Mobilnya Sean memasuki halaman rumahnya, dia keheranan karena dihalaman rumahnya sudah berjejer beberapa mobil bagus. Dia juga melihat beberapa orang berseragam duduk-duduk di teras. Kalau melihat seragam yang dipakainya, sepertinya mereka supir-supir pribadi karena tidak semua orang memakai baju yang sama persis.
Di depan pintu Pak Roby menyambutnnya. Langkahnay terhenti saat mendengar hingar bingar suara music dari ruang tamu.
“Ada apa ini?” tanyanya pada Pak Roby.
“Nona Lorena membuka les privat biola,” jawab Pak Roby.
“Apa?” Sean sangat terkejut. Buru-buru dia masuk ke dalam rumah, matanya menyapu keseluruh ruangan. Tampak anak anak perempuan seumuran Sekolah Dasar sedang belajar biola, Lorena sedang mengajari salah satu anak putri itu.
Wajah Sean langsung berubah merah padam, dia sangat marah rumahnya jadi berantakan dan bising. Diapun berjalan mendekati Lorena dan menarik tangan wanita itu dengan keras.
“Ayo ikut aku!” ajak Sean, sambil berjalan menuju tangga ke lantai atas.
“Apa apa?” tanya Lorena, terkejut Sean tiba-tiba menarik tanganya. Pria itu memegang tangannya dengan kuat, membuatnya mengikutinya naik ke atas. Sean menghentikan langkahnya di lorong pemisah dua kamar mereka itu. Kemudian melepaskan tangan Lorena dan menatap wanita itu dengan tajam.
“Jelaskan padaku, ada apa ini?”tanya Sean.
“Ada apa ini apa?” tanya Lorena, menatap pria itu sambil mengusap usap tangannya yang sakit akibat pegangan tangan Sean yang kencang.
“Itu, anak-anak yang bermain biola itu!” jawab Sean dengan ketus.
“Oh itu…mereka les privat biola,” jawab Lorena dengan santai.
“Iya aku juga tahu. Maksudku,kenapa ruang tamuku kau pakai untuk les privat?” tanya Sean.
“Karena aku membutuhkan uang. Aku tidak punya KTP untuk bekerja dikantoran, jadi aku mencari uang dengan keahlianku, bagus kan? Bayaran di restaurant tidak banyak,” jawab Lorena.
“Tidak bagus!” bentak Sean.
“Tidak bagusnya dimana?” tanya Lorena.
“Tentu saja rumahku menjadi berantakan dan bising!” jawab Sean.
“Aah cuma beberapa jam saja, jam 9 malam juga selesai,” jawab Lorena.
“Apa? Jam 9 malam?” tanya Sean, terkejut.
“Iya, jam 7 malam ada cloter ke 2, anak-anak yang agak besar, SMP,” jawab Lorena.
Sean bertolak pinggang, menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kau ini benar-benar parasit ya. Kau membuat kacau rumahku! Apa kau tidak mengerti juga?” bentak Sean.
“Tentu saja tidak. Jam 9 sudah pada pulang, kacau bagaimana?” kata Lorena.
“Kau membuat rumahku berisik!” teriak Sean.
“Kau pasang kapas saja ditelingamu,” jawab Lorena sambil memegang dua telinga Sean, membuat Sean semakin kesal, dan menepis kedua tangan Lorena dari telinganya.
Lorena menatap Sean yang memberengut marah.
“Dengar, konteskan membutuhkan waktu lama. Satu lomba saja bisa berhari-hari, aku harus bertahan hidup selama di kota besar ini, jadi aku harus mencari uang, kau mengerti tidak?” kata Lorena.
“Kalau tidak punya uang, kau pulang saja ke rumahmu!” bentak Sean.
“Ya tidak bisa, aku harus memenangkan kontes ini,” jawab Lorena.
“Kau lolos memasak karena factor keberuntungan. Tidak dengan lomba-lomba yang lain, mencuci, menggosok pakaian juga outbond dan kesenian, kau tidak akan bisa lolos, sainganmu sangat banyak,” kata Sean.
Lorena menepuk nepuk dada kanannya Sean, pria itu menepisnya, apaan lagi wanita ini menyentuh dadanya segala.
“Dengar ya, jadi orang jangan suka iri-an. Kau hanya asisten ya sisten saja, tidak usah sok sok mengatur seakan-akan kau Presdirnya. Kau lihat saja nanti hasil lombanya. Kau ingin melihat Pak Sam jatuh cinta padaku kan? Dia sudah menyukai pasakanku, nanti juga dia akan menyukai yang lainnya,” jawab Lorena.
“Apa? Iri? Buat apa aku iri? Tidaaak, itu bukan sifatku! Aku hanya mengingatkanmu supaya jangan mimpi terlalu tinggi! Presdir tidak akan menyukaimu!” kata Sean dengan tegas.
“Heuueh, kau ini membuatku kesal saja!“ gerutu Lorena. Sean tertawa mendengarnya.
