Hap, tiba-tiba saja ada yang membekap tubuh Sya. Perlahan Sya diseret masuk ke sebuah ruangan. Siapakah dia?
***
Sya membuka matanya. Dia melihat pendar cahaya dari sebuah sudut. Lalu, klik, lampu menyala dengan terang. Sya kaget melihat Jovi berada di depannya.
Wajah Jovi terlihat marah. Bahkan sampai membuat matanya merah. Sya bangun dari duduknya dan akan pergi. Hanya saja, Jovi sudah berhasil menahan tangan Sya.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Sya.
"Seharusnya aku yang bertanya padamu," jawab Jovi sembari menarik tangan Sya hingga masuk ke dalam pelukannya.
Jovi menatap lekat mata Sya, "Kenapa kau mau menikah dengan Arda?" tanya Jovi.
Mendengar kata menikah, Sya mendorong Jovi. Hatinya memang masih berpihak pada Jovi. Hanya saja, sebuah ikatan pernikahan bukanlah permainan. Itu adalah ikatan yang suci. Tidak mungkin dia menghianati suaminya itu.
"Apa kau sudah melupakan aku? apa kau hanya bermain denganku?"
"Cukup," kata Sya dengan suara cukup keras, "Aku memang mencintaimu, tapi ikatan pernikahan bukan permainan."
Jovi mencoba mendekat dan akan kembali memeluk Sya. Kini, Sya mundur beberapa langkah. Dia bahkan tidak menatap pada Jovi.
Entah kenapa, Sya merasa dirinya tidak pantas bersama dengan Jovi. Bukan karena cintanya yang sudah padam. Hanya saja, dia merasa tidak pantas karena sudah berstatus menjadi istri.
"Sya, aku sungguh mencintaimu."
Sya mendongakkan wajahnya, "Aku juga mencintaimu. Hanya saja, aku sudah menjadi milik orang lain."
"Bagaimana jika kita sama-sama mengajukan cerai."
Sya menggeleng dengan cepat. Jika dia bercerai dengan Arda. Dia akan mengatakan semuanya pada Ibu Zein. Hal itu akan menjadi sangat mengerikan.
"Lupakan saja cinta kita," ucap Sya.
"Kenapa kita tidak bisa bersama?"
Sya mengatakan dengan tatapan tajam pada Jovi, "Karena kita sudah memiliki ikatan pernikahan masing-masing."
Tangan Sya menepis tubuh Jovi dan keluar dari ruangah itu. Beberapa kali Sya menoleh ke kiri dan ke kanan. Dia tidak tahu dimana, sampai saat Sya menoleh kearah belakang. Dia melihat sebuah rumah dengan bangunan megah.
Sya tersenyum. Ternyata dia tidak berada jauh dari rumah Arda. Setidaknya dia tidak akan membuat alasan bodoh untuk berbohong.
***
Setelah melihat sekeliling tidak ada orang. Sya langsung masuk begitu saja, namun dia kaget saat melihat Ibu Zein sudah duduk dengan Nyonya Ken.
Sya hanya bisa berdiri dengan pikiran entah kemana. Bagaimana bisa ibunya ada disana. Sementara dia belum mengabari apapun.
Sementara Ibu Zein dan Nyonya Ken tersenyum dengan kedatangan Sya. Sya merasakan jantungnya berdetak sangat kencang. Bahkan mungkin terdengar orang lain.
"Istriku sudah datang ternyata. Kau dari mana?" tanya Arda begitu melihat Sya diam di depan pintu.
"A...aku..aku."
"Aku apa?" tanya Arda.
Sya menunduk dan mencoba menenangkan hatinya, "Aku baru keliling rumah ini. Kau tahu kan, aku masih baru disini."
Arda tersenyum sinis. Dia tahu jika istrinya itu sudah berbohong padanya. Hanya saja, Arda menutupinya di depan orang tua. Arda tahu apa yang terjadi, tapi tetap saja tidak membuat isi hatinya berubah.
Tangan Arda menarik Sya mendekat, "Aku tahu semuanya. Jadi, jangan membuat kesalahan."
Sya hanya bisa diam. Lalu, dia tersenyum lebar dan menghampiri Ibu Zein. Ibu Zein memeluknya dengan hangat. Bahkan, dia terlihat bahagia dengan apa yang dilakukan Sya.
Walaupun begitu, Sya tetap saja merasa dirinya terluka. Cintanya kandas dan sekarang menikah dengan pria yang tidak dia cintai. Dengan kepercayaan diri, Sya merasa dirinya dan Arda bisa bersama.
