Perempuan itu begitu cantik, dengan rambut panjang berwarna hitam dan beberapa highlight merah terang berantakan di sekitar wajahnya. Matanya terpejam dan wajahnya tampak sama dengan Zidan, menyiratkan kelelahan dan kurang tidur. Zidan masuk ke kamar lalu mencari suara ponsel Lalita, dia pun menemukannya di bawah tempat tidur. Zidan mengambilnya lalu menarik tangan Lalita, tapi perempuan itu tidak bergeming. Lalita yang masih shock, matanya masih terfokus pada perempuan cantik yang berbaring di atas tempat tidur Zidan tanpa tertutup sehelai benang pun, dengan bentuk tubuh yang akan membuat kaum adam tergiur dan kaum hawa iri. Zidan mengambil selimut dan menutup tubuh perempuan itu, lalu menarik tangan Lalita dengan lebih keras dan membawanya keluar dari kamar.
"Ini ponselmu," Zidan memberikan ponsel Lalita. "Kenapa bisa ada di dalam kamarku?" Zidan penasaran, karena sepengetahuannya Lalita belum pernah masuk ke kamarnya.
"Katakan ini hanya salah paham," ujar Lalita sambil menerima ponsel dari tangan Zidan. Dia mengabaikan pertanyaan Zidan, selain karena dia tidak bisa menjawabnya, menurutnya itu bukan prioritas utama saat ini. Matanya menatap ke dalam bola mata Zidan, berusaha mencari sebuah penjelasan dari mata tersebut.
"Ya, memang ada kesalahpahaman di antara kita," Zidan membalas tatapan mata Lalita.
Lalita mencoba mencerna jawaban Zidan, juga tatapan matanya. Laki-laki itu bukannya mencoba menjelaskan atau meminta maaf, tapi tampak santai dan kata-katanya terdengar sedikit aneh. Sungguh terlalu santai untuk seorang laki-laki yang semalam baru saja mengatakan cinta kepadanya dan pagi ini sudah ketahuan bersama perempuan lain.
"Duduklah dulu, kita bicarakan baik-baik." Zidan mendudukkan Lalita di sofa ruang tengah.
"Aku ambilkan minum dulu, tunggu di sini."
Zidan datang membawakan Lalita segelas air mineral dingin, yang langsung diminumnya sampai habis.
"Apa kamu mau bilang kalau apa yang aku lihat barusan hanya salah paham?" akhirnya Lalita bisa mengeluarkan suaranya.
"Tidak. Yang itu bukan salah paham."
"Maksudnya?" Lalita semakin bingung.
"Apa yang kamu pikirkan saat melihat perempuan itu di dalam kamarku tadi?"
"Kalian pasti make love semalaman. Wajah kalian sama-sama tampak lelah dan kurang tidur." bibir Lalita bergetar karena berusaha menahan emosinya.
"Ya, itu benar, makanya aku bilang kalau yang satu itu bukanlah salah paham."
Lalita terkejut. "Apa?! Jadi bagian mana yang merupakan salah paham di antara kita?" Lalita hampir tidak kuat menahan emosinya, tapi harus tetap menahannya karena kalau tidak dia pasti akan menangis. Dan Lalita tidak ingin menangis di hadapan Zidan, terutama untuk saat ini.
"Salah pahamnya antara aku dan kamu saja. Aku sebenarnya tidak pernah menyukaimu."
"Apa?" Lalita berharap dia salah dengar.
"Aku tidak pernah menyukaimu. Kamu jelas bukan tipeku."
"Lalu apa yang kamu lakukan selama ini? Dan semalam...." Lalita tidak perlu mengatakannya. Apa yang terjadi semalam masih sama-sama tercetak jelas baik di otak Zidan maupun Lalita. Bahkan Lalita masih bisa mengingat rasa bibir Zidan di dalam mulutnya.
"Aku hanya ingin membuktikan hipotesaku,”
"Hipotesa? Hipotesa apa yang kamu maksud?"
"Hipotesaku bahwa semua perempuan pasti menyukaiku."
"Hah?" Lalita sejujurnya tidak mengerti arah pembicaraan Zidan.
"Pertama kali aku masuk ke kantor, tatapan semua perempuan terfokus padaku, mereka semua melihatku dan sepertinya memujaku. Memang seharusnya seperti itu, mengingat aku memiliki semuanya. Look at me. I have a good face, good body, good career, and much money. I have everything," Zidan berhenti untuk mengambil napas panjang. "Tapi kamu adalah satu-satunya perempuan yang memiliki tatapan berbeda dari semuanya. Kamu acuh padaku, kamu tidak peduli padaku, dan sepertinya kamu sama sekali tidak tertarik dengan diriku dan semua yang aku punya. Itu sungguh melukai harga diriku. Aku tidak percaya ada perempuan yang tidak tertarik kepadaku. Lalu akhirnya aku mulai mendekatimu untuk membuktikan hipotesaku."
"Dan hasilnya?"
"Hasilnya sudah jelas kan, aku berhasil membuktikan bahwa hipotesaku benar. Kamu mungkin sama sekali tidak melihatku saat pertama kali, tapi setelah sedikit usaha, pada akhirnya kamu tetap saja jatuh ke dalam pelukanku. Aku bahkan sudah berhasil menciummu. Kamu hanya sedikit jual mahal di antara banyak perempuan lainnya. Namun kamu tetap saja perempuan yang tidak bisa menolak diriku."
Lalita tidak sanggup lagi menahan emosinya. Sebutir air mata lolos dari pertahanannya dan meluncur jatuh dengan mulus melewati pipinya. Zidan membersihkan air mata itu dengan jarinya, tapi Lalita menepisnya.
Ceklek.
Pintu kamar Zidan terbuka, Zidan dan Lalita sama-sama langsung menoleh ke arah suara tersebut. Perempuan yang tidur tadi sekarang sudah bangun dan berpakaian lengkap, hot pants dan tank top dengan outer kemeja lengan panjang yang tidak bisa menutupi dengan baik tubuh seksinya.
"Ups, sori, aku tidak tahu ada tamu," kata perempuan itu saat melihat Lalita.
"Kamu sudah mau pulang?" tanya Zidan sambil berdiri dan menghampiri perempuan itu.
"Iya. Capek sekali, badanku sakit semua. Aku mau istirahat dulu di mess. Tapi kalau kamu butuh aku, kamu bisa kapan pun meneleponku," perempuan itu merangkulkan tangannya ke leher Zidan.
Zidan mengeluarkan uang dari dompetnya dan memberikan beberapa lembar seratus ribuan kepada perempuan itu.
"Thanks, Babe." Perempuan itu menyarangkan bibirnya di bibir Zidan, lalu mereka berdua berciuman dengan sangat menjijikkan tanpa peduli bahwa ada Lalita di sana.
Lalita membuang pandangannya ke arah lain, arah manapun selain pemandangan menyakitkan itu. Terakhir Lalita lihat, tangan perempuan itu masuk ke dalam kaos Zidan dan membelai punggungnya. Namun Lalita tidak ingin pergi, dia harus mendapatkan jawaban dari Zidan saat ini juga, agar dia tidak perlu menemuinya lagi lain kali. Lalita tahu kalau perempuan itu sudah pergi saat dia mendengar pintu apartemen Zidan menutup dan laki-laki itu sudah kembali duduk di sampingnya.
"Aku ingin tetap melanjutkan hubunganku denganmu, karena sejujurnya meski awalnya ini kulakukan hanya untuk membuktikan hipotesaku, tapi seiring berjalannya waktu aku merasa nyaman bersama denganmu. Aku benar-benar ingin menyembuhkan luka di hatimu yang timbul karena mantan suamimu, karena kusadari hal itulah yang membuatmu bersikap berbeda kepadaku. Aku jujur dengan perkataanku yang satu ini."
"Kamu tidak akan bisa menyembuhkannya. Apalagi setelah apa yang kamu lakukan ini, kamu hanya membuat lukanya terbuka semakin lebar."
"Aku minta maaf. Aku tidak tahu ada luka sebesar itu di hatimu."
"Rencananya, sampai kapan kamu akan mempermainkanku seperti ini? Seandainya saja aku tidak datang pagi ini, kamu pasti tidak akan pernah mengatakan semua kebohonganmu ini kan?"
"Ya, mungkin aku akan tetap bersandiwara denganmu, dan memutuskanmu pelan-pelan suatu saat nanti. Entahlah, aku juga belum merencanakan sejauh itu."
Lalita kembali meneteskan air mata.
"Hei, aku minta maaf." Zidan merasa bersalah meski dia melakukan semuanya dengan sengaja.
"Sudah terlanjur terjadi, minta maaf tidak ada gunanya." Lalita lalu berdiri. "Baiklah, aku pulang. Sekarang semuanya sudah jelas. Kamu menang dan aku kalah." Lalita lebih memilih berdamai dengan keadaan daripada harus meluapkan emosinya.
"La, kita masih bisa berteman."
"Kamu bercanda ya. Sejak awal seharusnya kita tidak bertemu. Sebaiknya setelah ini kita tidak usah bertemu lagi," Lalita lalu pergi meninggalkan apartemen Zidan.
Setelah kepergian Lalita, Zidan menarik napas panjang dan menutup matanya. Seharusnya dia merasa senang karena sudah berhasil membuktikan hipotesanya, tapi kenapa dia jadi galau seperti ini?
Memang benar bahwa dia merasa senang sebelumnya, dia juga merasa nyaman bersama dengan Lalita. Perempuan itu menyenangkan, dia membawa energi positif dalam kehidupannya. Kehadiran Lalita di kantor membuatnya bersemangat dalam bekerja setiap hari.
Semalam saat Zidan menciumnya, dia sangat bahagia, jantungnya berdebar, dan hawa nafsu yang selama ini tidur telah terbangun. Tapi Lalita malah ingin pulang dan dengan bodohnya Zidan mengizinkannya pulang. Akhirnya dengan terpaksa dia menelepon seorang kenalannya yang bekerja di klub malam, dan memintanya mengirimkan seorang perempuan bayaran ke apartemennya.
Setelah perempuan itu datang, Zidan langsung menidurinya tanpa perasaan. Zidan meluapkan semua birahinya yang sudah terbangun gara-gara Lalita. Semalaman dia tidak bisa tidur gara-gara memikirkan Lalita. Meski perempuan itu merintih kesakitan atau kelelahan dan memintanya berhenti, Zidan tidak peduli. Dia tetap menidurinya sampai tenaganya habis dan tidak bisa memikirkan Lalita lagi. Bagaimanapun dia hanyalah perempuan bayaran, kenapa harus repot-repot memikirkan perasaannya?
Tapi semuanya jadi kacau gara-gara Lalita datang ke apartemennya pagi ini. Apalagi Lalita melihat semuanya dengan kedua matanya sendiri. Sejujurnya Zidan tidak ingin menyakitinya seperti ini. Dia hanya ingin mendekatinya sedikit saja dalam proses pembuktian hipotesanya lalu meninggalkannya perlahan. Namun dalam perjalanannya Zidan menjadi lebih mendekati dan menyukai Lalita lebih jauh. Zidan sadar dia salah. Dan sekarang Zidan bingung dengan perasaannya terhadap Lalita.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Sri Widayati
😓😭
2024-08-14
0
Yuni Wah
yaampun nyesek bacanya tor
2020-02-21
4