Sore harinya…
Lagi-lagi Sean melihat pintu rumahnya sudah terbuka, Pak Roby berdiri disamping pintu menyambutnya dengan senyumnya yang ramah. Begitu masuk ke dalam rumah, semua pelayan sudah berkumpul di ruang tengah mendengarkan suara piano berdenting.
Diapun menghentikan langkahnya. Wanita itu sedang bermain piano dengan indah, sangat indah, tapi tidak indah buat Sean, dia masih teringat cueknya Lorena di restaurant itu, bahkan meliriknya pun tidak, boro-boro menyapanya. Apa dia tidak tahu kalau diantara orang-orang yang dimeja itu dia Presdirnya? Harga dirinya semakin jatuh saja.
Saat bermain piano, kepala Lorena yang tadi menunduk melihat tuts piano kini menatap kearah penontonnya, dan matanya langsung bertemu dengan mata pemilik rumah itu yang juga manatapnya.
Treeeeeeeeng!!!!
Lorena menekan semua tuts piano dengan sekali tekan, membuat semua penonton kaget dan menoleh ke belakang, ternyata majikan mereka sudah berdiri disana. Buru-buru pelayan-pelayan itu membubarkan diri, termasuk Lorena yang langsung menutup pianonya, dan pergi ke lantai atas.
“Apa-apan inI?” gerutu Sean dengan kesal. Dilihatnya wanita itu memasuki kamarnya dan…
Brugh! Pintu ditutup kencang. Sean sampai terbengong melihatnya, diapun menoleh pada Pak Roby.
Pak Roby menatapnya tidak mengerti.
“Kau tau dia bermain biola di sebuah restaurant?” tanya Sean.
Pak Roby mengangguk.
“Nona tasnya di jambret, jadi dia membutuhkan uang selama tinggal disini sampai kontesnya selesai, jadi dia melamar pekerjaan bermain biola di restaurant itu, tidak ada pekerjaan lain yang bisa dia lakukan karena tidak ada KTP dan identitas lainnya,” kata Pak Roby.
Seketika Sean tertegun mendengarnya. Wanita itu benar-benar serius mengikuti kontes tinggal di ibukota tanpa uang? Kenapa dia jadi merasa bersalah begini? Dengan gampangnya dia mengdiskualifikasi seseorang yang bahkan belum mengikuti lomba apapun, tanpa memikirkan perjuangnnya yang benar-benar mau ikut kontes menjadi istrinya. Apa? Istrinya? Tidak, tidak, dia tidak boleh menang di kontes itu. Repot kalau punya istri seperti dia, sudah bisa dilihat pasti dia akan selalu diatur atur wanita itu, dicereweti segala macam. Tapi apa dia harus secepat itu mendiskualifikasinya? Benar kata Sam, kita lihat hasil wawancara besok.
Lorena terduduk didepan cermin. Moodnya beberapa hari ini benar-benar hilang gara-gara pria itu mendiskulifikasi seenaknya. Apa dia harus benar-benar pulang saja?
Terdengar suara pintu diketuk beberapa kali.
“Ada apa pak Roby kekamarku?” gumamnya. Dengan malas diapun bangun dari duduknya dan membuka pintu kamarnya.
“Ada apa pak Rob?” Tanya Lorena, tapi dia terkejut saat melihat bukan pak Roby yang ada di depannya tapi Sean.
“Ada apa?” tanya Lorena.
“Aku cuma ngasih tahu kalau kau tidak jadi didiskualifikasi, kau ada jadwal wawancara besok,” kata Sean dengan nada yang lurus.
“Apa? Aku tidak jadi didiskualifikasi?” tanya Lorena tak percaya.
“Hem!” jawab Sean, pendek.
“Akhirnya, aku dapat kesempatan menjadi istri presdir juga!” seru Lorena. Membuat Sean memberengut
sebal.
“Aku Presdirnya, bukan Sam! Aku tidak mau kau jadi istriku!” batin Sean.
“Terimakasih Brother! Aku akan menghafal,” kata Lorena, sabil menepuk bahunya Sean beberapa kali.
Sean langsung mendelik mendengar dia disebut Brother lagi. Lorena langsung menutup pintu.
Brugh!
Sean sampai kaget karena dia masih berdiri dipintu. Tiba-tiba pintu terbuka lagi. Wanita itu kembali menatapnya.
“Apa kau tau kisi-kisi pertanyaan wawancara nanti?” Tanya Lorena. Sean langsung memberengut lagi.
“Tebak saja sendiri!” jawab Sean dengan ketus. Dikasih hati minta jantung, fikirnya. Sambil membalikkan badannya.
“Huh, pelit!” gerutu Lorena sambil kembali menutup pintu kamarnya.
Brugh! Lagi-lagi pintu ditutup dengan keras.
Membuat Sean kaget, kenapa wanita itu menutup pintu selalu keras? Bisa bisa jebol tuh pintu.
****************
Malam harinya saat makan malam, Lorena sudah ada dimeja makan tersenyum hangat pada Sean. Sepertinya dia sudah tidak marah lagi, batin Sean.
“Brother! Ayo kita makan!” seru Lorena,saat Sean masuk ke ruang makan.
Cih, Brother lagi! Gerutu dalam hati Sean, tapi mulutnya tidak bicara apa-apa, dia langsung duduk saja. Pelayan pelayan langsung sibuk mengisi piringnya Sean dengan menu makanan dan minum yang dipilihnya.
Lorena menatap Sean, yang mulai mengambil sendok garpunya.
“Brother! Besok kan aku wawancara, apa kau benar-benar tidak mau memberitahuku, pertanyaan apa saja yang akan diajukan?” tanya Lorena.
“Seperti biasa, wawancara umum saja,” jawab Sean, sambil makan makanannya.
“Wawancara umum?” Lorena mengerutkan adahinya, selama hidupnya dia tidak pernah di wawancara, karena dia menjalankan perusahaan ayahnya sendiri.
“Iya, apa kau tidak pernah di wawancara? Wawancara bisasa saja,” gerutu Sean, kenapa wanita ini sangat bodoh? Dia baru tahu kalau wanita ini sangat bodoh.
“Wawancara umum ditanya apa saja?” tanya Lorena lagi.
Sean menatapnya. Ini Wanita benar-benar bodoh atau pura-pura bodoh?
“Ya seperti biasa kalau melamar pekerjaan,” jawab Sean dengan ketus. Malas dia harus meladeni pertanyaan yang tidak berbobot, hanya buang-buang waktunya saja.
“Aku belum pernah diwanawancara,” kata Lorena. Dia tidak pernah memikirkan wawancara, karena dia tidak pernah melamar pekerjaan ke perusahaan lain.
Sean memberengut kesal. Tidak terbayang kalau dia memiliki istri bodoh seperti ini. Cantik sih cantik tapi bodohnya minta ampun. Sampai dia tidak habis fikir ini wanita memangnya sekolahnya lulusan apa? Wawancara saja tidak tahu. Wanita ini benar-benar bodoh, dia yakin tidak akan lulus wawancara. Syukurlah, jadi dia bisa pulang kampung segera, fikirnya.
Lorena menoleh pada Pak Roby yang berdiri tidak jauh dari mereka.
“Pak Roby! Wawancara biasanya menanyakan apa saja?” tanya Lorena.
“Seperti biasa nona, perkenalan diri,” jawab pak Roby.
“Masudku bukan itu, kalau itu aku tahu,” kata lorena sambil menoleh pada Sean yang juga menatapnya.
“Apa?” Tanya Sean dengan ketus.
“Maksudku pertanyaan khusus kontes ini. Pasti ada pertanyaan khusus kan? Maksudku kau pasti tau bocoran tujuan dari kontes ini, kau kan asistennya presdir, masa tidak tahu,” kata Lorena.
“Kemarin kan aku sudah katakan padamu,” ucap sean.
“Yang mana?” tanya Lorena.
Sean menatap wanita itu, menghentikan makannya.
“Kau punya keahlian apa untuk membuat Presdirnya jatuh cinta?” jawab Sean. Dia jadi ingin tahu apa jawaban wanita itu.
