Sean menatap meja yang ada didapurnya yang penuh dengan berbagai macam bahan-bahan makanan mentah. Pandangannya beralih pada gadis yang sedang membawa beberapa tempat dengan pisau ditangannya. Celemek dan topi chef menempel dikepalanya. Sean tersenyum jengah melihatnya, gadis itu bergaya chef professional padahal tidak bisa memasak.
“Kau mau memasak apa? Emang kau tau menu kesukaan Presdir?”tanya Sean.
“Menu kesukaan Presdir adalah Seafood, aku akan memasak beberapa jenis seafood,” jawab Lorena, sambil mengeluarkan handphone disaku celemeknya.
“Kau tahu darimana Presdir suka Seafood?” tanya Sean.
“Aku melihat pesanan di restauran itu,” jawab Lorena. Sean tidak menjawab.
Dilihatnya gadis itu berdiri disebrangnya sambil melihat handphonenya.
“Sekarang kita akan memasak cuminya. Kau bantu potong-potong cuminya,” kata Lorena.
“Apa? Kenapa aku harus memotong cumi?” tanya Sean.
“Karena aku akan menyiapkan bahan yang lain. Apa kau tidak lihat? Aku juga sambil melihat resep di internet,” jawab Lorena, sambil memberikan pisau pada Sean dan mangkuk yang berisi cumi basah.
“Aku tidak mau memotong cumi,” ucap Sean, bergidik melihat cumi-cumi itu.
“Kau ini bagaimana sih? Kau harus membantuku,” kata Lorena. Diambilnya sebuah dus dari kantong plastik.
“Apa itu?” tanya Sean, menatap kotak itu.
“Ini contoh menu-menu yang dipesan Presdir Samuel kemarin, jadi akan aku jadikan barometer rasanya,” jawab Lorena. Sean terdiam, ternyata Lorena cukup cerdas juga.
“Kau jangan banyak bertanya terus, ayo potong cuminya! Aku akan menyiapkan bumbu-bumbunya, kita akan membuat cumi asam manis pedas,”kata Lorena.
Sean menatap gadis itu yang membaca hapenya.
“Potong cumi ukuran 1 cm! Ayo potong cuminya 1 cm!” kata Lorena, balas menatap Sean yang malah menatapnya.
Sean tidak bisa membayangkan kalau menikah dengan wanita ini, pasti hidupnya sebagai suami akan sangat menderita.
“Semoga kau gagal, Lorena,” batinnya.
“Kau malah bengong ayo potong! Aku mau membuat bumbu dulu,” ucap Lorena, sambil menuju meja yang lain, dia menyiapkan bumbu-bumbu dengan handphone yang terus dibawa-bawanya.
Akhirnya dengan terpaksa Sean membantu memotong cumi itu. Dia heran kenapa pelayan-pelayan pada menghilang? Padahal pelayan-pelayan itu tidak menghilang, tapi sedang mengintip mereka di berbagai sudut sambil cekikikan tertahan, melihat majikannya sedang membantu memasak.
“Kenapa kau tidak menyuruh pelayan saja?” tanya Sean, sambil mengambil cumi yang ada di depannya dengan jijik.
“Kau kan yang sering bersama Presdir, pasti kau sering mencicipi makanan yang dia pesan kan?” jawab Lorena. Terdengar suara blender berbunyi, sepertinya Lorena sedang membuat bumbu. Kemudian suara itu berhenti setelah Lorena mematikannya.
“Mana sudah belum?” tanya Lorena, sambil menghampiri Sean. Dilihatnya mangkuk yang berisi cumi yang sudah dipotong-potong.
“Nah sekarang kau tunggu aku memasak, nanti kau cicipi rasanya,” ucap Lorena, sambil menuju kompor dengan mangkuk cumi di tangannya.
Sean menunggu wanita itu memasak dengan sabar. Tidak terasa dia tersenyum, wanita itu yang terlihat lucu dengan segala kesibukannya memasak dengan sok seperti chef yang mahir, tiba-tiba senyumnya hilang saat terdengar ledakan dari kompor. Bledug! Api keluar sangat besar dari kompor itu juga ketel terjungkal yang mengeluarkan api.
Sean sangat terkejut apalagi melihat api semakin besar, mulai menyambar barang disekitarnya.
“Api! Api! Bagaimana ini?” teriak Lorena, panik. Lorena malah meniup-niup api dengan mengibas-ngibasnya dengan topi chefnya. Sean buru-buru mendekat mengambil lap yang ada di meja dan membasahinya dengan air, mencoba mematikan api yang semakin besar.
“Pak Roby! Pak Roby!” teriak Sean. Para pelayan yang tadi mengintip ikut kaget juga mendengar suara meledug yang entah dari mana, merekapun berdatangan.
“Air! Air!” teriak Sean dengan panik, ternyata api tidak langsung padam, malam membakar lap yang dekat kompor.
Seorang pelayan laki-laki buru-buru mengambil air dalam ember dan byuuur!! Air itu dibuang kompor, diikuti pelayan lain yang juga membawa ember satu lagi, dan Byuuur!! Api pun padam.
