Chapter 18

"Kamu siapa?"

"Tunangan Lalita."

Richard menatap Lalita, mencoba mengonfirmasi ucapan Zidan, tapi Lalita hanya tersenyum. Senyumnya bukan karena dia mengiyakan jawaban Zidan, tapi lebih karena menahan tawa atas tindakan Zidan.

"Aku pikir kamu ke sini dengan CFO kamu," Richard mencoba mengonfirmasi lagi.

"Dia CFO ku," jawab Lalita.

"Jadi dia CFO atau tunanganmu?" Richard masih tidak mau menyerah.

"Dua-duanya." Zidan yang menjawabnya, sambil meletakkan tangannya melingkari bahu Lalita, ingin menegaskan bahwa dia adalah pemilik perempuan ini.

"Tadinya aku mau mengajakmu pergi jalan dan makan bareng, tapi sepertinya kamu tidak bisa ya?"

"Aku bisa kok. Kamu tunggu di lobby ya, aku mau mandi dan ganti baju dulu."

"Serius?" Richard memandang Lalita dan Zidan bergantian.

"Serius. Kamu tunggu di lobby, kami mandi dulu," sahut Zidan sambil menegaskan kata 'kami'.

Richard lalu meninggalkan Lalita dan Zidan, menuju ke lobby dan akan menunggu di sana sementara mereka mandi dan bersiap-siap.

"Puas?" Lalita menolehkan kepalanya ke arah Zidan yang masih saja merangkulnya meskipun Richard sudah pergi.

"Puas apanya? Kita kan tidak melakukan apa-apa." ujar Zidan sok lugu.

"You act like my fiancee."

"But you will be my fiancee, soon," Zidan tersenyum sangat manis.

"In your dream!" Lalita melepaskan tangan Zidan lalu membuka pintu dan masuk ke kamarnya.

"Apa yang Bapak lakukan?" tanya Lalita saat mengetahui Zidan ikut masuk ke kamar.

"Mandi dan bersiap-siap," Zidan meletakkan tas kerjanya di atas meja di dekat pintu kamar.

"Bapak serius mau ikut jalan sama teman saya?"

"Kamu pilih salah satu, saya ikut kamu pergi atau kamu tidak saya ijinkan pergi?"

"Kalau tidak ada pekerjaan, apa alasan Bapak tidak mengijinkan saya pergi?"

"Saya CFO kamu, saya tunangan kamu, saya berhak melarang kamu pergi." Zidan tersenyum dengan sangat manis hingga membuat Lalita merona.

"Yasudah terserah. Tapi saya mau mandi dulu," Lalita yang tahu kalau dia tidak akan menang mencoba mengalah.

"Mandi saja duluan, nanti gantian."

"Bapak mau mandi di sini juga?" Lalita tidak percaya.

Zidan mengangguk dengan antusias.

"Kenapa tidak di kamar Bapak sendiri sih?" protes Lalita.

"Malas ah, masih naik lagi, sekalian di sini saja mandinya."

"Tidak ganti baju dong. Bau tuh, Pak. Mandi di kamar Bapak sendiri saja deh, sekalian ganti baju," Lalita masih mencoba mengusir Zidan dari kamarnya.

"Nih, saya habis beli baju kok, ada buat kamu juga," Zidan memberikan sebuah tas belanjaan kepada Lalita.

Lalita menerima tas belanja tersebut, meletakkannya di atas tempat tidur dan mengambil isinya. Ternyata dua buah kemeja laki-laki dan perempuan dengan motif yang sama. Kemeja branded yang simple dan bagus sih, tapi….

"Kamu pakai itu juga ya nanti," kata Zidan menggoda Lalita.

"Tidak mau," tolak Lalita sambil memasukkan kembali kemeja couple tersebut ke dalam tas belanjanya.

"Atau kamu lebih suka kita menghabiskan waktu tanpa pakai baju di dalam kamar ini saja?" Zidan mendekati Lalita. "Saya lebih suka pilihan yang ini sih."

"Bapak apaan sih?"

Lalita membalikkan tubuh tapi Zidan menahannya dan mereka berdua berdiri berhadapan dengan sangat dekat saat ini.

"La, aku bisa menghancurkan hidupku sendiri kalau seperti ini terus. Tolong maafkan aku, atau aku bisa jadi benar-benar gila karenamu." Zidan memegang kedua bahu Lalita, menempelkan keningnya dengan kening Lalita dan melupakan semua formalitas. Sudah cukup penderitaannya selama ini karena Lalita, bukan, tapi karena tindakan bodohnya kepada Lalita.

"Aku bukan orang yang pendendam. Sebenarnya aku sudah lama memaafkanmu. Dan berhentilah jadi orang gila. Kamu membuat banyak orang cemas," Lalita pun mengikuti Zidan bicara informal.

"Termasuk kamu? Kamu juga cemas melihatku seperti ini?" Zidan seolah menemukan secercah harapan.

"Kalau aku sih tidak terlalu peduli kamu mau seperti apa. Tapi aku kasihan dengan teman-teman di kantor yang suka kamu marahin tidak jelas cuma karena kamu gila," Lalita menyilangkan kedua tangannya di dada, yang tanpa dia sadari membuat kedua payudaranya menyembul di balik belahan bathrobe yang cukup rendah. Tapi Zidan yang lebih tinggi darinya dan berada di hadapannya melihatnya dengan jelas.

"Kalau begitu, kita bisa mulai lagi semuanya dari awal, kamu mau kan?" Zidan sangat berharap hubungannya dengan Lalita akan kembali seperti saat sebelum kebohongannya terbongkar.

"Aku memang sudah memaafkanmu. Tapi aku tidak mau punya hubungan apapun lagi denganmu selain karyawan di jam kerja dan teman di luar jam kerja."

"Baiklah, mulai besok hubungan kita akan seperti itu." Zidan menyerah, bagaimanapun juga berteman masih jauh lebih baik daripada tidak sama sekali.

"Kenapa tidak mulai sekarang saja?" Lalita tidak memahami pikiran Zidan.

"Untuk sekarang aku adalah tunangan kamu. Sampai malam ini berakhir."

"Apa? Bisa-bisanya."

"Untuk menebus kesalahanmu semalam. Please, just some hours left, let me be your fiancee until this night end," Zidan memberikan senyuman memohon.

"Kenapa kamu selalu berhasil mempermainkanku sih?" Lalita cemberut tapi menerima permintaan Zidan.

"Karena kamu juga selalu berhasil membuatku menyukaimu."

Zidan mencium bibir Lalita dengan lembut, Lalita terlalu kaget untuk menolaknya tapi dia juga tidak membalasnya. Zidan lalu menarik bathrobe dan menutup rapat dada Lalita yang sebelumnya terekspos.

"Buruan mandi dan ganti baju, dari tadi kamu sudah menggoda banyak laki-laki dengan penampilanmu ini," Zidan berbisik di telinga Lalita.

Lalita hanya menatap Zidan sambil pipinya merona karena malu, tapi juga senang dengan ciuman lembutnya barusan.

"Buruan, sebelum aku berubah pikiran dan malah menerkammu di sini."

Lalita lalu melesat menuju kamar mandi.

Empat puluh menit kemudian Zidan dan Lalita sudah keluar dari kamar Lalita. Memakai celana jeans dan kemeja couple yang dibeli Zidan tadi.

"Apa rencana Bapak besok?" Lalita dan Zidan sedang menunggu lift yang saat ini masih berada di lantai 19.

"La, malam ini aku tunangan kamu, jangan panggil Bapak. Kamu masih ingat namaku, kan?"

"Ingat. Psycho kan?!" Lalita sudah mulai bisa bercanda lagi dengan Zidan.

"Okay. I will act like a psycho then, don't blame me later, you just call me like that by yourself."

"Aahh, oke oke, Zidan. Itu nama kamu, bukan psycho. Jadi besok-besok awas kalau kamu masih berkelakuan seperti seorang psycho."

Zidan tertawa keras sambil masuk ke dalam lift yang pintunya sudah terbuka di hadapan mereka.

"Besok sudah tidak ada pertemuan dengan bank lagi, kan? Berarti malam ini kita tidak lembur.”

"Besok aku ada pertemuan dengan Bank SDB jam 10 pagi dan Bank BCHS jam 2 siang."

"Lho bukannya sudah kemarin?"

"Kemarin dibatalkan, ditunda besok."

"Kok kamu pulangnya malam, kemarin? Kupikir karena kamu meeting di tiga tempat sekaligus."

"Aku sudah pulang dari siang kok kemarin."

"Hah? Bukannya kemarin kita bertemu di lobby sudah malam ya? Yang terus kamu marahin aku di depan banyak orang itu."

"Katanya tidak pendendam, tapi masih ingat ya hal seperti itu."

"Ya habis kan aku malu dimarahin di depan banyak orang seperti itu. Mereka semua memandangku dengan kasihan. Aku tidak suka," Lalita cemberut sambil keluar dari lift, menuju lobby yang malam ini tampak lebih ramai.

"Maaf deh, La, jangan marah dong, aku bisa tebus kesalahanku yang satu itu," Zidan mengikuti Lalita keluar dari lift.

"Caranya?" tanya Lalita tanpa berhenti berjalan.

"Aku bisa membuat mereka semua tidak lagi memandangmu dengan kasihan, tapi dengan perasaan iri," Zidan menjajari langkah Lalita.

"How come?"

"Like this."

Zidan memutar tubuh Lalita dan mencium bibirnya dengan lembut. Kedua tangannya menangkup wajah Lalita, menahan kepala perempuan itu jika dia menolak. Tapi ternyata Lalita sama sekali tidak menolak, dia malah merangkulkan kedua tangannya ke leher Zidan dan membalas ciumannya sehingga ciuman yang awalnya lembut itu lama-lama menjadi ciuman yang menggairahkan.

Dan benar saja, semua orang yang melihatnya sekarang memandang iri kepada pasangan yang sedang lupa diri tersebut. Beberapa orang memandangnya jijik dan berteriak menyuruhnya masuk ke dalam kamar saja. Beberapa anak kecil juga berteriak yang lalu matanya ditutup oleh orang tuanya. Richard pun melihatnya, lalu tak lama kemudian dia memutuskan untuk pergi dan membatalkan acaranya malam ini dengan Lalita.

"Aku selalu ingin melakukan ini dari dulu." kata Lalita setelah Zidan melepaskan bibirnya, tapi tangannya masih memeluk Lalita. "Thanks for make it happen now."

"Apa aku sudah dimaafkan?" Zidan menatap mata Lalita sambil menyibakkan beberapa helai rambut hitam yang jatuh ke wajahnya.

"Ya, aku sudah memaafkanmu," Lalita tersenyum manis kali ini, bagaimanapun dia memang tidak bisa marah terlalu lama kepada orang lain.

Zidan sangat senang karena akhirnya bisa mendapatkan senyum Lalita lagi.

Terpopuler

Comments

Nurus Saada Smti

Nurus Saada Smti

mantap ....👍👍 alur ceritanya bagus, i love it.. 😍😍

2020-02-22

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!