“Adit? Darimana kamu tahu tempat tinggalku?” tanya Lalita sambil melepaskan lengannya dari tangan Zidan yang untungnya kooperatif saat itu.
“Selama ini kamu menyembunyikan tempat tinggalmu dariku, agar aku tidak tahu kalau kamu suka membawa pulang laki-laki lain ke apartemenmu?” Adit mendekati Lalita.
“Dia hanya mengantarkanku pulang,” jawab Lalita dengan tenang, berusaha tidak terbawa emosi karena Adit sudah menuduhnya yang tidak-tidak.
“Hanya mengantarkanmu pulang? Lalu setelah itu apa yang akan kalian berdua lakukan di dalam apartemen sempit itu?”
“Itu bukan urusanmu.”
“Bagaimana ini bukan urusanku? Aku mencintaimu. Kamu…”
“Aku sudah bukan istrimu lagi.”
Adit menelan ludahnya, mendengarkan kenyataan pahit yang keluar dari mulut Lalita. Dia menatap ke dalam bola mata Lalita yang besar dan cantik.
“Baiklah. Maafkan aku. Kamu boleh lakukan apa pun dengannya. Terserah.” Adit menatap tajam Zidan sebentar lalu pergi meninggalkan apartemen Lalita.
“Maaf ya, Pak Zidan, atas drama barusan,” kata Lalita setelah kepergian Adit.
“It’s fine. Kamu buruan masuk dan istirahat sana.”
“Makasih, Pak, sudah diantarkan pulang. Bapak hati-hati di jalan,” kata Lalita sebelum kemudian menghilang masuk ke dalam apartemennya.
***
“Untung hari ini tidak banyak rapat seperti kemarin. Kalau tidak bisa gagal lagi acara makan malam kita.”
Zidan dan Lalita saat ini sedang duduk berdua berhadap-hadapan di sebuah Japanese BBQ Restaurant, Zidan yang memilih tempat itu. Lalita sama sekali belum pernah masuk ke restoran itu, karena dari luar saja sudah tampak mahal. Tadi waktu pelayan datang, Zidan langsung mengatakan “exclusife buffet untuk dua orang”. Lalita sama sekali tidak tahu apa artinya itu, dia hanya berpikir kalau bosnya itu sepertinya dengan senang hati akan menguras habis isi dompetnya malam ini. Karena di depan pintu masuk restoran tadi ada tiga pilihan menu yaitu standard, premium, dan exclusive.
Zidan memilih yang exclusive berarti itu yang paling mahal kan, pikir Lalita.
Tidak lama kemudian datang seorang pelayan menyalakan kompor yang berada di bawah meja dengan memutar kenop yang berada di samping meja dan menyiapkan barbeque grill atau alat pemanggang yang berada di tengah-tengah meja diantara Zidan dan Lalita. Setelah itu datang lagi pelayan membawakan irisan daging-daging mentah yang berada di dalam wadah semacam guci tapi kecil, ada juga yang berada di atas piring kecil dengan irisan tipis panjang atau irisan tebal tapi pendek. Ada juga daging putih lebar di atas piring datar, dan juga beberapa potong ayam.
“Pak, jujur saya tidak pernah makan di tempat seperti ini. Saya tidak familiar dengan semua ini. Bagaimana cara masaknya? Bagaimana cara makannya?”
“Serius? Padahal ini enak sekali lho. Selama ini kamu tidak pernah makan di tempat seperti ini?”
Zidan lalu menjelaskan kalau di Japanese BBQ Restaurant ini metodenya adalah all you can eat, jadi mereka bisa memesan apa saja asalkan habis dalam waktu 90 menit, jika lebih maka harus membayar tambahan biaya di luar biaya buffet yang sudah mereka pilih sebelumnya.
“Lalu apa bedanya yang standard, premium, dan exclusive? Dan kenapa Pak Zidan memilih yang exclusive?”
“Perbedaannya terletak di variasi menu yang bisa kita pesan. Semakin mahal semakin bisa memilih banyak jenis daging. Exclusive buffet adalah paket yang paling mahal, jadi kita bisa memesan semua yang ada di daftar menu.”
Lalu Zidan menjelaskan jenis-jenis daging yang sudah dia pesan, sambil memasukkan satu-persatu daging-daging itu ke atas alat pemanggang yang sepertinya sudah panas.
“Karena ini kali pertama kamu, dan kamu yang mentraktir saya, malam ini biar saya yang memanggang semua daging-daging ini buat kamu. Sambil menunggu dagingnya matang, kamu bisa makan side dish dulu saja.”
Lalita paham yang dimaksud dengan side dish adalah chicken karaage, karena itu adalah satu-satunya makanan yang sudah matang di atas meja. Lalita mengambil chicken karaage dan memakannya dengan sumpit, sambil membatin karena seharusnya ayam tersebut enaknya dimakan langsung dengan tangan saja.
“Jadi selama ini kamu kalau makan dimana? Kok bisa tidak pernah datang ke restoran seperti ini?” tanya Zidan sambil menggunting daging menjadi kecil-kecil agar bisa dimasukkan ke dalam mulut dalam sekali suap.
“Kebanyakan di tempat makan pinggir jalan, kaki lima gitu, atau di restoran cepat saji, kadang di hotel kalau sedang ada moment tertentu. Biasanya saya ngikut teman-teman saja sih.”
“Kalau dengan suami kamu dulu?”
“Lebih banyak ke café atau tempat makan lainnya yang free smoking.”
“Kalau boleh tahu, kenapa kalian berpisah? Sepertinya dia masih sangat mencintaimu.”
Lalita diam saja sambil mengunyah potongan ayam di dalam mulutnya.