“Oh itu? Ya nanti aku jawab,” ucap Lorena, membuat Sean kesal.
“Aku mau kau jawab sekarang!” kata Sean dengan nada tinggi.
“Kau kenapa? Itukan rahasia, nanti jawabannya saat wawancara,” keluh Lorena, sambil mengunyah makanannya, membuat Sean semakin kesal. Hanya pertanyaan begitu saja dia harus tahu jawabannya menunggu wawancara besok segala. Benar-benar membuatnya kesal.
“Aku tahu kau tidak punya keahlian apa-apa, selain membuat jengkel orang lain,” ucap Sean dengan ketus.
Lorena langsung menghentikan makannya.
Sendoknya langsung dipukul pukulkan ke piring Sean yang duduk di hadapannya.
Treng! Treng! Treng! Suara sendok pada piring berdenting.
“Jangan suka meremehkan orang lain. Kita taruhan!” kata Lorena.
“Taruhan?” tanya Sean, tidak mengerti.
“Kita taruhan, jika aku berhasil membuat Pak Sam jatuh cinta padaku, aku tidak akan membayar sewa rumah ini, biaya makan juga jasa pelayan. Dan Jika aku tidak bisa membuat Pak Sam jatuh cinta padaku, maka aku yang akan membayar sewa rumah, makan, jasa pelayan dan biaya rumahtangga lainnya, bagaimana?” tanya Lorena.
Sean tampak terkejut mendengarnya.
“Kanapa harus Sam?” tanya Sean.
“Tentu saja karena dia Presdirnya. Kau sendiri yang bilang kalau peserta kontes harus membuat Presdirnya jatuh cinta. Maka kau bisa lihat nanti, Pak Sam akan jatuh cinta padaku, dan aku tidak akan membayar sewa rumahmu, pelayan dan yang lainnya, alias GRATIS,” kata Lorena dengan mantap.
Sean tertegun mendengarnya, tapi dia berfikir lagi. Ah biarkan saja, wanita ini jatuh cinta pada Sam, tau-tau menyesal nanti kalau tahu Presdirnya bukan Sam. Diapun tersenyum.
“Bagiamna setuju tidak?” tanya Lorena.
“Setuju,” jawab Sean.
“Bagus!’ jawab Lorena dengan mantap lalu kembali makan.
Sean menatap wanita itu. Sebegitu yakinnya mau membuat Sam jatuh cinta. Tapi dia tidak berbicara lagi, kembali mengunyah makanannya. Dibiarkannya Lorena tetap mengira Sam adalah Presdirnya bukan dirinya.
Malam harinya terdengar lagi suara biola dari kamar sebelah. Sean berbaring ditempat tidurnya, berusaha tidak mendengarkan music itu tapi tetap saja terdengar karena ada di sebelah kamarnya. Diapun tersenyum, sebenarnya permainan biolanya sangat indah, dan dia suka mendengarnya, membuat hatinya merasa tenang mendengarnya, sepertinya wanita itu suka lagu-lagu slow yang menenangkan. Tidak terasa diapun terlelap.
Kesokan harinya…
Wanita itu tidak ada sarapan bersamanya. Tapi dia tidak bicara apa-apa. Pak Roby mendekat dan melapor.
“Nona, sudah berangkat pagi-pagi, katanya jadwal wawancaranya paling awal jam 8,” kata Pak Roby, membuat Sean terkejut.
“Apa? Jam 8?” tanya Sean. Pak Roby mengangguk. Dilihatnya jam menunjukkan pukul 8, berarti wanita itu akan diwawancara sekarang! Diapun melap mulutnya dengan tisu, langsung mengambil handphonenya, menelpon Sam.
“Sam! Wawancara jangan dimulai sebelum aku datang!” teriaknya, mengagetkan Pak Roby yang masih berdiri di dekatnya.
*********************
Jangan lupa like vote dan komen ya
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 254 Episodes
Comments
Ratna Sari Dewi
😅😅😅
2022-03-05
0
Ahmad Sahibul Ilmi
tom n jeri.
2021-11-17
0
widya nindya
penasaran y haha
2021-06-14
1