"Kami sudah menunggumu sejak tadi," kata Nyonya Ken.
"Maaf, aku tadi ingin jalan-jalan. Tidak sempat berpamitan."
Nyonya Ken tersenyum, "Tidak masalah."
Hati Sya merasa lega, dia hendak duduk di samping Ibu Zein. Namun Arda menariknya dengan cukup keras.
"Kalian bisa membahas banyak hal. Kami pergi dulu," kata Arda.
"Baiklah," ucap Ibu Zein.
Langkah kaki Arda cukup lebar membuat Sya kewalahan mengimbanginya. Apa lagi, tangan Sya yang digenggam erat oleh Arda. Membuat Sya hanya bisa menahan sakit di lengan kanannya.
Mereka masuk ke dalam kamar. Arda melempar Sya ke atas tempat tidur dan mendekatinya. Dia mencium bau tubuh Sya, lalu dia menatap tajam pada istrinya itu.
"Kenapa kau masih menemuinya? apa kau sungguh mencintainya?"
Sya menggeleng, "Aku bisa jelaskan, Da. Aku memang mencintainya tapi..."
"Sudah aku duga, kau bukan wanita yang mudah menyerah."
Sya bangun dari duduknya dan mendekat pada Arda yang terlihat sangat marah kali ini.
"Bersihkan tubuhmu. Aku tidak ingin ada bau pria lain di tubuhmu itu."
Tubuh Sya bergetar. Dia merasa takut dengan kemarahan Arda. Baru kali ini, dia merasa jika tidak ada yang bisa menolongnya lagi. Dia hanya bisa berharap Arda mau memberikan dia waktu untuk menjelaskan semuanya.
"Aku bilang bersihkan tubuhmu," ucap Arda dengan sangat keras.
Sya terhenyak. Dia masuk ke dalam kamar mandi dan membuka kran air. Perlahan, tubuhnya mulai dibasahi air itu. Tes, tes, tes, perlahan air mata Sya juga mengalir.
Melihat Arda yang seperti itu membuat hati Sya terluka. Walau Sya tidak tahu alasan dia sakit hati.
***
Arda meminta beberapa pelayan membersihkan kamarnya. Dia minta baju yang baru saja dipakai Sya untuk segera dibuang. Bagi Arda, Sya adalah istrinya yang berarti miliknya. Jadi, tidak ada yang bisa menyentuh Sya selain Arda. Walau dia masih belum mencintai Sya.
Langkah Sya kini tertahan oleh rasa takut dan terluka saat melihat Arda. Dia kembali mengurungkan niatnya untuk keluar dari ruang ganti. Dia memilih berdiam disana sebelum Arda keluar dari kamar.
"Nona, Ibu Anda ingin bertemu Anda," kata seorang pelayan di depan pintu ruang ganti.
"Apa Arda tahu tentang ini?" tanya Sya.
"Tuan sudah memberikan izin."
Mendengar hal itu, Sya membuka pintu itu. Sudah tidak ada pelayan atau Arda di sana. Helaan nafas membuat Sya merasa lebih lega.
Kini ada rasa senang karena bisa bertemu dengan Ibunya. Ibu Zein sudah menunggu Sya di ruang tamu. Disana juga sudah tidak ada Nyonya Ken.
"Akhirnya kamu keluar juga," kata Ibu Zein.
Sya tersenyum, "Maaf membuat ibu menunggu."
"Tidak masalah. Bagaimana sekarang? apa kau merasa bahagia dengan Arda?"
Sya diam. Dia tidak tahu harus menjawab apa.
Ibu Zein menepuk pundak anaknya secara perlahan, "Ibu tahu, kamu masih belum mencintai Arda. Setidaknya kamu harus menjalaninya dengan cinta. Dengan begitu, cinta pasti akan tumbuh di hati kalian."
Sya mengangguk.
"Kau sudah terikat oleh pernikahan. Bagaimanapun, kau harus menurut pada suamimu. Apa lagi jika itu hal baik."
"Ya, Bu."
Ibu Zein menarik Sya masuk ke dalam pelukannya. Hangat dan menenangkan bagi Sya. Sudah sangat lama dia tidak merasakan hal ini.
Setelah pelukan itu terlepas. Sya kembali merasa ada yang hilang darinya.
"Ibu akan pulang. Kau jaga diri ya," kata Ibu Zein.
Sya mengangguk dan mengantarkan Ibunya sampai depan rumah. Ternyata, Arda sudah menyiapkan mobil untuk mengantar Ibu Zein.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 162 Episodes
Comments
Chandra Ponsel
wah si sya nya pelakor to
2021-02-25
1