Semua pelayan juga pak Roby yang baru datang merasa lega karena api sudah padam. Tapi reaksi mereka langsung berubah saat dua pasang mata menatap mereka dengan tajam. Ternyata bukan kompor saja yang basah, Sean dan Lorenapun basah terkena air ember tadi.
“Apa yang kalian lakukan?” teriak Lorena kesal, air mengucur dari rambutnya membasahi mukanya. Begitu juga dengan Sean.
Para pelayan benar-benar shock, karena panik mereka hanya focus pada api dan tidak memperhatikan kalau Sean dan Lorena sedang ada didekat kompor itu
“Ma..maaf!” ucap pelayan-pelayan itu,dan langsung kabur meninggalkan mereka berdua.
“Maaf,” Pak Roby juga ikut-ikutan bilang maaf dan pergi.
Sean menatap Lorena.
“Ini gara-gara kau tidak bisa memasak!” maki Sean.
“Aku tidak tahu kalau aku tadi memanaskan minyak sayurnya terlalu lama dan mengeluarkan api, aku gugup,” jawab Lorena, mengerjapkan matanya karena air dirambutnya mengucur.
Sean tidak bicara lagi, melihat dapurnya jadi berantakan.
“Kau harus membereskan ini semua! Sendirian!” teriak Sean, lalu meninggalkan dapur dengan kesal.
Lorena menatap dapur itu yang jadi berantakan, mengusap wajahnya yang basah sambil cemberut.
Hari telah siang. Jam menunjukkan pukul jam 12 siang. Waktunya makan siang.
Sean menuju ruang makan, perutnya terasa sudah sangat lapar.
Di ruang makan, para pelayan begitu sibuk menyimpan mangkuk-mangkuk, Sean sampai mengerutkan keningnya kenapa begitu banyak pelayan yang menyiapkan makan? Bahkan Pak Roby sudah ada disana ikut mengatur-atur. Melihat Sean datang, Pak Roby langsung mengangguk mempersilahkan makan.
Sean mendekati meja makan, matanya terbelalak kaget. Meja makan sangat penuh dengan mangkuk-mangkuk seafood. Bahkan satu menu seafood bisa terdiri dari beberapa mangkuk.
“Apa ini?” tanyanya pada Pak Roby. Belum juag pak Roby menjawab, Lorena datang dengan sebuah mangkuk ditangannya. Dia juga sudah berpakaian bersih dengan menggunakan celemek dan topi chef yang baru.
“Tarara…menu terakhir selesai!” serunya sambil menyimpan mangkuk itu dimeja yang sebelumnya menggeser-geser mangkuk yang lain karena meja itu sudah penuh.
“Apa ini?” tanya Sean, menatap Lorena.
“Duduklah, ayo makan,” jawab Lorena.
“Kenapa meja ini penuh sekali? Menu makanan yang sampai bermangkuk-mangkuk,” gerutu Sean.
“Jangan cerewet, duduklah!” kata Lorena. Akhirnya Sean duduk dengan berat hari.
“Kau harus mencicipi semuanya. Kita mulai pada cumi asam manis pedas,”kata Lorena, menjejerkan mangkuk dengan menu yang sama.
“Asam manis pedas?” tanya Sean, menatap mangkuk-mangkuk itu.
“Ini mangkuk 1, 2 3,4, 5. Coba mana yang paling enak,” kata Lorena.
Sean mencoba mangkuk pertama dan Oeeek, Puih! Dia langsung memuntahkan makannya ke tisu. Pelayan buru-buru mendekatkan tong sampah ke dekatnya. Sepertinya mereka memang sudah siap-siap dengan segala kemungkinan yang ada. Pelayan-pelayannya berdiri berjejer dengan Pak Roby.
“Ini apaan? Kau benar-benar tidak bisa memasak ya?” gerutu Sean, membuang tisu ke tempat sampah. Lorena masih berdiri di sebrangnya dengan sebuah kertas dan alat tulis. Diapun langsung mencatat.
“Mangkuk selanjutnya!” perintahnya, membuat Sean sebal tapi dia tidak bisa menolak. Diapun memakan menu dimangkuk berikutnya. Lagi-lagi dia muntah.
“Aku tidak mau lagi! Kau benar-benar payah!” gerutunya.
“Kau tidak boleh menolak, lanjut!” kata Lorena, kembali menulis.
Sean terpaksa mencoba mangkuk berikutnya. Dan dia langsung meraih gelas didepannya, meminumnya sampai habis.
“Terlalu pedas! Ini bumbunya cabe semua atau gimana?” bentak Sean dengan kesa, wajahnya sampai merah karena kepedasan.
Sampai habis mangkuk ke 5, Lorena mendekati Sean.
“Hei, sebenarnya kau jujur atau tidak? Masa 5 mangkuk ini tidak sda yang enak? Kau memang usil, kau tidak mau Presdir menyukai pasakanku,” kata Lorena.
“Semuanya memang tidak enak,” jawab Sean dengan kesal. Keringat tampak bermunculan dikeningnya, karena kepedasan tadi. Lorena cemberut.
“Ya sudah, menu berikutunya!” ucapnya sambil mengambil lagi mangkuk-mangkuk dengan menu kedua.
“Ini apa lagi?” tanya Sean.
“Cumi saos tiram,” jawab Lorena.
“Menunya cumi semua?” tanya Sean.
“Aku akan mencari menu yang benar-benar special,” jawab Lorena.
Sean menatap mangkuk-mangkuk itu lagi. Lalu pada mangkuk yang lainnya yang memenuhi meja.
“Apa aku harus makan semuanya?” tanya Sean.
“Tentu saja ,ayo kita mulai,” jawab Lorena, menyiukkan sendok ke dalam mangkuk, dan disodorkan pada Sean.
“Coba!” kata Lorena.
Sean mencobanyanya dan lagi-lagi Oeeeek Puih! Dia kembali memuntahkan makanannya ke tisu dan membuangnya ke tempat sampah.
“Aku yakin semuanya tidak enak, aku tidak mau memakannya! Ini mana menu makan siangku? Kenapa semua menu pasakanmu semua?” kata Sean.
“Hari ini koki libur jadi kau, dan pelayan-pelayan akan menghabiskan pasakanku ini,” jawab Lorena.
“Apa?” tanya Sean. Bukan saja Sean tapi pelayan-pelayan yang berjejer itu, wajah mereka langsung pucat dan akan bubar.
“Eit, eit, jangan bubar! Kalian juga harus makan!” kata Lorena, membuat pelayan-pelayan itu kembali berbaris.
“Sepertinya aku harus bicara dengan Sam, wanita ini harus didiskualifikasi segera! Dia akan membunuhku dengan pasakannya kalau sampai aku menikah dengannya!” batin Sean dalam hati.
Beberapa jam kemudian, malam telah larut. Sean berbaring di tempat tidurnya, sudah terlelap tidur. Tiba-tiba dia terbangun merasakan sesuatu yang aneh di perutnya.
Kuruwuk! Kuruwuk! Perutnya berbunyi-bunyi. Bukan berbunyi saja tapi juga perutnya terasa panas dan melilit lilit. Sean buru-buru turun dari tempat tidur dan berlari ke kamar mandi. Keluar dari kamar mandi wajahnya langsung pucat. Baru juga pintu ditutup, perutnya berbunyi lagi. Kruwuk kruwuk, diapun merasakan mulas yang amat sangat. Buru-buru dia masuk lagi ke kamar mandi. Entah berapa kali dia masuk ke kamar mandi, badannya terasa lemas.
Dicarinya kotak obat di kamarnya ternyata tidak ada.
“Pak Roby! Pak Roby!” teriaknya dipintu kamarnya yang terbuka. Ternyata Pak Roby mendengar teriakannya dan buru-buru menghampiri kamarnya.
“Ya pak!” ucap Pak Roby, Sean menatap Pak Roby yang juga pucat.
“Kau kenapa?” tanya Sean.
“Maaf Pak, aku sakit perut, pelayan-pelayan yang lain juga sakit perut,” jawab pak Roby. Tiba-tiba pak Roby merasakan perutnya sakit, diapun segera berlari meinggalkan Sean. Melihat Pak Roby pergi, Sean menjadi marah, pasti ini gara-gara makanannya Lorena. Diapun langsung menelpon Sam.
“Ada apa kau menelponku malam malam?” tanya Sam.
“Wanita itu harus didiskualifikasi, dia akan membunuhku dengan semua pelayanku!” teriak Sean.
“Apa?” Sam terkejut.
Setelah bicara dengan Sam, Sean menuju kamarnya Lorena.
Tok tok tok…. Sean mengetuk kamarnya Lorena.
“Ada apa?” tanya Lorena setengah mengantuk membukakan pintu kamarnya. Dilihatnya Sean yang bermuka pucat menatapnya.
“Ada apa? Kau mengganggu tidurku!” tanya Lorena sambil menguap.
“Kau sakit perut masih bisa tidur?” tanya Sean.
“Sakit perut? Aku tidak sakit perut,” kata Lorena.
“Kenapa kau tidak sakit perut? Aku dan semua pelayan sakit perut gara-gara pasakanmu!” kata Sean. Lorena tampak terkejut.
“Kenapa kau tidak sakit perut juga?” tanya Sean.
“Aku makan makanan sample yang dari restaurant, jadi tidak makan pasakanku,” jawab Lorena. Mendengarnya membuat Sean semakin marah, dia benar-benar harus mendiskualifikasi wanita ini, sebelum berjatuhan lagi korban-korban selanjutnya di tempat lomba.
******************
Jangan lupa like vote dan komen
Baca juga karya yang lain masih on going:
- “ Billionaire bride”
- “My Secretary 3” Always Loving You (Jodoh yang tertukar)
Episode : Kedatangan Pengusaha muda tampan ke kampus
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 254 Episodes
Comments
Ratna Sari Dewi
wkwk..lorena...lorena
2022-03-05
0
Anisa Dwi Salsabila
😂😂😂😂😂😂
2022-02-28
0
tatik mufidah
😂😂😂
2022-02-24
0