Pagi kedua Nummi berada disana, Endro kembali memenuhi janjinya terhadap gadis yang sudah dianggap putri kandungnya itu. Dia begitu senang melihat tingkah Nummi yang begitu ceria ketika mendapati pagi.
Bahkan, sedari rumah, Nummi terlihat begitu semangat untuk ikut bersamanya ke kebun. Tampak sekali dari raut wajah Nummi yang sangat kegirangan.
Sesampainya mereka di kebun teh, Nummi langsung meloncat turun dari mobil yang membawa mereka kesana. Dia berlarian dan menikmati suasana adem di kawasan itu.
Sesekali, Nummi menyapa setiap pekerja yang berpapasan dengan dirinya. Dan para pekerja sendiri tampak telah terbiasa dengan keramahan yang tersorot di mata gadis cantik itu.
Wajah cerianya menambah semangat para pekerja.
"Eh Neng Nummi?" Seru seorang pekerja wanita yang telah terlihat berusia lanjut. Senyuman mengembang di wajah milik orang tua yang menyapanya dengan ramah.
"Iya, Nek... Ini Nummi..." Sahutnya semakin memperdekat jarak diantara mereka.
"Kapan Neng datang?" Tanya wanita yang dipanggilinya Nenek.
"Hari Minggu kemaren, Nek. Nenek apa kabar?" Tanya Nummi seraya menyambut tangan wanita yang dipanggilinya Nenek.
"Alhamdulillah, Neng. Nenek sehat... Neng sendiri bagaimana?"
"Alhamdulillah, Nek. Nummi juga sehat..." Senyuman manis di wajah Nummi tak pernah pudar. Dia sudah terbiasa dengan orang-orang disana yang begitu menyayanginya dan menghormati orang tuanya.
"Ayah dan Bundanya Neng tidak ikut?" Tanya Nenek itu lagi. Meski mulutnya bersuara, namun tangannya tidak berhenti bergerak memetiki pucuk-pucuk hijau yang ada di depannya.
"Tidak, Nek. Ayah Bunda ada janji ke tempat saudara di kota lain. Nummi cuma sendirian kesini, naik bus..." Jawabnya semakin semangat. Dia terlihat begitu bangga.
Jika dia kembali mengingat, dia begitu senang dapat kesana dengan bus untuk pertama kalinya. Padahal Ayahnya sampai bersitegang dengan bundanya karena hal itu.
Ya, Arkhan begitu sangat mengkhawatirkan putri semata wayangnya itu. Dia sangat tahu, Ayah nya begitu karena mengingat perjuangan Bundanya untuk melahirkan dirinya dengan selamat.
"Nenek... Nummi jalan dulu, ya." Pamitnya.
"Iya, Neng. Hati-hati..." Sahut Nenek, dan diangguki kepala Nummi sambil mengiyakan pesan sang Nenek.
"Ah... Sudah lama juga aku tidak kesini..." Gumam Nummi ketika dirinya telah mencapai puncak kebun. Beberapa awan putih yang belum kunjung naik, membuatnya merasa berdiri dan mengambang di sana. Begitu indah dan menyejukkan.
Nummi berpijak di atas sebuah bongkahan batu besar yang tertancap kuat disana. Dia merentangkan kedua tangannya seraya memejamkan mata. Sedangkan wajahnya, dibiarkannya menengadah ke langit untuk menikmati hawa yang terasa menyegarkan tubuh dan pikirannya sekaligus.
"Sebegitu senangkah?" Endro menyusul keberadaan Nummi di puncak kebun itu, setelah menyapa para pekerja.
"Senang sekali, Om. Apalagi, ini sudah terlalu lama bagi Nummi tidak kesini. Tempatnya pun masih sama seperti dulu." Sahutnya tanpa mengubah posisinya.
"Turunlah... Nanti kamu jatuh, Nak." Pinta Endro lembut.
Nummi menghentikan semedinya. Dia menurut, dan turun dari batu besar itu. Kemudian menempatkan dirinya dengan duduk di akar batu.
Endro tersenyum. Dia semakin mendekati posisi Nummi. Pandangannya nanar, tampak luka yang terpancar dari manik hitam matanya.
"Apa sesuatu mengganggu pikiran, Om?" Tanya Nummi menghapus senyuman di bibirnya sendiri. Matanya mampu menangkap sekelabat kesedihan di mata lelaki itu.
"Disini, di tempat ini dulunya Om melihat Mentari menangis untuk pertama kalinya. Dulu, ini masih padang ilalang, Nak." Endro kembali memulai ceritanya.
Kali itu, bukan Nummi yang merengek. Tapi, tempat itu yang mengundangnya untuk kembali bernostalgia dengan masa silamnya itu.
Nummi terdiam. Dia telah menduga, bagaimana latar suasana yang tercipta dari sambungan cerita Endro.
Nummi hanya menunggu tanpa ingin bertanya, meski Endro menjeda ceritanya dengan waktu yang cukup lama.
"Sesuatu yang tidak Om duga sama sekali sebelumnya. Lelaki yang awalnya Om pikir ayah kandungnya, tega menyiksa dirinya disini. Sementara, ibu dan saudaranya hanya diam dan sesekali menyunggingkan senyuman sinis terhadapnya yang kesakitan akibat dipukuli dengan batang alang-alang.
Sementara Om, Hanya mampu bersembunyi di balik batu itu.
Om tidak tahu apa kesalahan yang dia perbuat, tapi Om menjadi yakin bahwa dialah Mentari yang di sebutkan Nini."
Endro kembali menatap kearah bawah, tempatnya dan Nummi duduk di atas bongkahan batu besar yang mereka duduki saat itu.
Pikirannya kembali melayang kepada masa-masa SMA.
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments
Fatonah
kasian mntari....
2021-05-06
1
Lina Susilo
apakah yg sebenarnya terjadi
2021-02-22
2
Aristi Tantri
pa mentari tu anak pungut ya 😬😬
2021-02-07
2