"Anak-anak ibuk sekalian, tampaknya Mentari Raya Utami juga belum hadir hari ini, ya?" Guru itu bertanya usai mengabsen murid-muridnya di dalam kelas itu.
"Belum, Buk." Sahut sebahagian mereka dengan serentak.
Ya, sudah enam hari Mentari tidak masuk kelas tanpa keterangan.
"Ibu sudah mengirimkan surat kepada orang tuanya kemaren, Bagaimana jika hari ini kita pergi melihat keadaannya? Ibuk akan meminta izin kepala sekolah untuk itu." Usul guru mereka.
"Setuju, Buk." Diantara mereka saling menyahut dan menyetujuinya. Hanya Endro yang terlihat enggan untuk bicara, meski hatinya sangat ingin untuk itu. Menyetujui juga kata-kata gurunya untuk melihat bagaimana keadaan Mentari yang sebenarnya, agar dia tidak terus-terusan kepikiran dengan gadis usil itu.
Semenjak Mentari bolos sekolah, sejak itu pula pikirannya tidak berada di badannya. Dia sering melamun dan tidak fokus dengan kegiatan yang dilakukannya. Baik itu di rumahnya, maupun disekolahan.
Tok... Tok... Tok...
Suara ketukan terdengar dari pintu kelas mereka yang ternganga. Diskusi mereka terhenti ketika melihat sesosok gadis berpakaian putih abu-abu telah berdiri disana.
"Mentari?" Pekik mereka hampir bersamaan.
"Mentari? Ayo masuk, Nak." Panggil sang guru meminta gadis itu untuk masuk.
"Assalamu'alaikum..." Ucapnya dengan raut wajah yang tidak mengacuh.
"Wa'alaikumussalam..." Sahut penghuni kelas secara bersamaan.
Endro menatap bingung ke wajah pucat milik Mentari.
"Ada apa denganmu beberapa hari belakangan ini, Mentari? Kenapa kamu tidak masuk, dan tanpa keterangan pula?" Tanya guru ketika Mentari telah berdiri dan mencapai posisinya.
"Maaf, Buk. Saya kurang enak badan. Dan tidak ada yang sempat mengirimi surat." Jawabnya begitu datar.
"Lalu sekarang bagaimana? Apa kamu sudah lebih baik?" Tanya guru itu lagi tampak mengkhawatirkan dirinya.
"Saya sudah tidak apa-apa, Buk. Apa saya sudah boleh duduk? Saya merasa pegal..." Dia terlihat cuek.
"Iya, boleh." Guru itu seakan maklum dengan sikap Mentari yang dingin dan terkadang suka sekenanya.
Mentari melangkah ke tempat biasa dirinya duduk, di depan Endro. Namun, ketika dia hendak duduk, dia hampir tersungkur. Tubuhnya yang terlihat lemah, tiba-tiba sempoyongan.
Dengan tangkas, Endro bangkit dan menopang tubuh Mentari. Debaran itu kembali menguasai jantung mereka, saat mata mereka yang berjarak tidak beberapa senti itu saling beradu pandang satu sama lainnya.
Untuk ke dua kalinya, Endro kembali menapaki kejujuran di mata gadis itu, sehingga hatinya semakin perih dan tiba-tiba merasa iba dengan begitu saja.
"Ciiieee..." Sorak teman-teman sekelasnya menyadari mereka dari mabuk angan-angan yang menguasai perasaan dan pikiran mereka saat itu. Dengan sekuat tenaganya, mentari mendorong tubuh Endro. Wajahnya yang memucat, kembali berdarah dengan seketika.
Endro mengerinyitkan dahinya. Matanya sedikit menyipit ketika anak rambut Mentari tersibak. Di balik itu, matanya melihat dahi Mentari yang memar.
Mentari memasang wajah geram. Dia segera duduk di tempatnya. Dia sedikit menundukkan wajahnya untuk menyembunyikan yang sebenarnya, bahwa wajahnya itu terlihat merona dan salah tingkah.
Endro kembali duduk di tempatnya. Bukan sikap Mentari terhadapnya yang membuat dia terdiam. Tapi rasa sakit yang terlihat jelas di mata gadis itu.
"Eh Mentari..." Panggil salah seorang dari mereka. Mentari tidak menyahut. "Kenapa kamu tidak libur saja untuk satu hari ini lagi. Dengan begitu, kami dapat menjengukmu.
Mentari tetap tidak menyahut. Dia hanya mengabaikan ucapan temannya itu, yang kemudian disahuti secara beruntun dari teman-temannya yang lain untuk menyetujui ucapan temannya yang bertanya kebih awal terhadap dirinya.
"Sudah... Sudah... Kalian semua harusnya bersyukur, karena teman kalian telah kembali masuk seperti sedia kala. Kenapa kalian malah menginginkan Mentari tidak masuk?" Sang guru menengahi keributan yang terciota di kelas itu.
"Iya, Buk. Tapi kami ingin sekali kesana, dia itu penuh misteri, buk." Salah seorang dari mereka masih saja menyahuti dengan nada kecewa.
"Ya tetap saja, kalian tidak boleh begitu. Sekarang, buka buku pelajaran kalian. Sudah hampir dua puluh menit waktu belajar kalian tersita untuk ini." Perintah guru itu lagi, tanpa ada seorang pun lagi yang membantahnya.
Diam-diam, Endro terus saja mengawasi Mentari dari belakangnya.
Mentari memang terlihat fokus terhadap buku di hadapannya. Hanya saja, pikirannya terus membayangi wajah Endro yang sudah dua kali begitu dekat dengan wajahnya.
Entah rasa nyaman, aman, atau apa. Yang jelas, sangat mengganggu pikirannya.
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments
Fatonah
sdis bnget ortunya mntari
2021-05-06
1
Lina Susilo
kasihan melihat mentari seperti itu
2021-02-22
2
Aristi Tantri
pa mentari di pukul lg sm ortunya
2021-02-07
2