Chapter 2

Akhirnya tim ganda campuran Lalita dan Adriel memenangkan pertandingan badminton malam ini, setelah permainan yang berat dengan tim dari divisi lain, 21-19, 18-21, 25-23. Dengan bangga Lalita dan Adriel bisa mempertahankan gelar juara 1 kepada rekan-rekan sedivisi Finance and Accounting. Gelar itu sudah disandang selama lima tahun terakhir sejak diadakannya pertandingan badminton di acara ulang tahun perusahaan.

Lalita sedang duduk-duduk beristirahat di pinggir lapangan sambil membicarakan tentang jalannya pertandingan barusan dengan teman-temannya, saat tiba-tiba terdengar suara di belakangnya yang bicara dengan sangat keras.

"Jadi bagaimana rasanya? Sudah berhasil menaklukkan seorang playboy hingga dia menikahimu? Tapi tetap saja, dia cuma **** yang sukanya main perempuan. Pada akhirnya kalian cerai juga, kan?" itu suara Chandra, mantan pacar Lalita sebelum menikah dengan Adit, yang notabene juga teman dari Adit, lebih tepatnya teman karena mereka bertetangga.

Seketika seluruh ruangan hening. Di kantor tidak ada satu pun yang mengetahui kalau Lalita sudah bercerai dan suara Chandra yang begitu keras membangkitkan rasa penasaran yang tinggi, hingga membuat mereka semua menghentikan obrolannya dan menoleh ke arah Lalita.

"What's your point?" tanya Lalita setelah berdiri dan menghadapi Chandra, dia sudah terlanjur membongkar rahasia tentang perceraiannya di hadapan teman-temannya. Sekarang Lalita sedang berpikir untuk menghadapinya dengan cara yang keren.

"Nothing. Just want to say it loud," jawab Chandra sambil menyunggingkan senyum culasnya.

"Kamu tidak terima karena aku lebih memilih menikah dengan Adit daripada dengan kamu? Terus sekarang kamu mau mengolokku dan mengatakan kalau aku sudah salah memilih?" Lalita mulai terbawa emosi. "Memang benar aku sudah bercerai sama Adit, terus kamu mau apa?"

Chandra hendak membuka mulut saat kemudian seorang laki-laki datang. "Wah wah wah, ada apa ini? Apa yang sedang kalian berdua lakukan di sini sambil menyebut namaku?" laki-laki itu menatap tajam Chandra.

Ya, yang datang adalah Adit, mantan suami Lalita. Baik Lalita, Adit maupun Chandra, memang bekerja di lokasi kantor yang berdekatan karena bidang usahanya sama yaitu perdagangan ekspor-impor. Lokasi lapangan badminton ini sendiri berada di dekat lokasi kantor mereka, sehingga bukan tidak mungkin pertemuan seperti ini akan terjadi. Sebenarnya Chandra dan Adit yang lebih sering bermain di lapangan badminton tersebut. Lalita hanya datang karena kebetulan sedang mengikuti turnamen kantor yang diselenggarakan di sana.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Adit saat melihat wajah perempuan yang sampai saat ini masih dicintainya terlihat marah, memang dari dulu Chandra masih suka menggodanya, Adit pernah melihatnya sendiri beberapa kali.

Lalita mengacuhkan pertanyaan Adit, dia mulai membereskan barang-barangnya dan bersiap pergi.

"Terima kasih sudah membuat mereka semua tahu tentang perceraianku, aku jadi tidak perlu merahasiakannya lagi sekarang," kata Lalita kepada Chandra yang langsung terdiam sejak kedatangan Adit. Chandra selalu merasa terintimidasi dengan Adit.

"Kamu mau ke mana?" tanya Adit sambil menahan tangan Lalita yang hendak melewatinya. Perempuan itu mengabaikannya sejak dia datang.

"Pulang. Ini urusan laki-laki, kan? Selesaikan sendiri. Aku tidak peduli dengan kalian." Lalita menjawab sambil melepaskan tangannya dari Adit, lalu berjalan meninggalkan lapangan badminton.