“Sorry kalau terlalu personal. Tidak usah dijawab kalau memang tidak mau.” Zidan meletakkan beberapa potong daging yang sudah matang ke atas piring Lalita.
“Dia memang masih mencintai saya. Tapi dia tidak bisa berkomitmen, dia bukan orang yang bisa menjalani sebuah pernikahan. Menurut saya dia lebih cocok hidup sendirian saja.”
“Maksudnya dia berselingkuh?”
“Something like that.” Sebenarnya bukan berselingkuh, karena kalau berselingkuh hanya dengan satu orang perempuan saja. Tapi Adit lebih tepatnya tidak bisa hidup hanya dengan satu orang perempuan saja, dia menyukai semua kegiatan dengan perempuan, banyak perempuan. Lalita hanya tidak ingin menjelaskan lebih banyak kepada Zidan.
“Ayo makan. Bisa dicocolkan ke saus-saus itu, atau dimakan dengan kimchi, atau dibungkus dengan daun slada. Coba saja dulu semuanya, nanti baru kamu pilih cara mana yang paling kamu suka,” kata Zidan setelah piringnya sudah sama penuhnya dengan daging di atas piring Lalita.
Lalita mencoba mencocolkan daging ke dalam saus, ada saus yang manis dan ada yang pedas, karena tidak suka pedas dia mencocolkannya ke dalam saus yang manis. Lalu Lalita mencoba potongan daging ke dua dimasukkan dan dibungkus dengan daun slada. Tapi akhirnya dia memutuskan menyukai cara memakan daging-daging panggang itu dengan dimasukkan ke dalam daun slada bersama dengan kimchi, lalu memasukkannya ke dalam mulut dan memakan semuanya jadi satu. Memang rasanya lezat sekali. Zidan benar.
“Hm… This is delicious,” Lalita sambil tersenyum dan mengangkat jempolnya.
“Like what I said,” Zidan pun tersenyum, merasa senang bisa membawa Lalita makan di sini dan merasakan makanan lezat yang selama ini dia sukai.
Setelah daging-daging itu habis, Zidan memesan lagi banyak daging sama seperti pesanan yang pertama. Kali ini Lalita yang memasukkan dan memanggang dagingnya, karena dia sudah paham setelah melihat Zidan melakukannya tadi. Saat Lalita memanggang, Zidan memperhatikan wajah Lalita dengan seksama.
Tidak terlalu cantik, tapi cukup manis. Sudah jelas bukan perawan, tapi tidak terlalu masalah, tubuhnya juga masih bagus, mungkin karena dia belum punya anak. Cukup menarik, kata Zidan dalam hati sambil memperhatikan Lalita.
“Maaf, lima belas menit lagi waktunya habis. Sekarang bisa memesan dessert,” kata seorang pelayan yang mendatangi meja saat Zidan dan Lalita sedang duduk diam karena kekenyangan.
“Empat puding dan empat es krim,” kata Zidan.
“Empat?” tanya Lalita setelah pelayannya pergi mengambil pesanan Zidan.
“Dua untuk kamu dan dua untuk saya,” jawab Zidan santai.
“Pak Zidan belum kenyang?”
“Sudahlah, porsinya kecil kok, tapi rasanya sangat lezat. Pesan satu tidak akan cukup, kamu harus percaya sama saya.” Zidan mengerlingkan sebelah matanya yang lalu membuat Lalita tersipu malu.
Dan ternyata ucapan Zidan memang benar. Es krim vanilla disiram bubuk matcha dan karamel serta puding susu dengan kuah karamel itu memang sangat lezat sekali, dan porsinya kecil, pesan satu tidak akan cukup untuk memuaskan lidah mereka. Setelah itu pelayan datang membawakan bill. Zidan langsung mengambil kartu kredit dari dalam dompetnya dan menyerahkannya kepada pelayan itu tanpa melihat bill-nya terlebih dahulu.
“Lho, Pak, kan seharusnya saya yang bayar, saya kan sudah janji mau mentraktir Bapak,” sanggah Lalita yang sedang membuka dompetnya saat melihat Zidan memberikan kartu kredit kepada pelayan.
“Saya kan cuma bercanda. Mana tega saya menyuruh kamu mentraktir saya.”
“Ya tidak apa-apa, kan Bapak juga sudah memberi saya hadiah yang mahal juga.”
“Sudahlah, La.”
“Tidak bisa begitu, Pak, kalau Bapak tidak mau saya yang mentraktir, saya akan mengembalikan hadiah dari Pak Zidan.”
“Kamu sebegitunya ingin mengembalikan hadiah dari saya. Sepertinya kamu memang tidak menyukainya ya? Kamu tidak mau memakainya? Biasanya kan perempuan sangat menyukai hal-hal seperti itu.”
“Saya sengaja masih menyimpannya utuh sama seperti ketika saya menerimanya. Saya mengantisipasi jika ada kejadian seperti ini.”
“Saya sudah pernah bilang ke kamu, kalau saya tidak suka dengan penolakan.” Zidan menegakkan tubuhnya.
“Dan sekarang saya mau bilang ke Bapak, kalau saya tidak suka menerima hadiah dengan cuma-cuma dari orang yang jelas bukan keluarga atau teman baik saya. Karena saya percaya tidak ada yang gratis di dunia ini.” Lalita juga ikut menegakkan tubuhnya.
Zidan terdiam dan tampak sekali di wajahnya kalau dia terkejut mendengar ucapan Lalita.
“Katakan, apa maksud Pak Zidan memberikan saya hadiah? Apa timbal balik yang Bapak harapkan dari saya?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments