Lorena menatap Sean dengan tajam.
“Kenapa kau tega padaku!” teriak Lorena, dia sangat marah pada Sean yang dia kira asisten Presdir itu.
Mendapat teriakan dari Lorena membuat Sean terkejut. Dia tidak menyangka wanita itu akan semarah itu.
“Aku berhak mengdiskualifiaksi siapapun peserta kontes,” kata Sean dengan tegas.
“Tapi tidak dengan cara seperti ini! Kontes bahkan belum dimulai tapi kau sudah tidak meloloskanku? Tega sekali kau!” teriak Lorena.
Sean tertegun, dia masih kaget mendapat makin dari Lorena.
“Aku punya hak untuk menilai siapa yang lulus atau tidak,” kata Sean, dia pun mulai naik darah.
“Siapa kau? Kau hanya asisten. Peserta kontes akan menikah dengan Presdirnya bukan asistennya!” kata Lorena masih dengan nada tinggi.
Lagi-lagi Sean tertegun, wanita ini tidak tahu kalau pemeneng kontes itu akan menikah dengannya bukan dengan Sam.
“Aku tidak terima kau mendiskualifikasikan aku! Apa salahku? Lomba saja belum dimulai, kau tidak sportif,” kata Lorena lagi.
Mendengar perkataan lorena membuat kepala Sean pusing. Ternyata kontes ini tidak semudah yang di bayangkan. Dia harus berurusan dengan wanita yang tidak jelas ini.
“Dengar, aku tidak terima ini! Kalau kau tidak suka padaku, jangan libatkan kontes itu! Kalau aku menang aku bukan menikah denganmu, tapi dengan Pak Sam. Kenapa kau yang repot?” kata Lorena.
Sean masih terdiam, menatap wanita cantik yang sedang marah-marah itu. Melihat mata yang mengerjap ngerjap dengan bulu matanya yang lentik.
“Aku datang jauh-jauh dari luar kota, dengan tasku yang dijambret, tidak punya uang sepeserpun, bahkan uang taxi pinjam dari Pak Polisi, rumah kontrakanku ternyata kau yang tempati, dan tiba-tiba aku diskualifikasi sebelum kontes mulai? Yang benar saja? Aku punya pengharapan besar dengan kontes ini! Aku ingin menemukan pria yang benar-benar bisa menjadi pendamping hidupku, kau mengerti? “ kata Lorena panjang lebar.
Sean mengela nafas panjang, mendegar ocehan wanita itu. Lalu diapun mulai bicara.
“Dengar, apa menurutmu dengan segala keluh kesahmu itu jadi kau harus diloloskan begitu? Banyak yang lebih menderita darimu! Yang berekonomi kekurangan mengharapkan merubah hidupnya dengan mengikuti kontes ini. Status ekonomi tidak penting, yang penting dia bisa lolos dalam kontes ini,” kata Sean, menghentikan kata-katanya sebentar kemudian bicara lagi.
“Dan yang lebih penting bisa membuat Presdirnya jatuh cinta,” lanjut Sean, mengucapkan kata terakhir dengan lirih.
Lorena masih menatap pria itu dengan tajam.
“Terus kamu fikir aku hanya memikirkan ekonomi saja begitu? Aku berharap Pak Sam juga mencintaiku, aku ingin menikah dengan pria yang aku cintai juga!” kata Lorena.
Sean terdiam mendengar ucapan Lorena.
“Aku benci padamu, Sean!” ucap Lorena tiba-tiba, lalu beranjak meninggalkan Sean dan segera masuk ke kamarnya, menutup pintu kamarnya dengan keras.
BRUGH!!
Sean hanya menatap wanita itu menghilang dibalik pintu. Akhirnya diapun masuk ke kamarnya. Duduk di pinggir tempat tidur.
Tidak lama kemudian terdengar suara biola dari kamar sebelah, kini biola itu menyanyaikan lagu melankolis yang sedih.
“Apa dia sedang bersedih?” gumam Sean, sambil mendengarkan music biola itu.
Apa yang harus dilakukannya pada wanita itu? Apa dia terlalu berlebihan mendsikualifikasinya? Tapi bukankah dia harus tegas, karena banyak peserta yang seperti wanita itu, dan dia harus benar benar menyeleksinya.
Apa kata wanita itu tadi? Dia ingin Sam jatuh cinta padanya? Dia ingin menikah dengan pria yang dia cintai?
Masih terngiang ngiang perkataan wanita itu di telinganya.
Wanita itu juga mengatakan benci padanya. Ini pertama kalinya ada yang mengatakan itu padanya. Selama hidupnya, dari masa remaja sampai sekarang, tidak dengan kejadian tadi, tidak ada wanita yang tidak menyukainya, bahkan itu juga yang membuatnya tidak tahu apa itu jatuh cinta, karena dia terbiasa mendapatkan wanita dengan mudahnya.
Malam itupun saat makan malam, Sean makan sendirian, wanita itu benar-benar tidak keluar dari kamarnya.