Beberapa menit setelah pergi meninggalkan dua pria tersebut, Lalita mendengar suara pukulan dan seseorang jatuh, lalu teriakan beberapa orang menyusul. Tanpa menoleh pun Lalita sudah tahu kalau Adit pasti yang memukul Chandra hingga terjatuh, dan saat ini pasti orang-orang di sekitarnya sedang berusaha melerai.

"Hei, kamu tidak apa-apa?" tanya Adriel yang menjajari langkah Lalita saat di tempat parkir. Adriel adalah salah satu anak buah Lalita yang cukup dekat dengannya.

"Aku tidak apa-apa," jawab Lalita santai.

"Sorry, aku tidak tahu kalau kamu sudah bercerai. Selama ini aku sering melihatmu menangis dalam diam atau bekerja tanpa fokus. Kadang aku ingin bertanya, apa kamu sedang ada masalah berat? Tapi aku tidak pernah berani karena sepertinya terlalu pribadi." Meja Adriel berada di samping meja Lalita, jadi sudah pasti dia melihat apa pun yang sedang dilakukan Lalita. Dan ketika masa-masa sulit dengan Adit, Lalita memang sering diam-diam meneteskan air mata saat matanya sedang berkamuflase menghadap ke layar komputernya.

"Sekarang kamu sudah tau, kan?" Lalita hanya menjawabnya ringan sambil membuka pintu mobil dan meletakkan tasnya di kursi penumpang.

"Baiklah, kalau begitu hati-hati di jalan," Adriel lalu meninggalkan Lalita dan menuju ke arah tempat parkir motor. Sudah cukup dia mengetahuinya, Adriel pun tidak ingin bertanya lebih jauh lagi, dia cukup sadar dengan posisinya yang hanya sebagai teman kerja Lalita. Adriel tahu, jika Lalita memang ingin cerita, dia pasti akan menceritakannya sendiri tanpa perlu ditanya. Biasanya seperti itu.

Keesokan harinya, berita itu menjadi pembicaraan di kantor. Sebenarnya Lalita sudah bisa menduga, tapi entah kenapa, diperhatikan banyak pasang mata ketika dirinya lewat ternyata sungguh tidak nyaman. Saat melewati ruangan Bu Maya, manajer itu memanggilnya masuk.

“Sepertinya semua sudah tahu, ya?” Bu Maya ingin mengonfirmasi langsung kepada Lalita.

“Iya, Bu, gara-gara semalam,” Lalita lalu menceritakan kejadiannya kepada Bu Maya.

Bu Maya adalah satu dari sedikit orang di kantor yang mengetahui tentang perceraian Lalita. Dulu saat Lalita sering bertengkar dengan Adit, Lalita sering datang terlambat ke kantor atau kadang mengambil cuti mendadak. Suatu hari, Bu Maya mengirimkan pesan WhatsApp kepada Lalita, isinya:

“Saya tahu kamu sedang ada masalah berat, tapi jangan terlalu lama bersedih, kamu harus segera bangkit.”

Saat itu Lalita mengabaikan, tapi suatu hari akhirnya Lalita mengakuinya dan membalas pesan WhatsApp Bu Maya, “Saya memang sedang ada permasalahan berat dalam hidup saya, tolong beri saya waktu, saya sedang berusaha bangkit”. Dan Bu Maya pun membalasnya, “oke, kamu pasti bisa”.

Ketika akhirnya Lalita memutuskan untuk bercerai, dia pun menceritakannya kepada Bu Maya. Bukannya sengaja mau curhat atau apa, tapi Lalita berpikir pasti akan sering mengajukan cuti jika harus mengurus perceraiannya, makanya dia sampaikan di awal kepada Bu Maya, agar manajernya itu tidak lagi bertanya-tanya kalau ke depannya dia akan sering mengajukan cuti.

