Bima melangkah masuk ke dalam rumah tanpa memperdulikan istrinya yang mengekor di belakang masih dengan wajah tertunduk. Sesampainya di kamar utama Bima langsung masuk ke kamar mandi.
Viona berusaha menahan isakannya agar tidak sampai terdengar, dadanya terasa sesak, ia bahkan sampai melupakan hal penting yang ingin disampaikannya karena bentakan Bima tadi.
Viona meletakkan tas suaminya, kemudian ia menyiapkan piyama untuk Bima. Setelah selesai, ia naik ke atas tempat tidur dan berbaring miring membelakangi tempat biasa Bima berbaring.
Viona menangis dalam diam, karena jika sampai ketahuan menangis Bima akan semakin murka. Seyogyanya orang yang menangis itu di tenangkan dan diberi penghiburan bukan? Tetapi lain halnya dengan Bima, jika Viona menangis maka dia akan membentaknya dan mengatainya cengeng.
Viona sudah hampir jatuh tertidur, Bima yang baru saja selesai mandi malah menggerayangi tubuhnya dan mengendus-endus lehernya, Viona sangat tahu bahwa Bima sekarang sedang berhasrat kepadanya.
Viona ingin menolak, tetapi jika menolak ajakannya untuk bercinta sudah dipastikan Bima akan naik pitam dan membuat suasana di rumah ini menjadi semakin tidak nyaman. Viona menguatkan hati, menahan dirinya untuk tidak menangis dan membiarkan Bima mencumbuinya, padahal ia sama sekali tidak bernafsu, hatinya masih terasa perih dengan perlakuan Bima di garasi tadi.
*****
Menjelang waktu subuh Viona kembali muntah-muntah dengan hebatnya, morning sickness ini sungguh menguras energinya, Bima yang masih terlelap ikut terbangun karena suara berisik dari kamar mandi.
"Vi, kamu kenapa lagi sih? Masa masih masuk angin? Kemarin kan sudah kubilang beli obat ke apotek!" Bima bicara dengan nada kesal sambil berdiri di ambang pintu, sedangkan Viona masih berjongkok di depan closet.
Setelah mualnya sedikit mereda dia menekan tombol flush dan membasuh mulutnya di wastafel.
"Aku sudah ke apotek, tapi ternyata aku bukan masuk angin, Mas." Viona melangkah mendekati suaminya dan mengajaknya duduk di tepi tempat tidur, lalu mengambil test pack yang sudah dipakainya kemarin.
"Ini, Mas. Aku mual-mual karena ini, aku hamil." Viona menyerahkan benda pipih itu pada Bima.
"Kamu ... kamu hamil?" tanya Bima dengan raut wajah datar.
"Iya, Mas. Aku sedang hamil anakmu, anak kita," jawab Viona sambil tersenyum manis penuh sukacita.
Bima terdiam, ekspresi wajahnya tidak terbaca, kemudian menaruh test pack tersebut di nakas.
"Oh, hamil rupanya, ya sudah nanti siang kita ke dokter kandungan, nanti kuantar." Bima mengulas senyum tipis.
"Iya, Mas. Makasih."
Viona tersenyum senang, ini adalah pertama kalinya Bima mau mengantarnya ke dokter, karena selama ini jika Viona sakit Bima tidak pernah mau mengantarkannya dengan alasan dia tidak suka rumah sakit karena takut tertular penyakit dari pasien-pasien yang sedang berobat di sana. Biasanya Viona pergi diantar sopir atau naik angkutan umum karena tidak bisa mengemudi sendiri.
Viona mengabari orang tuanya tentang kehamilannya, ia juga mengirim pesan pada ibu mertuanya, mereka semua menyambut gembira kabar kehamilannya, kecuali suaminya yang nampak cuek saja seperti tidak ada yang istimewa.
Namun, Viona tetap berprasangka baik kepada Bima, mungkin saja suaminya itu memang tipe orang yang tidak bisa mengekspresikan perasaannya.
*****
Pukul tiga petang, Bima menjemput Viona dan mengantarnya ke dokter kandungan. Di klinik dokter kandungan pasien yang datang cukup banyak, Bima terlihat mulai kesal karena harus mengantri cukup lama untuk bertemu dengan dokter. Viona mengigit bibirnya dan meremas tangannya sendiri lantaran resah saat melihat raut wajah suaminya, mengingat tempramen Bima yang tidak sabaran dan cepat naik darah, ia takut amarah Bima meledak saat ini juga.
Setelah 45 menit menunggu kini giliran Viona yang dipanggil. Ia masuk ke dalam ruang praktek ditemani Bima, dokter memintanya untuk berbaring, kemudian memeriksanya dengan seksama dan juga melakukan prosedur USG terhadapnya.
"Selamat, Pak. Istri anda sedang mengandung, usianya sekitar enam minggu, mungkin di monitor belum begitu terlihat karena ukurannya yang masih sangat kecil." Dokter menerangkan pada Bima sambil menunjuk ke arah layar monitor dan ekspresi Bima hanya datar saja.
"Tapi, kenapa istri saya muntah-muntah terus Dok? Dan juga terlihat sangat lemas?" tanya Bima.
"Itu hal yang wajar Pak, di trimester pertama saat pembentukan plasenta berlangsung, biasanya si ibu mengalami mual dan muntah. Nanti saya akan meresepkan obat untuk mengurangi mual muntah juga vitamin untuk istri anda. Satu hal lagi perhatikan asupan nutrisinya, mual dan muntahnya memang akan sedikit mengganggu, cobalah tetap makan dengan porsi sedikit tapi sering agar perkembangan janin dan kondisi ibu tetap dalam keadaan baik." Dokter menjelaskan serinci mungkin.
"Baik, Dok," sahut keduanya. Setelah selesai mereka langsung ke apotek dan mengambil obat kemudian bergegas untuk kembali pulang.
Bima berjalan lebih dulu menuju parkiran, Viona yang mengekor di belakangnya segera menyusul mempercepat langkah lalu merangkul tangannya. Namun, tidak disangka Bima malah menepis tangan Viona.
"Vi, malu di lihat orang! Lagi pula kita ini sudah bukan anak muda lagi, jadi gak usah gandengan segala!" Lagi-lagi Bima membentak Viona.
Orang-orang di parkiran memperhatikan mereka berdua, Viona segera masuk ke dalam mobil untuk menghindari berpasang-pasang mata yang tertuju ke arahnya. Viona menunduk sedih, ia malu dan hatinya menyembilu karena diperlakukan seperti itu di depan umum oleh suaminya sendiri.
*****
Keesokan paginya Viona kembali muntah-muntah hingga tenggorokan panas dan sakit, kepalanya berdenyut dengan hebatnya, ia bahkan menyeret tubuhnya dari kamar mandi karena tidak kuat berdiri saking lemasnya.
"Vi sebenarnya obatnya kamu minum gak sih? Kok masih muntah-muntah aja? Terus masa cuma gara-gara muntah sampe nggak kuat jalan? Kamu harus kuat dong, aku ini harus kamu layani, sudah tugasmu sebagai istriku. Kalau kayak gini terus mana bisa kamu mengurus semua kebutuhanku!" Bima bukannya membantu Viona yang kepayahan, tetapi malah mengomelinya.
"Maaf, Mas. Badanku lemes banget, aku sudah meminum obatnya, tapi kemarin dokter juga menjelaskan bahwa itu hanya mengurangi mualnya bukan mengobati," sahutnya dan disusul suara isakan yang tertahan. Bola matanya mulai menggenang, Viona sudah tidak bisa mengendalikan air bening itu dan akhirnya jatuh berderai membasahi pipinya.
Bukannya menghibur istrinya atau menyeka air matanya, Bima malah makin menaikkan nada bicaranya beberapa oktaf melihat wajah basah Viona.
"Kamu kok malah nangis sih, cuma dibilangin kayak gitu aja udah nangis, dasar manja!" bentaknya.
Bima berlalu keluar begitu saja meninggalkan Viona yang masih terduduk di lantai, lalu terdengar suara deru mesin mobil yang dihidupkan. Sepertinya Bima pergi meninggalkan rumah lagi. Seperti biasa, jika Viona menangis, Bima pasti naik pitam dan akan langsung pergi tanpa pamit setelah memarahi istrinya.
Viona menangis sesenggukan dengan pilu, tempramen Bima ternyata tidak berubah walaupun kini ia tengah hamil, atau mungkin dia harus lebih bersabar sedikit lagi pikirnya. Tetapi, apakah ia mampu? Tanyanya dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 233 Episodes
Comments
Harri Purnomo Servis Kamera
kasihan viona lagi hamil lho itu. ngak peka ya si bima
2025-01-06
0
Mak sulis
pingin nutuk kepala bima biar nyadar kalo bumil itu pingin dimanja..gak peka banget
2024-01-04
2
Ibelmizzel
nyesak dadaku bacany,istri hamil bukan diperhatikan malah dibilang Maja😭😭😭😭😭😡😡😡😡
2023-03-23
0