Happy reading....
Dalam keheningan malam, Anna duduk termenung di atas pembaringan. Tatapan kosongnya hanya menyajikan kegelapan. Kegelapan yang akan menenggelamkannya dalam kehidupan yang semakin suram.
Ingatan Anna kembali saat Riko mengajaknya mengikat janji suci pernikahan. Seperti biasanya, pria itu selalu dapat di andalkan.
Flashback on
Suatu hari di taman belakang, Anna terduduk menyandarkan punggungnya dikursi taman. Berada tak jauh darinya, seorang pria berdiri dengan easel (tripod penjepit kanvas) sebagai penghalang.
Tatapannya terlihat fokus pada kanvas yang berada di hadapannya namun sesekali maniknya melirik pada seseorang yang menjadi objek lukisan.
"Anna, cukup wajahmu saja yang jelek. Aku nggak mau ya kalau lukisanku juga ikut jelek," ucap pria itu dengan nada menggoda.
"Aku mana tahu kalau mukaku jelek, Rik. Lagian kamu nggak bosan apa terlalu sering melukisku," gerutu Anna.
Pria yang sedang melukis Anna tak lain adalah Riko. Anak majikan sekaligus sahabatnya. Riko gemar melukis, bisa di katakan ia seorang pelukis profesional. Bila ia memajang karyanya di pameran selalu saja banjir pujian. Tak jarang pula ia menjadi pemenang di sebuah kontes lukisan.
"Sempurna. Anna, kau selalu mempesona," gumamnya, menatap puas hasil lukisannya.
Setelah membereskan semua peralatannya, Riko menghampiri Anna dan duduk di bagian kosong kursi tersebut. Anna segera merubah posisi duduknya, menghadap ke arah Riko.
"Katakan, apa tanganmu masih penuh dengan noda cat? Apakah hasil lukisannya bagus?" tanya Anna penasaran. Tangannya meraba-raba mencari tangan Riko dan langsung disambut oleh pria itu.
"Aku tidak pernah bisa melukis wajahmu dengan baik. Itu sebabnya aku terus memintamu menjadi modelku. Kau tidak bisa diam, membuat konsentrasiku menjadi buyar," dusta Riko.
"Apa aku sejelek itu? Tapi menurut ibu, aku cantik," Anna menggerutu. Jari telunjuknya perlahan menyusuri telapak tangan Riko.
"Riko, yang ini warna apa?" tanya Anna, saat jari telunjuknya merasakan bagian kasar seperti cat yang mengering di telapak tangan Riko.
"Mmm itu warna merah, ini putih, yang ini hitam, dan kalau ini cokelat." Riko memegang telunjuk Anna dan mengarahkan satu persatu pada warna yang di ucapkannya.
"Jadi hari ini bajuku berwarna merah, ya? warna putih untuk kulit, hitam untuk rambut, dan cokelat untuk warna kursi ini. Aku benar kan?" tanya Anna sambil tersenyum.
"Kau salah. Bajumu hari ini berwarna hitam. Aku pakai warna putih untuk rambutmu, cokelat untuk kulitmu, dan merah untuk warna kursinya." Lagi-lagi Riko berdusta.
"Kau bohong, aku tahu kau sedang berbohong," ucap Anna kesal. Anna melepaskan genggaman tangannya, namun kembali di raih oleh Riko.
"Baiklah, aku salah. Kau benar, semua yang kau katakan itu memang benar," ucap Riko sembari menatap wajah Anna yang kini tersenyum bahagia.
"Katakan padaku, apa yang mengganggumu? Sedari tadi ku lihat kau gelisah," tanya Riko kali ini terdengar serius.
Raut wajah Anna langsung berubah. Gadis itu kini nampak sendu.
"Aku takut,,," ucapnya ragu dengan wajah yang tertunduk.
"Takut? Apa yang kau takutkan, Anna? Ada aku disini. Akan ku hilangkan semua hal yang menjadi penyebab ketakutanmu," ucap Riko.
"Aku takut hamil, Rik. Ini sudah satu bulan lebih, dan aku belum... Hiks." Anna terisak.
Riko menggenggam erat tangan gadis itu. Lalu sebelah tangannya menyentuh dagu Anna, dan sedikit mengangkatnya. Di usapnya dengan lembut butiran air mata yang membasahi pipi Anna.
"Menikahlah denganku! Aku sudah katakan padamu, jika itu terjadi aku akan menikahimu. Apa kau lupa itu?" tanya Riko.
Anna menggelengkan kepalanya, "Tapi bagaimana dengan tuan dan nyonya? Aku takut, mereka pasti kecewa," ucap Anna pelan.
"Percayakan itu padaku, oke!" ucap Riko meyakinkan.
Flashback off
"Anna, kamu belum tidur Nak?" tanya ibunya yang berbaring di samping Anna sambil mengerjapkan matanya.
"Eh iya, Bu. Anna baru aja mau tidur kok," sahut Anna yang mulai membaringkan tubuhnya dan menarik selimutnya.
**
Keesokan harinya, seperti biasa para pelayan sudah sibuk dengan pekerjaan mereka sejak pagi. Anna sedang menyiram tanaman di halaman depan. Sementara ibunya sibuk menyiapkan sarapan. Di rumah itu, ibunya Anna biasa di panggil 'Bibi'. Mungkin karena beliau yang paling tua diantara para pelayan yang bekerja di rumah tersebut.
"Selamat pagi, Den Riko!" sapa Bibi.
"Selamat pagi, Bu. Mama sudah keluar dari kamar?" tanya Riko. Riko terbiasa memanggil ibunya Anna dengan panggilan 'ibu', baginya wanita paruh baya itu adalah ibu dari sahabatnya.
"Belum, Den."
Riko melangkah meninggalkan ibunya Anna, dan menuju kamar orang tuanya. Setelah mengetuk pintu, Riko masuk ke dalam kamar tersebut.
"Pagi Ma, Pa,,," sapanya.
Nyonya Rahardian yang sedang memasangkan dasi di kemeja suaminya menatap lekat pada Riko, putranya.
"Ada apa, Sayang? Nggak biasanya kamu kesini?" tanyanya dengan kedua alis yang di tautkan.
"Ma, Pa. Ada yang mau Riko bicarakan," ucap Riko serius.
Tuan dan nyonya Rahardian saling menatap penuh tanya. Lalu merekapun duduk di sofa yang ada di dalam kamar tersebut.
"Ma, Pa. Riko akan menikahi Anna," ucapnya langsung pada maksud dan tujuan. Sontak kedua orang tuanya terbelalak.
"Apa? Apa maksudmu, Riko. Bagaimana bisa kau menikah dengan Anna?" tanya papanya.
"Iya. Mama juga heran. Oke, kalian memang dekat sebagai teman, tapi kalian tidak pacaran kan?" tanya mamanya.
"Kami memang tidak pacaran. Tapi,,, Ma. Maaf, Riko sudah mengecewakan. Riko dan Anna sudah pernah..."
"Stop! Jangan di teruskan. Papa mengerti kalian sudah dewasa. Kalian juga melakukannya atas dasar suka. Tapi Riko,,," papanya ragu untuk melanjutkan ucapannya.
"Apa karena Anna anak seorang pelayan? Ma, Pa, kalian dengarkan apa yang om Seto katakan. Riko mohon! Kalian tahu Riko sangat mencintai Anna. Dia juga alasan Riko bertahan sampai sekarang," tutur Riko.
"Baiklah. Beri kami waktu untuk merundingkannya dengan Anna dan ibunya," ucap tuan Rahardian.
"Riko ingin secepatnya. Riko tidak mau Anna menanggung malu seorang diri," ucap Riko sebelum meninggalkan kamar kedua orang tuanya.
Setelah percakapan dengan Riko pagi ini, malam harinya nyonya Rahardian langsung memanggil Anna dan ibunya. Beliau mengutarakan maksudnya yang akan mengadakan pernikahan dengan waktu yang sudah di tentukan. Ibu Anna sangat terkejut saat mengetahui alasan di balik rencana pernikahan yang bisa di bilang serba dadakan itu.
Setibanya di dalam kamar...
"Anna! Ibu kecewa sama kamu. Bagaimana bisa kamu menyerahkan kesucianmu pada pria yang bukan suamimu," pekik ibunya. Rasa kecewa terpancar jelas dari ekspresinya. Walau ekspresi wajah ibunya tak terlihat oleh Anna, namun dari nada suaranya terdengar jelas rasa kecewa itu.
"Maaf, Bu." Anna menundukkan wajahnya.
"Kita memang berhutang budi pada mereka, tapi bukan begitu cara membayarnya, Anna!" serunya lagi, suaranya nampak tertahan di kerongkongan.
"Ibu malu, Anna. Ibu sudah gagal mendidikmu." Ia lalu menangkupkan kedua tangannya di wajah dan mulai terisak.
"Bu, maafkan Anna! Anna tidak bermaksud membuat ibu kecewa seperti ini, hiks,, hiks," Anna terisak sambil bersimpuh. Isakannya terdengar sangat memilukan.
Melihat putrinya yang tampak menyedihkan, ibu Anna berusaha menguatkan hatinya.
"Sudahlah. Mungkin memang harus begini jalan takdirmu. Kita hanya bisa pasrah, Nak." Setelah menyeka air matanya dan juga mengusap punggung Anna yang masih bersimpuh di depannya, ibu Anna melangkah ke dalam kamar mandi.
"Ini semua gara-gara kau laki-laki iblis. Kau menghancurkan segalanya. Pergi! pergi kau dari rahimku! Aku tak sudi mengandung anak dari pria iblis seperti dia!" Anna menggeram dengan suara tertahan. Tangannya yang mengepal memukul-mukul perutnya yang masih rata. Ia merasakan dadanya teramat sesak. Dibiarkannya tubuhnya yang lemas tersungkur di lantai.
"Maafkan Anna, Bu!" ucapnya di sela-sela isakkannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
Andez Zucklina
jgn² si Niko abangnya si Riko yg ngamilin si Anna
2022-12-30
0
fifid dwi ariani
trus sukses
2022-11-02
0
Amalia Khaer
ternyata bukan anknya Riko. apakah Niko? bisa jadi ahahah
2022-09-11
1