Sampai di pintu keluar, cahaya temaram menghiasi sepanjang lorong. Bukannya melegakan, tapi malah membuat suasananya menjadi semakin menyeramkan. Tanpa sengaja Lalita mengeratkan genggaman tangannya. Zidan yang menyadari itu hanya tersenyum tipis, dia pun tidak ingin melepaskan tangan itu. Karena liftnya sudah matiseiring dengan dipadamkannya lampu dan pendingin ruangan, Zidan dan Lalita harus berjalan kaki melewati tangga di ujung gedung, dengan pencahayaan minim yang temaram sama seperti di lorong. Zidan menggandeng tangan Lalita dan menuntunnya melewati banyak anak tangga sampai ke lantai dasar. Setelah sampai, Zidan langsung melepaskan tangan Lalita karena tidak enak jika terlihat satpam yang berada baik di basement maupun di pintu keluar utama.
“Ini pertama kalinya saya pulang kerja selarut ini dan harus mengalami hal seperti ini.” Zidan membuka kancing paling atas kemejanya lalu mengipasi lehernya yang berkeringat dengan tangannya. Dasinya sudah dia lepaskan dari tadi saat membantu Lalita mengerjakan laporan.
“Maaf deh, Pak, gara-gara saya ya.” Lalita pun melakukan hal yang sama, mengipasi lehernya yang berkeringat, bukan melepaskan kancing atas kemejanya. Berdua dengan Zidan tadi membuat suhu tubuhnya naik meskipun pendingin ruangan menyala. Apalagi setelah pendingin ruangannya mati dan mereka harus berjalan kaki melewati tangga dari lantai 4 sampai ke lantai dasar. Bulir-bulir keringat berjatuhan di dalam kemejanya.
“Kita makan dulu yuk? Lapar kan?” ajak Zidan.
“Nggak deh, Pak, saya capek. Lagi pula tadi pagi saya memasak dan masih ada sisa makan di dalam lemari makan saya. Jadi saya mau makan malam di apartemen saja,” tolak Lalita.
“Kamu bisa masak?” Zidan tampak terkejut.
“Bisa dong, Pak.” Lalita tidak terima diberi pertanyaan seperti itu oleh Zidan, dia merasa diremehkan.
“Kalau begitu kapan-kapan saya mau coba masakan kamu.”
“Lain kali ya, Pak. Sekarang saya pamit pulang dulu.”
“Oke. Hati-hati ya nyetirnya, sudah malam.”
Lalu mereka berdua berpisah dan pulang ke apartemen masing-masing.
***
Keesokan harinya rapat dengan BoD berjalan lancar. Karena Zidan sendiri sudah ikut mengerjakan laporannya, jadi dia sudah mengetahui dan memahami isinya dengan baik. Lalita tidak mengikuti rapat itu, hanya Bu Maya dan Zidan. Bu Maya menceritakan jalannya rapat kepada Lalita saat perempuan empat puluh tahun itu sedang berkunjung ke mejanya untuk memberikan dokumen-dokumen yang harus dimintakan tanda tangan kepada dewan direksi.
“Lalita, kenapa saya selalu menemukan kamu di jam seperti ini?” Zidan yang sudah bersiap untuk pulang mendatangi meja Lalita saat dilihatnya perempuan itu masih berada di sana.
“Eh, Pak Zidan, sedang banyak pekerjaan, nih. Bapak juga kan tiap hari pulang malam terus.”
“Saya sih kebanyakan rapat,” Zidan mengeluh.
“Masih lama?” tanya Zidan lagi saat dilihatnya Lalita belum ada tanda-tanda akan segera pulang.
“Tidak, sebentar lagi selesai. Saya tinggal scan surat-surat perjanjian ini lalu mengirimkannya kepada auditor melalui email.”
Zidan melihat ke arah tumpukan dokumen yang dimaksud Lalita.
“Itu tidak akan selesai malam ini. Lagi pula kenapa kamu yang melakukan scan sendiri? Kan bisa minta tolong ke OB.”
“OB kan sudah pulang, Pak jam segini.”
“Apa itu harus dikirimkan malam ini juga?”
“Tidak sih, Pak, saya hanya tidak suka saja kalau harus menunda pekerjaan."
“Kerjakan hari Senin saja, ini sudah malam, ayo pulang dan makan malam dengan saya.”
“Kenapa Bapak suka mengajak saya makan malam sih? Tidak punya teman lain ya?”
“Saya maunya sama kamu.”
Lalita terdiam. Hatinya bergetar mendengar ucapan Zidan.
“Please, saya tidak mau makan sendirian."
“Baiklah. Katakan tempatnya, saya akan menyusul” Akhirnya Lalita setuju setelah mempertimbangkan sejenak ajakan makan Zidan.
“Kenapa kita tidaj berangkat bersama saja sih?”
“Ih, Bapak ini banyak maunya, ya. Saya kan bawa mobil sendiri. Kalau saya ikut mobil Pak Zidan, mobil saya mau dikemanakan?”
Zidan mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.
“Pak Gufron, hari ini pulang duluan saja, Pak. Saya pulang bersama teman saya. Mobilnya bisa diparkir di kantor saja.” Mobil dinas Zidan memang kalau hari Sabtu dan Minggu diparkir di kantor, dia tidak pernah menggunakannya di hari libur.
“Sudah beres, kita pergi naik mobilmu saja.” Zidan tersenyum kepada Lalita yang membuat perempuan itu tersipu malu.
“Tunggu sebentar, saya bereskan ini dulu.”
“Mobil kamu tidak seperti mobil perempuan pada umumnya,” celetuk Zidan di tengah perjalanan, dia yang menyetir mobil Lalita menuju ke arah sebuah mall besar di Surabaya.
