Mencari Sahabat Lama

Di hari ke-2 keberadaan Ustadz Hanafi di Kota Palembang, salah seorang dari pamannya meminta ditemani karena mau berkunjung ke rumah sahabatnya.

Pamannya ini biasa dipanggil Mang Cak Mahmud, sementara sahabat yang akan ditemuinya tersebut adalah temannya ketika SMA (Sekolah Menengah Atas) yakni bernama Ali Syarif.

Rumah teman Mang Cak Mahmud berada di daerah Plaju, yang jaraknya sekitar 5-7 km dari kediaman keluarga Haji Abdullah yang berada di wilayah Kambang Iwak.

Dengan memesan taxi online, Ustadz Hanafi bersama Mang Cak Mahmud berangkat pagi hari, dan rencananya pada siang harinya keduanya mau melaksanakan Shalat Jum'at di Masjid Agung Palembang.

Sepanjang perjalanan, nampak di pinggir jalan banyak didirikan gapura untuk menyambut 100 tahun kemerdekaan Indonesia. Di gapura tersebut tertulis kalimat "DIRGAHAYU 100 TAHUN KEMERDEKAAN INDONESIA 1945-2045".

Perayaan hari kemerdekaan Indonesia memang sudah dekat sekitar 5 hari lagi, dan peringatan kali ini rencananya bakal digelar secara besar-besaran di seluruh Indonesia.

Tidak terasa mobil yang mereka tumpangi telah berada di atas Jembatan AMPERA yang menghubungkan wilayah ilir dengan wilayah ulu Kota Palembang.

Setelah sampai diujung Jembatan, mobil belok ke kiri memasuki daerah Plaju. Kediaman sahabat Mang Cak Mahmud berada di sebuah perkampungan masyarakat keturunan Arab yang dikenal dengan nama Komplek Assegaf.

Setelah memasuki komplek, mobil terus masuk ke dalam hingga mendekati pinggiran sungai musi. Lokasi rumah sahabat Mang Cak Mahmud ini memang tidak jauh dari tepian sungai.

Menurut cerita Mang Cak Mahmud, sebelum tinggal di Kambang Iwak keluarga besar Haji Abdullah pernah tinggal di Plaju berdekatan dengan komplek Assegaf. Namun sekarang rumah lama Haji Abdullah sudah tidak ada, berubah menjadi pertokoan.

Namun sayang, setelah di lokasi Mang Cak Mahmud mendapat kabar sahabatnya itu sudah pindah ke Kota Semarang sekitar 3 tahun yang lalu.

Dikarenakan waktu Shalat Jum'at masih cukup lama, Mang Cik Mahmud mengajak Ustadz Hanafi untuk istirahat sekaligus Shalat Dhuha di mushallah yang lokasinya persis di pinggir sungai.

Usai Shalat Dhuha, Mang Cak Mahmud mengajak Ustadz Hanafi pergi menuju ke sebuah dermaga untuk menunggu kapal penumpang. Lokasi dermaga itu letaknya tidak jauh dari mushallah.

Di dermaga, Mang Cak Mahmud bercerita masyarakat arab di Kota Palembang telah ada ratusan tahun. Mereka sudah mulai ramai sejak masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin Jaya Wikrama atau dikenal sebagai Sultan Mahmud Badaruddin ke-1.

Bahkan beberapa putri Sultan dinikahkan dengan para ulama yang datang dari Hadramaut Yaman. Sehingga masyarakat keturunan arab secara garis silsilah ada kekerabatan dengan Kesultanan Palembang Darussalam.

Setelah menunggu 15 menit, ada satu kapal penumpang merapat ke dermaga. Sebelum naik kapal, Mang Cak Mahmud dan Ustadz Hanafi dipakaikan jaket khusus untuk keselamatan kendaraan perairan.

Kapal penumpang kemudian berangkat menuju dermaga yang berada persis di depan Benteng Kuto Besak. Benteng Kuto Besak adalah benteng pertahanan saat Palembang berperang melawan pasukan Belanda.

Perang Palembang melawan Belanda sendiri terjadi pada masa Sultan Mahmud Badaruddin Pangeran Ratu atau dikenal sebagai Sultan Mahmud Badaruddin ke-2. Sultan Mahmud Badaruddin Pangeran Ratu sendiri merupakan cicit dari Sultan Mahmud Badaruddin Jaya Wikrama.

Sesampai di dermaga Benteng Kuto Besak, Mang Cik Mahmud bersama Ustadz Hanafi berjalan ke arah jalan merdeka, yang berseberangan dengan Masjid Agung Palembang.

*******

Tradisi Ratusan Tahun

Sesampai di Masjid, meski baru pukul 10 pagi, sudah sangat orang yang berdatangan. Mereka sebagian masyarakat di sekitar masjid dan para pedagang pasar 16 ilir yang lokasinya berada dekat situ.

Namun tidak sedikit juga yang datang dari tempat yang jauh, bahkan berasal dari luar Kota Palembang.

Mang Cak Mahmud nampak mendekati seorang pengurus masjid, setelah bercakap-cakap sebentar Mang Cak Mahmud menyerahkan secarik kertas.

Menjelang Shalat Jum'at biasanya pengurus masjid mengumumkan laporan keuangan, dan beberapa permintaan doa dari jamaah.

Secarik kertas yang diberikan Mang Cak Mahmud turut dibacakan, yang isinya meminta keikhlasan jamaah Shalat Jum'at mengirimkan doa dan bacaan Surah al Fatihah untuk almarhum Haji Abdullah yang baru saja meninggal dunia.

Di Masjid Agung Palembang, khatib yang menyampaikan khutbah mengenakan pakaian berjubah dan memegang sebuah tongkat. Tradisi khatib jum'at ini nampaknya sudah berlangsung ratusan tahun.

Jamaah yang mengikuti ibadah Shalat Jum'at pada hari itu, sampai memenuhi halaman di samping masjid. Mereka yang diluar ada yang membentangkan tikar sebagai alas untuk sejadah yang mereka bawa.

Masjid Agung Palembang sendiri berdiri di masa Sultan Mahmud Badaruddin Jaya Wikrama, dimana salah satu arsiteknya merupakan seorang muslim keturunan China yang bernama Babah Muhammad Najib.

Menurut sejarahnya leluhur Babah Muhammad Najib berasal dari keluarga bangsawan Dinasti Ming, yang hijrah ke Palembang dikarenakan terjadi kemelut perebutan kekuasaan di tanah Tiongkok.

Ayah dari Babah Muhammad Najib terkenal sebagai seorang hartawan yang sangat kaya bernama Pangeran Saudagar Ku Ching atau Babah Yaw Jian.

Pangeran Saudagar Ku Ching yang juga dikenal sebagai Kiyai Mas Husin, pernah menjabat bendahara kerajaan serta berjasa dalam merancang pembangunan kota Kesultanan Palembang Darussalam.

Seperti sudah menjadi kebiasaan, seusai pelaksanaan Shalat Jum'at, di halaman masjid terlihat banyak pedagang memasarkan produk yang mereka miliki.

Bermacam-macam barang ada, baik itu pakaian, makanan bahkan obat herbal. Ustadz Hanafi membeli beberapa potong makanan tradisional khas palembang, baik berupa kue dan tentunya pempek yang terkenal itu.

"Pempek adalah contoh makanan yang berasal dari keberagaman budaya dan menjadi satu kesatuan" kata Mang Cak Mahmud saat dibawakan pempek oleh Ustadz Hanafi.

"Wah.. menarik juga sejarahnya Mang Cak" ucap Ustadz Hanafi sambil duduk di dekat tangga masjid.

Ustadz Hanafi hanya dapat memandangi beragam jenis pempek yang ada dalam kantong plastik. Dikarenakan saat itu, bertepatan dengan Ramadhan, bulan puasa bagi umat muslim.

"Dahulu pempek ini bernama kelesan. Pada awalnya merupakan makanan khas melayu untuk memanfaatkan perkebunan sagu yang banyak tumbuh di Palembang pada sekitar abad ke 15 masehi" ujar Mang Cak Mahmud menjelaskan.

"Setelah datang pengaruh budaya China yang dibawa oleh pengikut Laksamana Cheng Ho, kelesan ini diberi tambahan daging ikan sungai" ucap Mang Cak Mahmud menambahkan.

"Sementara kuahnya yang disebut cuko, kemungkinan ada pengaruh kuah kari dari budaya masyarakat India atau Arab" kata Mang Cak Mahmud sambil memperlihatkan kuah "cuko" yang berwarna kehitaman.

Ustadz Hanafi hanya mengaguk-angguk mendengarkan penjelasan dari pamannya itu.

"Percampuran budaya ini bisa dimaklumi karena Kota Palembang sejak berabad-abad yang silam merupakan daerah pelabuhan, jadi berbagai bangsa pernah saling berinteraksi dalam jangka waktu yang sangat lama" ungkap Mang Cak Mahmud panjang lebar.

Uraian Mang Cak Mahmud tentang sejarah makanan pempek, telah menambah wawasan Ustadz Hanafi terkait hubungan antara manusia dengan sesamanya.

Hidup dalam keberagaman budaya akan terasa indah jika masing-masing individu bisa menghormati satu dengan lainnya.

Terpopuler

Comments

ᴮᵀ⃝🚸ℳ꯭𝒾ᷨ𝓈ͦ𝓈ͭ 𝓀𝒽꯭𝒶𝓃꯭͠🐲

ᴮᵀ⃝🚸ℳ꯭𝒾ᷨ𝓈ͦ𝓈ͭ 𝓀𝒽꯭𝒶𝓃꯭͠🐲

semangat thor..salam buat ustadz hanafie yh

2020-11-27

1

Om Rudi

Om Rudi

Om masih bertahan

2020-11-09

1

Embun

Embun

Bagus lho, alur ceritanya👍👌awal2 santui, bahas sejarahnyapun bagus🙏😍😗
Masih lanjut...

2020-11-08

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!