kuangkat tubuh Arka ke pangkuan.
"Dia tidak terluka, Ima?"
"Sepertinya tidak. Mengapa dia terus menangis?"
"Coba lihat kakinya." Dewi memeriksa kaki Arka. Ada memar di bagian punggung kaki tersebut.
"Tenang ... Sayang ... mama akan membawamu ke dokter."
***
Di pinggir jalan raya, kami duduk di sebuah tempat bekas kedai kopi, menunggu taksi online yang dipesan Dewi. Lama sekali. Tampak sebuah mobil hitam yang berhenti tidak jauh dari kami.
Seseorang keluar dari mobil, menghampiri kami.
"Nia, ada apa dengan Arka?"
Di situasi seperti ini, tak mungkin aku membencinya.
"Dia terjatuh."
"Bagaimana bisa?" Sorot matanya turut mengisyaratkan kekhawatiran.
"Pentingkah pertanyaanmu itu? Cepat, bantu aku!"
"Ayo, kita bawa ke rumah sakit."
Kami bergegas masuk ke mobil. Aku lupa, mengabaikan Dewi yang masih duduk di depan bekas kedai itu.
Kuturunkan sedikit kaca mobil. "Dewi?"
Dewi berdiri, masih menatap ke arahku.
"Tidak apa! Pergilah!" Dilambaikannya tangan kepadaku.
Aku tersenyum padanya, mengisyaratkan 'terima kasih' atas kembalinya menjadi sahabatku.
-- BERSAMBUNG --
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 210 Episodes
Comments
Dewi Safitri
greget
2020-09-19
1
Efrina Lubis
masih penasaran...
2020-07-24
3
Tionar Linda
dari awal mmbaca smpe kesini aku baca nya deg-degan..
2020-07-24
2