“Apa? Kesal? Aku yang kesal!” bentaknya dengan keras.
“Aduuh sudahlah aku tidak mau bertengkar denganmu. Kalau berisik dengan suara musicnya, tutup telingamu dengan kapas,” kata Lorena lagi, sambil membalikkan badannya meninggalkan Sean yang berdiri masih dengan marahnya.
Baru juga beberapa langkah, Lorena balik lagi.
“Atau jangan-jangan kau mau dibagi dua penghasilan privatku?” tanya Lorena.
“Huh, dibagi dua? Hasilnya juga aling berapa?” ejek Sean.
“Ya sudah kalau tidak mau,” jawab Lorena, kembali meninggalkan Sean.
Sean masuk ke kamarnya dan menutup pintu kamarnya dengan keras. Brugh!!
Dia menghempaskan tubuhnya ke kasurnya. Ditutupnya telinganya dengan bantal-bantal. Suara music itu benar-benar mengganggunya. Mending kalau Lorena yang memainkan biola saat menjelang tidur, suaranya merdu, ini boro-boro merdu, namanya juga anak-anak yang belajar, yang ada malah suara juwit lagi juwit lagi yang tidak jelas nadanya.
Sean kembali duduk ditempat tidurnya. Kehadiran wanita itu benar-benar membuat rumahnya kacau balau.
Hingga tiba malam hari, saat makan malampun Sean masih mendengar music yang berisik dan tidak mengenakkan. Dia makan dengan raut wajah cemberut karena kesal. Pak Roby berdiri tidak jauh dari dia duduk.
Sean melihat meja makan, meneliti menunya. Kenapa dia menjadi trauma makan di rumahnya sendiri.
“Ini siapa yang masak?” tanyanya pada koki yang menghidangkan makanan tambahan ke meja.
“Saya Pak,” jawab koki, Sean mengangguk. Dia tidak mau makan pasakannya Lorena, si wanita yang membuat kebisingan di rumahnya ini.
Diapun makan sendiri tanpa Lorena. Kini dia mengerutkan dahinya, kenapa wanita itu tidak makan bersamanya?
Pak Roby seperti mengerti apa yang difikirkan Sean, dia langsung memberi laporan.
“Nona Lorena makan nanti setelah lesnya selesai,” kata Pak Roby. Sean hanya diam saja.
Setelah makan, Sean menyempatkan diri mengintip ke ruang tamu. Sekarang peserta lesnya anak-anak remaja. Dia memperhatikan wanita itu dibalik pintu. Terlihat wanita itu dengan sabarnya mengajarkan anak-anak remaja itu satu persatu, tidak ada gurat-lelah atau kesal, padahal anak-anak itu salah terus mengesek biolanya, suara berdecit- decit yang membuat pendengarannya terganggu dan ingin marah-marah. Tidak dengan Lorena. Meskipun salah, dia masih bisa tersenyum dan kembali mengulang pelajarannya.
Ada perasaan bersalah di hatinya. Apakah dia terlalu keras pada wanita itu? Mungkin memang wanita itu tidak bermaksud mengganggunya, tapi tidak ada jalan lain yang bisa dilakukannya mencari uang tanpa identitasnya di kota besar ini. Kenapa dia tidak memahami keadaannya?
Sean merasa heran, kenapa Lorena bisa begitu sabar mengajar, tapi dengannya selalu bertengkar? Apa ada yang salah dengan hubungan mereka?
“Apakah Bapak mau belajar bermain Biola?” tiba-tiba suara Pak Roby menggetkannya.
“Tidak, buat apa?” jawab Sean, lalu meninggalkan Pak Roby yang hanya tersenyum, matanya melihat kearah ruangan tempat les biola itu.
Sean masuk ke kamarnya, tidak ada yang dilakukannya hanya beruling-guling dikasur sambil menonton TV. Suara berisik berdecit-decit itu mulai hilang dari pendengarannya. Kemudian terdengar suara-mobil mobil meninggalkan rumahnya. Sepertinya lesnya sudah selesai. Suasanapun menjadi hening.
Terdengar suara langkah dilorong sebelah kamarnya.
“Nona akan makan sekarang? Makanan akan disiapkan,” terdengar suara Pak Roby.
“Tidak, aku tidak lapar, aku ingin tidur saja,” jawab Lorena.
Kemudian terdengar suara pintu ditutup dengan pelan. Tumben sekali wanita itu tidak membanting pintu kamarnya, membuat Sean keheranan. Tidak berapa lama terdengar suara biola dikamar sebelah. Wanita itu bermain biola melankolis, yang biasa didengarnya kalau mau tidur.
Mendegar alunan music biola itu membuat Sean lama-lama menguap dan tertidur. Tapi tengah malam tiba, tubuhnya terasa panas dingin, badannya menggigil padahal suhu tubuhnya sangat panas. Diapun terbangun, kepalanya terasa sangat berat. Dengan perlahan berjalan keluar kamarnya.