************
Keesokan harinya, Sean sarapan di meja makan masih sendirian. Kemana wanita itu?
Saat akan berangkat bekerja, dia bertanya pada pak Roby.
“Wanita itu sudah pergi?” tanya Sean.
“Pagi ini belum keluar dari kamarnya,” kata Pak Roby.
Sean terdiam, ada apa dengan wanita itu? Tapi tidak ada kata yang dia ucapkan, diapun berangkat bekerja.
Sesampainya di kantor, Sam menyimpan banyak sekali berkas di mejanya, sampai menggunung.
“Apa itu?” tanya Sean.
“Fortpolio pendaftar kontes yang sudah diseleksi administrasi, tapi baru hari pertama, sekarang masih dibuka pendaftarannya,” kata Sam.
“Sebanyak ini?” tanya Sean, sambil menatap tumpukan berkas itu.
“Iya. Kontesnya kan belum dimulai, barangkali kau akan menemukan wanita yang menggetarkan hatimu hanya melihat dari foto saja. Aku takutnya ternyata wanita yang kau suka tidak lolos dalam kontes. Jadi lebih baik kau cek dulu, mana yang kira-kira kau sukai, nanti aku tandai siapa-siapanya, supaya buat pertimbangan jika ditiap tes nya ternyata tidak lulus,” kata Sam.
Sean duduk dimeja kerjanya, menatap tumpukan formulir itu. Pekerjaan yang benar-benar tidak dia sukai.
Sean melihat lembar pertama, cantik. Tapi disimpannya di sisi meja yang lain. Lembar kedua, cantik. Disimpan lagi disisi meja yang lain. Begitu terus menerus, hingga sudah setengahnya tumpukan itu berkurang di mejanya.
Sam yang sedari tadi duduk di sofa dengan perkerjaanya yang lain, menatapnya.
“Apa itu? Tidak ada satupun yang kau suka?” tanyanya mengampiri meja Sean.
“Entahlah, mereka biasa saja,” kata Sean. Sam mengambil salah satu yang tadi dilihat Sean.
“Ini cantik, ini juga cantik, kau yakin tidak menyukainya?” tanya Sam keheranan.
“Biasa saja,” jawab Sean, sambil mengambil lagi formulir yang lain.
Sam menatap Sean.
“Sean!” panggil Sam.
“Ada apa? Bicara saja,” kata Sean.
“Apa jangan-jangan kau mempunyai kelaian?” tanya Sam. Sean langsung menatapnya dengan tajam.
“Sorry sorry, aku..aku hanya mengungkapkan isi hatiku, karena pendaftar sebanyak ini tidak ada yang kau suka, aku bingung,” kata Sam.
Sean kembali melihat formulir itu.
“Kalau saja bukan karena wasiat kakek, aku tidak mau kontes kontes begini,” keluhnya. Menyimpan formulir itu dengan keras ke atas meja.
Sam duduk di depannya. Dia juga merasa kasihan pada Sean. Disaat banyak orang yang susah karena kekurangan ekonomi, justru Sean merasa susah karena kelebihan ekonomi.
“Bagaimana dengan wanita-wanita itu yang kau diskualifikasi itu? Sudah aku pisahkan 5 orang,” kata Sam.
“Apa? 5?” tanya sean, seakan tidak percaya.
“Iya, 4 orang yang kau sebutkan namanya, dan satu orang yang satu rumah denganmu, wanita yang saudara jauhmu itu,” kata Sam.
Sean tampak berfikir sejenak.
“Tidak, tidak, yang wanita itu jangan dulu didiskualifikasi,” kata Sean.
“Yang mana?” tanya Sam.
“Yang ada dirumahku, yang menyebutku Brother, sangat menyebalkan!” kata Sean.
Sam malah tertawa. Diapun menuju mejanya dan mengambil formulir yang ada di mapnya, diberikan pada Sean.
“Nih, namanya Lorena, aku memisahkan formulirnya, karena aku tidak setuju kau mendiskualifikasikannya. Dia sangat berbakat,” kata Sam.
Sean menatap Sam.
“Kau menyukainya?” tuduh Sean.
“Dia sangat menarik menurutku, dia cantik, dia pintar, dia juga pandai bermain alat music, itu akan bagus ditampilkan di ajang aktualitas diri nanti,” jawab Sam.
“Hei, yang mau menikah dengan pemenang kontes adalah aku, bukan kau,” kata Sean, mengingatkan.
“Tapi aku penyeleksinya, tentu saja sesuai dengan penilaianku. Kalau mengikuti penilaianmu, tidak akan kelar-kelar. Sebanyak ini saja tidak ada yang kau pilih, gagal kontes ini tidak akan ada pemenangnya kalau begitu,” bantah Sam.
Sean meremas rambutnya dengan kesal. Sam benar, dari sebanyak peserta tidak ada satupun yang dia suka. Kontes ini akan gagal.
Sean mengambil formulir yang tadi diberikan oleh Sam. Wanita di sebelah kamarnya namanya Lorena Ayala. Dia baru tahu nama wanita tidak berKTP itu Lorena.
“Sean! “ panggil Sam, membuatnya menatap Sam, tidak melanjutkan membaca formulirnya Lorena.
“Pendaftaran kan ditutup besok, untuk tes awal kita akan ada wawancara dulu dengan peserta, kau mau ikut melihat?” tanya Sam.
“Berarti lusa ya, kapan jadwal si wanita ini?” tanya Sean, sambil mengacungkan berkas Lorena.
“Belum tahu, nanti aku kasih tahu jadwalnya,” kata Sam.
Sean hanya terdiam.
“Dia membuat ulah dirumahmu,” tanya Sam.
“Dia sangat menyebalkan!” gerutu Sean.
“Benarkah? Tapi dia sangat manis dan lemah lembut,” ucap Sam, sambil mengerutkan keningnya.
“Lemah lembut darimana? Dia bahkan membentakku, mengatakan benci padaku gara-gara aku akan mendiskualifikasinya,” sanggah Sean.
“Kau sih, acara belum dimulai main diskualifikasi saja, ya dia marahlah,” ucap Sam.
“Tapi aku kan presdirnya, aku yang akan menikah dengan pemenang kontes ini. Aku tidak mau dia menang dan menikah dengannya, jangan sampai,” kata Sean.
Sam memijat-mijat keningnya yang seketika langsung pusing. Dengan sikap Sean yang seperti itu, akan sangat sulit meloloskan peserta, mungkin bagi Sean peserta tidak akan ada yang lolos satupun, dan kontes ini akan gagal.
Tok tok tok.
Terdengar suara pintu diketuk.
“Maaf Pak, sudah ditunggu diruang rapat,” kata sekretaris Sean.
“Ya,” jawab Sean. Diapun bangun, melirik pada Sam.
“Terserah kau saja, aku tidak mau melanjutkan melihat, kepalaku pusing,” kata Sean, lalu keluar dari ruangan itu. Sam menatap tumpukan formulir itu, dia kembali menarik nafas panjang. Mungkin kalau ditahap wawancara, akan ada peserta yang Sean suka, fikirnya.
Sore harinya…
Sean pulang seperti biasa disambut oleh pak Roby yang telah membukakan pintu untuknya. Tapi ada yang beda saat dia menginjakkan kaki ke dalam rumah itu. Semua pelayannya berkumpul disana, seperti sedang menonton sesuatu.
“Ada apa?” tanyanya pak Pak Roby. Tapi sebelum pak Roby menjawab, dia bisa mendengar suara dentingan piano yang indah. Ternyata semua pelayan di rumahnya sedang mendengarkan permainan piano seseorang. Siapa seseorang itu? Sean menatap pemain piano itu. Wanita itu, wanita itu sedang memainkan piano dengan indahnya. Dia terpesona mendengar permainannya. Tenyata benar kata Sam, dia memiliki keahlian di banyak alat music. Diapun berdiri sampai permainan piano itu selelsai. Terdengar tepuk tangan meriah dari semua pelayannya. Mereka sangat kagum pada permainan pianonya Lorena.
Lorena bangun dari kursinya, berjalan kesamping Piano lalu membungkuk memberi hormat, dia tersenyum senang pada yang telah menguplouse penampilannya. Tapi raut mukanya langsung cemberut saat melihat sang tuan rumahpun sedang menonton permainan pianonya.
Melihat reaksi Lorena yang berubah, membuat para pelayan menoleh ke belakang dan ternyata majikan mereka sudah pulang. Merekapun terkejut dan langsung bubar. Temasuk Lorena, dia malas bertemu pria itu, diapun langsung naik ketangga menuju kamarnya. Terdengar bunyi Brughh! Suara pintu ditutup dengan keras.
Sean menoleh pada piano tadi. Kenapa dia tidak memperhatikan kalau dirumah itu ada piano? Diapun masuk ke kamarnya, mandi, berganti pakaian, lalu merebahkan dirinya di tempat tidur, beristirahat sebentar.
Saat makan malam, diapun sendirian, wanita itu tidak ikut makan. Ah masa bodoh, kenapa harus memikirkannya makan malam atau tidak, fikirnya.
Pak Roby seperti tahu apa yang difikirkan Sean, dia langsung bicara.
“Nona minta makan di kamar saja,” kata Pak Roby. Sean tidak menjawab.
Emang dia fikirin? Batinnya.
***************
Jangan lupa like, vote dan komen ya
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 254 Episodes
Comments
👑☘ɴͪᴏͦᴠᷤɪͭᴛͤᴀᷝ💣
aq blm dpt fell dr tikoh Lorena☺🙏🏻
2021-10-07
1
widya nindya
haha gemes aku
2021-06-14
0
Sulaeha Leha
kwek....kwek...kwek....
2021-06-11
0