“Memangnya mobil perempuan pada umumnya seperti apa, Pak?”
“Macam-macam sih, ada yang mobilnya diganti warna pink, atau ditempel stiker lucu-lucu, kan ada tuh mobil warna pink dengan stiker Hello Kitty full body.” Zidan mengatakannya sambil tertawa.
“Hahahaha, iya ada, Pak, saya beberapa kali melihat mobil seperti itu,” Lalita ikut tertawa bersama Zidan.
“Ada lagi yang mobilnya diisi boneka atau aksesori yang lucu-lucu didalamnya. Ada juga yang di dalam mobilnya penuh dengan berbagai macam barang seperti tas, sepatu, syal, pakaian, dan lainnya.”
Lalita hanya manggut-manggut mendengarnya.
“Jadi saya ini aneh gitu, Pak, maksudnya? Karena mobil saya tidak seperti mobil perempuan pada umumnya seperti yang Pak Zidan bilang tadi?”
“Tidak sih, justru kamu ini normal. Mereka yang lebay dan tidak rapi. Saya justru lebih suka dengan mobil kamu ini. Warnanya hitam, sama dengan mobil saya. Minimalis, rapi, dan berfungsi dengan baik. Kamu pasti rajin merawatnya ya.”
“Bapak tahu saja deh. CFO atau montir sih?”
“Saya laki-laki, Lalita,” kata Zidan sambil menoleh ke arah Lalita, kebetulan sedang berhenti di lampu merah.
“Laki-laki yang menyukai perempuan seperti kamu,” tambahnya saat Lalita membalas tatapan mata itu.
Mendengar ucapan Zidan, Lalita segera memalingkan mukanya. Dia ingin menyembunyikan rona merah yang mendadak muncul di kedua pipinya. Sudah terlalu lama Lalita melupakan rasa ini. Rasa berdebar saat seorang laki-laki mengatakan suka kepadanya.
Ah, sepertinya aku terlalu percaya diri, Pak Zidan kan hanya mengatakan kalau dia menyukai perempuan sepertiku, bukan berarti Pak Zidan menyukai aku, batin Lalita dalam hati.
Karena saat itu Jumat malam, mall-nya sangat ramai. Zidan dan Lalita naik ke dalam lift untuk mencapai lantai lima dimana tempat makan yang mereka tuju berada. Liftnya penuh sesak, Lalita sampai mundur dan hampir terjepit di belakang. Entah berapa kapasitas maksimal lift itu, kenapa tidak juga berbunyi meski sudah banyak orang yang masuk kedalamnya. Zidan menempatkan dirinya di depan Lalita dan berdiri sangat dekat dengannya karena terdesak. Lalita merasakan suhu tubuhnya meningkat berada sedekat ini dengan Zidan.
Setelah sampai di lantai lima, Zidan dan Lalita berjalan menuju ke tempat makan tujuan mereka, sebuah restoran semi café yang menyajikan berbagai jenis minuman dan camilan seperti yang biasanya ada di menu café. Sebagian dari restoran itu berada di luar ruangan, sehingga bisa menyaksikan pemandangan malam kota Surabaya dari lantai lima di mall tersebut. Lalita menarik sebuah kursi di salah satu meja yang berada di luar ruangan. Angin malam berhembus dengan cukup kencang di tempat itu.
“Kamu serius mau makan di sini?” tanya Zidan saat melihat Lalita sudah duduk manis di kursinya. Seorang pelayan tadi sudah memberikannya buku menu, lalu meninggalkan mereka untuk melihat-lihat dulu daftar menunya. Mereka harus memanggilnya lagi saat sudah menentukan menu apa yang akan dipesan.
“Iya, memangnya kenapa? Pak Zidan tidak suka?” jawab Lalita tanpa mengalihkan pandangannya dari buku menu.
“Berdiri.”
“Kalau Pak Zidan tidak suka, Bapak makan di tempat lain saja. Saya mau makan di sini pokoknya,” Lalita masih asyik membaca buku menu dihadapannya.
“Saya bilang berdiri. Sekarang.”
“Tidak mau, sudah nyaman di sini.”
Perempuan ini benar-benar menguji kesabaranku, kenapa dia keras kepala sekali sih? batin Zidan dalam hati.
“Jangan bikin saya memaksa kamu untuk berdiri ya,” ancam Zidan.
Lalita akhirnya menutup buku menu dengan cepat, lalu berdiri dan menghadap ke Zidan.
“Mau Bapak apa, sih?! Tadi kan Bapak sendiri yang mengajak saya makan dan menyuruh saya yang memilih tempatnya sesuai keinginan saya. Kenapa sekarang marah-marah?” Lalita menyerbu Zidan dengan kemarahannya.
Zidan mendekati Lalita lalu memakaikan jas kerja yang tadi sudah dia lepaskan sebelumnya saat Lalita sedang asyik melihat-lihat buku menu. “Saya cuma mau memakaikan ini saja. Anginnya kencang di sini, sedangkan pakaianmu hari ini cukup tipis, saya tidak mau kamu kedinginan.”
Setelah selesai memakaikan jas kerjanya di tubuh Lalita yang menurut saja memakainya, Zidan meletakkan kedua telapak tangannya ke leher Lalita dan mengeluarkan rambut panjangnya yang tertutupi jas kerja. Saat tangan Zidan menyentuh lehernya, Lalita merasakan sengatan listrik menjalari seluruh tubuhnya dan lagi-lagi membuat pipinya merona merah.
Zidan meletakkan kedua tangannya di pipi kanan dan kiri Lalita. “Apakah kamu sudah mulai kedinginan? Kenapa pipimu memerah?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments