Viona menangis sejadi-jadinya menumpahkan segala rasa yang menyesakkan jiwanya selama ini, bahkan kemeja yang dipakai Bima ikut basah oleh air mata yang tumpah ruah dari netra indahnya.
Sejak tadi Bima tidak berhenti mengusap dengan gerakan pelan di punggung Viona yang berguncang. Baru kali ini Bima tidak naik pitam saat istrinya menangis, bahkan bersikap lembut dan berusaha menenangkan.
Sudah hampir satu jam keduanya masih dalam posisi yang sama. Tangisan Viona mulai mereda dan helaan napasnya berangsur teratur.
Setelah dirasa istrinya itu puas menangis, Bima mengurai pelukannya. Tangan kirinya meraih dagu Viona agar wajah istrinya yang menunduk itu sedikit mendongak, lalu menggulirkan jemari kanannya dan mengusap sisa-sisa air mata yang masih mengalir dari sudut mata Viona.
"Aku benar-benar minta maaf, dan juga tadi ponselku mati karena baterainya habis, jadi tidak bisa memberi kabar tentang pertemuan dadakan dengan mitra usahaku." Bima memberi alasan, berusaha menjelaskannya setenang mungkin agar kebohongannya tidak nampak jelas permukaan.
"Be-benarkah begitu," tanya Viona, masih diselingi isakan yang membuatnya sedikit tergagap.
"Lain kali, tolong beri aku kabar. Bukankah bisa menghubungiku memakai telepon kantor sebelum berangkat ke pertemuan? Jangan membuatku menunggu tanpa kabar seperti tadi. Mas tidak tahu bagaimana sedihnya perasaanku, aku merasa akhir-akhir ini Mas bisa lebih pengertian padaku, tapi saat aku mencoba menerima semua itu Mas melakukan hal yang membuatku merasa menjadi manusia yang tak dianggap!" serunya.
Bima menangkup kedua sisi wajah Viona, menatap ke dalam mata yang masih memerah itu. "Lain kali aku pasti akan mengabari agar tidak membuatmu menunggu," sahutnya, nada bicaranya riuh rendah dengan senyuman manis yang sangat jarang terukir di wajahnya.
Tidak dipungkiri, Viona merasakan hatinya menghangat diperlakukan lemah lembut oleh suaminya, ditambah dengan senyuman manis yang tersungging di bibir Bima merupakan pemandangan yang sangat langka selama pernikahan mereka.
Jujur saja, perasaan Viona memang sering terluka hingga terasa perih dengan perlakuan Bima terhadapnya, tetapi karena sikap Bima yang beberapa waktu terakhir ini lebih peduli padanya, membuat rasa sakit itu perlahan menguap dan hatinya berangsur kembali melunak.
Apakah ia terlalu lemah? Tetapi memang inilah yang diinginkannya selama ini. Mempunyai rumah tangga yang normal, berkomunikasi dengan baik, saling mengasihi sebagaimana pasangan lain pada umumnya, diperlakukan lembut dengan kasih sayang apalagi ia tengah mengandung saat ini.
Walaupun mereka menikah dengan jalan perjodohan, tetapi bagi Viona pernikahan adalah hal yang sakral. Sehingga ia selalu berusaha untuk tetap bersabar selama ini demi mempertahankan mahligai rumah tangganya.
Seperti pepatah mengatakan, rumah tangga itu laksana biduk, terjangan badai dan hempasan gelombang pasti akan datang menerpa, menguji kekuatan dan kesolidan antara suami dan istri dalam perjalanannya mengarungi samudera pernikahan.
Telapak tangan Viona bergerak menyentuh tangan Bima yang menangkup wajahnya, bibirnya yang masih gemetar karena isakan tertarik ke atas, menciptakan lengkungan indah yang disebut senyuman.
"Aku pegang kata-katamu, Mas. Dan aku punya permintaan, bisakah kita bisa berkomunikasi dengan baik layaknya suami istri pada umumnya? Saling mengabari satu sama lain, dan jika ada masalah bisakah kita bicarakan dengan kepala dingin? Bukan berlalu pergi meninggalkan masalah yang masih menggantung tanpa ada penyelesaiannya. Dengan begitu aku merasa menjadi bagian penting dalam hidupmu dan merasa dianggap sebagai seorang istri," pinta Viona.
Bima merapikan anak rambut yang menutupi kening Viona dan mengecupnya dengan lembut. Viona memejamkan mata, ada rasa sejuk yang mengalir di sanubarinya, laksana gemericik air hujan yang turun dengan mesranya menyapa dan membasahi hatinya yang terasa kering kerontang.
"Beri aku kesempatan, aku akan berusaha untuk bisa seperti yang kamu minta." Bima menghela Viona kembali ke dalam pelukannya.
*****
Di keheningan malam, sayup-sayup suara dua manusia yang baru saja berdamai menggema bersahutan memenuhi seluruh penjuru kamar utama rumah besar itu. Tidak seperti malam-malam sebelumnya, kali ini Bima memperlakukan Viona dengan sangat lembut penuh kasih sayang, menghargai setiap inci tubuh istrinya membuat Viona merasa dipuja dan diinginkan.
Mereka saling memacu untuk pemenuhan jiwa yang baru bersemi. Viona bahkan tidak bisa mengontrol desahan panjang yang lolos dari bibirnya, disusul Bima yang menggeram menandakan bahwa kebutuhan batiniahnya telah terpenuhi.
Masih dengan napas yang terengah-engah Bima menahan bobot tubuhnya agar tidak serta merta ambruk menimpa Viona, ia segera melepaskan kungkungannya dan berguling ke samping.
Bima meraih selimut yang terlipat di ujung ranjang. Tangannya bergerak untuk menutupi tubuh mereka yang tanpa busana. Viona masih mengatur napasnya, sehingga perutnya yang membuncit terlihat ikut bergerak naik turun seirama.
Bima mengamati perut istrinya yang ternyata semakin hari semakin membuncit, jarang sekali ia memperhatikan dengan saksama. Secara refleks tangannya bergerak mengelus perut itu dengan gerakan seringan bulu, lalu ia mendekatkan wajahnya dan mendaratkan ciumannya.
Viona yang sudah mulai terkantuk-kantuk karena kelelahan sedikit terkesiap saat merasakan sentuhan yang tak biasa di perutnya. Lalu ia menundukkan pandangannya dan tertegun sejenak.
Viona mengerjapkan matanya yang sudah berat dan sulit berkompromi untuk tetap terjaga, setelah diamati ternyata yang dilihatnya bukanlah mimpi, Bima benar-benar sedang mengelus dan mencium perutnya.
Ini adalah pertama kalinya Bima bersikap begitu hangat semenjak dirinya hamil. Rasa haru memenuhi relung hatinya, sungguh Viona bahagia, dan berharap semoga kedepannya kehidupan pernikahannya bisa semakin harmonis.
"Mas," panggilnya parau.
Bima menoleh saat telinganya menangkap suara Viona. "Aku sedang menyapa anakku," ucapnya sambil tersenyum.
Bima segera menarik selimut hingga menutupi tubuh mereka berdua, direngkuhnya Viona ke dalam pelukannya. Rona bahagia jelas tergambar di wajah cantiknya. Viona bergelung ke dalam kehangatan dekapan suaminya, sudah lama sekali Bima tidak seperti ini, Bima pernah bersikap mesra ketika awal-awal pernikahan mereka yaitu pada saat berbulan madu di Maldives.
"Tidurlah, aku tahu pasti kamu kelelahan bukan?" Bima mengecup puncak kepala Viona dan mengusap-usap punggungnya, Viona makin mengeratkan pelukannya dan tak lama berselang ia terlelap tenggelam ke dalam mimpi indahnya.
Bima menghentikan elusan tangannya saat dirasa Viona telah jatuh tertidur. Ia mengembuskan napasnya kasar, rasa kantuk sama sekali tak kunjung datang, semakin larut matanya kian nyalang, ingatannya kembali pada waktu tadi siang.
Perlahan tapi pasti, seinci demi seinci rasa bersalah pada Viona akibat kecerobohannya sendiri mulai menjalar di kalbunya dan semakin menghantuinya, bahkan ia juga mengumpat pada dirinya sendiri karena saat bersama Reva ia menjadi lupa waktu, bahkan kadang juga bisa melupakan segala hal dalam kehidupannya hanya demi kenikmatan sesaat itu.
*****
Terimakasih yang tak terhingga pada semua my beloved readersku tersayang yang masih tetap setia mengikuti cerita ini. Jangan lupa tinggalkan jejak kalian setelah membaca ya, dukungan kalian jadi penyemangat buatku untuk terus menulis.
love you all 💕😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 233 Episodes
Comments
mom D'ana
bohong kamu Bima.....sepertinya Bima seorang pecandu 🤔
2023-04-15
1
Dede Dahlia
hadeuh kenikmatan sesaat apa sih 🤔
2022-12-23
0
Fiera
rahasia Bima masih menjadi misteri
2022-10-10
0