“Pak! Pak Roby!” teriaknya, tapi ternyata teriakannya sangat lemah.
“Pak! Pak Roby!” teriaknya lagi dari atas, sepertinya dia harus menuruni tangga, tapi kepalanya terasa pusing dan berputar-putar, Sean mencoba berpegangan pada tangga. Hampir saja dia terjatuh saat ada dua buah tangan menahan tubuhnya.
“Kau kenapa?” terdengar suara perempuan yang lambat laun menghilang dari pendengarannya.
“Sean! Sean!” panggil Lorena, menepuk nepuk pipi Sean yang terasa sangat panas.
Tadi Lorena mendengar seseorang memanggil pak Roby malam-malam, jadi dia penasaran dan mengintip dibalik pintu, ternyata dia melihat Sean berjalan berpegangan mau menuruni tangga, saat tubuh itu akan terjatuh, buru-uru Lorena berlari menahan tubuhnya jangan sampai terjatuh, pria itupun pingsan.
Pak Roby terlihat datang terburu-buru, dan masih mengantuk. Dia terkejut melihat Lorena memeluk Sean diatas tangga.
“Pak Roby! Cepat bantu! Sean pingsan! Sepertinya dia sakit, tadi dia mencarimu!” teriak Lorena.
Pak Roby buru-buru naik ke atas membantu Lorena membawa Sean kembali ke kamarnya.
“Pak Sean hanya kelelahan. Dia terlalu capek, jadi harus beristirahat beberapa hari,”kata dokter yang malam –malam bersedia datang setelah Pak Roby menelponnya. Setelah memberikan resep, Dokter itu kembali pulang.
Lorena menatap wajah Sean yang pucat, dia merasa bersalah telah membuat rumah berisik padahal mungkin Sean pulang dalam keadan lelah dan ingin istirahat. Diapun menoleh pada pak Roby.
“Biar aku yang merawatnya, pak Roby istirahat saja,” kata Lorena.
“Biar saya saja, Nona!” tolak Pak Roby.
“Tidak apa-apa, pak Roby kan banyak pekerjaan besok. Lagipula ini pasti karena ulahku, dia tidak bisa istirahat karena suara berisik music,” jawab Lorena.
“Baiklah,” kata Pak Roby, akhirnya mengangguk.
“Ngomong-ngomong orangtuanya ada dimana Pak? Dia tinggal sendirian?” tanya Lorena jadi ingin tahu.
“Ayahnya sudah meninggal, ibunya sangat sibuk, tinggal di luar negeri,” jawab Pak Roby. Lorena tidak bicara lagi. Pak Roby meninggalkan ruangan itu.
Lorena duduk disamping tempat tidur dan mengompres keningnya Sean. Tubuh pria itu masih sangat panas, dia demam tinggi. Ditatapnya wajah itu. Kasihan sekali dia tinggal sendirian, fikirnya.
**************
Keeseokan harinya.
Sean membuka matanya perlahan, kepalanya terasa pusing, penglihatannya berputar putar. Ada sebuah kompresan menempel di kepalanya. Dipegangnya kompresan yang masih terasa basah itu.
“Pak Roby!” panggilnya tapi tidak ada yang menyahut.
“Pak Roby!” panggilnya lagi. Terdengar suara langkah memasuki kamarnya.
“Pak, anda sudah sadar?” tanya Pak Roby, menghampiri Sean yang terbaring ditempat tidur.
“Aku kenapa?” tanya Sean.
“Bapak pingsan semalam, sudah diperiksa Dokter,” kata Pak Roby.
“Aku pingsan?” tanya Sean.
“Iya, untung nona Lorena menahannya supaya Bapak tidak jatuh ke tangga,” jawab Pak Roby.
Sean terdiam, dia mengingat ingat kejadian semalam, ya dia sangat pusing semalam dan hampir jatuh tapi seseorang menangkapnya, ternyata wanita dikamar sebelah yang menolongnya.
Tiba-tiba matanya tertuju pada sofa yang ada ada dikamarnya. Seseorang tidur meringkuk disana. Pak Roby seperti tahu apa yang difikirkan Sean.
“Semalaman nona Lorena yang mengompress, menunggui Bapak,” jawab Pak Roby, membuat Sean terkejut. Si wanita yang suka bertengkar dengannya itu melakukan itu semua? Rasanya tidak percaya.
***********
Jangan lupa like vote dan komen
Baca juga karya author yang lain
- “Billionaire Bride”
- “My Secretary 3” Always Loving You (Jodoh yang tertukar)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 254 Episodes
Comments
tatik mufidah
baguus alurnya
2022-02-24
0
Retnoendang Tri
ku kira salah tuliasanya masakanya,jadi pasakanya,eh gak tauya memang pasakanya,bahasa asal mana sih itu,??? ......
2021-12-05
0
widya nindya
seruu
2021-06-14
0