Oke. Kembali ke meja kerja Bu Maya saat ini.

“Ya sudah mau gimana lagi, kan tidak mungkin disembunyikan juga selamanya,” kata Bu Maya setelah mendengar cerita Lalita.

“Iya, Bu, maaf sudah membuat keramaian seperti ini,” Lalita merasa tidak enak kepada atasannya itu.

“Tidak masalah, nanti lama-lama juga mereda,” jawab Bu Maya sambil tersenyum. Meskipun sangat tegas dan disiplin bahkan sering tampak keras kepada anak buahnya, tapi sebenarnya Bu Maya memiliki hati yang baik dan seringkali memberikan toleransi yang besar kepada anak buahnya yang sedang terkena musibah atau memiliki masalah.

Lalita baru akan berdiri dan kembali ke meja kerjanya saat Zidan masuk ke ruangan Bu Maya dengan marah-marah.

“Ada berita apa, sih? Kenapa pagi ini ramai sekali?” kata Zidan sebelum menyadari ada Lalita di dalam ruangan tersebut.

“Biasa, Pak, namanya juga berita. Kalau baru keluar pasti bikin ramai, tapi cuma sebentar, nanti lama-lama pasti hilang dengan sendirinya,” jawab Bu Maya dengan santai. Perempuan satu itu memang memiliki karakter yang kuat, tidak mudah terintimidasi dengan orang lain, malah dia sendiri yang sering kali mengintimidasi meski bawaannya sebenarnya santai.

“Saya dengar yang diberitakan ini salah satu anak buah kamu. Apa benar?” Zidan terlihat marah dan tidak senang.

“Benar,” Bu Maya menjawabnya tetap dengan santai.

“Siapa?” Zidan mulai penasaran.

“Sudahlah, Pak, cuma masalah pribadi. Tidak penting juga siapa orangnya,” Bu Maya tetap tenang.

“Baiklah. Pastikan saja hal ini tidak membuat kinerjanya menurun.” Dan akhirnya Zidan pun menyerah mengorek informasi dari Bu Maya.

“Siap, Pak,” Bu Maya menjawabnya sambil tersenyum.

Lalu Zidan pun pergi meninggalkan ruangan Bu Maya.

“Terima kasih, Bu,” kata Lalita setelah kepergian Zidan, dia merasa berterima kasih kepada manajernya karena mau menutupi identitasnya saat ditanya Zidan.

“Ya sudah, sana kembali bekerja. Segera mintakan tanda tangan direktur untuk surat-surat yang harus segera dikirimkan ke auditor,” kata Bu Maya.

“Iya, Bu, akan saya proses sekarang juga.” Lalu Lalita keluar dari ruangan Bu Maya.

Sejak Zidan keluar dari ruangan Bu Maya tadi, ternyata belum kembali ke ruangannya sendiri. Dia masih berbincang dengan Mario dan Dina di depan ruangan Mario yang berada tepat di samping ruangan Bu Maya, membicarakan tentang perjalanan dinasnya minggu depan. Saat Lalita keluar dari ruangan Bu Maya, kedua bola mata Zidan mengikuti perempuan itu hingga dia sampai di meja kerjanya.

“Apa dia yang menjadi topik hangat di keramaian pagi ini?” tanya Zidan spontan yang dijawab dengan anggukan Dina dan Mario.

“Siapa namanya?” Dia masih mengingat wajahnya saja, belum namanya. Tapi dia bisa menangkap tatapan mata yang berbeda dari para karyawan di lantai tersebut pagi ini kepada perempuan yang baru saja keluar dari ruangan Bu Maya, sehingga dia bisa dengan mudah mengetahui bahwa dialah pemeran utama kehebohan yang dibicarakan pagi ini terutama di lantai 4.

Terpopuler

Comments

Tatik Setyawati

Tatik Setyawati

bagus

2020-02-24

1

Salbiah Sal

Salbiah Sal

mulut manusia lebih tajam dr silet

2020-02-20

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!