Chapter 14

"Apa? Ke Singapura?" tanya Lalita, berharap pendengarannya salah saat Bu Maya mengatakan kepadanya untuk mendampingi Zidan perjalanan dinas ke Singapura selama tiga sampai lima hari ke depan.

"Iya, Pak Zidan ada rapat dengan pihak bank di sana, karena perusahaan kita sedang mengajukan hutang untuk investasi jangka panjang," Bu Maya menjelaskan.

"Kenapa saya?" Lalita berharap bisa menolak tugas ini. "Kan Bu Maya yang lebih paham."

"Saya harus ada di kantor, besok ada rapat dengan BoD dan lusa saya juga ada pelatihan."

"Mas Jay?" Lalita masih berusaha.

"Kamu lupa ya, istrinya kan mau melahirkan. Dia sedang jadi suami siaga beberapa hari ke depan." Untungnya Bu Maya dengan sabar menjawab semua pertanyaan Lalita.

Lalita diam, dia tidak punya harapan untuk menolaknya.

"Apa Pak Zidan sudah tahu kalau saya yang akan mendampingi dia pergi ke Singapura?"

"Dia sudah tahu dan sudah setuju juga. Sepertinya dia sudah menganggap kemampuanmu cukup memadai untuk mendampinginya. Kamu harus bangga karena dia mengakuimu."

Lalita masih duduk mematung di kursi di hadapan Bu Maya. Seandainya Bu Maya tahu apa yang telah terjadi diantara dirinya dan Zidan.

"Kenapa? Kamu ada masalah sama Pak Zidan?"

"Tidak ada, Bu, cuma saya mendengar kabar kalau dia akhir-akhir ini suka marah-marah."

"Iya memang akhir-akhir ini Pak Zidan lebih pemarah daripada sebelumnya. Mungkin dia sedang ada masalah pribadi. Kamu yang sabar ya nanti kalau menghadapi dia."

Lalita memang benar mendengar kabar dari beberapa orang yang berhubungan langsung dengan Zidan atau yang setiap hari berinteraksi dengannya, katanya sejak satu bulan yang lalu Zidan suka marah-marah. Sedikit kesalahan saja bisa membuatnya langsung marah hingga berteriak atau menggebrak meja. Mbak Dina sendiri juga kewalahan menghadapinya.

Satu bulan yang lalu, itu adalah saat Lalita meninggalkan apartemennya dengan air mata bercucuran setelah mengetahui kebohongan Zidan. Aneh kalau semenjak saat itu Zidan jadi suka marah-marah di kantor. Padahal kan dia menang dan Lalita yang kalah, seharusnya dia menjadi pihak yang berbahagia dan Lalita menjadi pihak yang marah, sedih, atau depresi. Tapi ini yang terjadi malah sebaliknya.

Lalita memang bersedih dan menangis, tapi cukup sehari saja, keesokan harinya dia sudah beraktivitas seperti biasa. Lalita sudah pernah merasakan sakit hati yang lebih parah saat bersama Adit. Apa yang dilakukan Zidan memang menyakitinya, tapi Lalita belajar untuk bisa cepat melupakannya. Saat bertemu Zidan di kantor dia mengabaikannya. Sikapnya sama persis dengan saat pertama kali Zidan masuk di kantor itu. Lalita bersikap cuek dan tidak peduli dengan kehadirannya.

Berbanding terbalik dengan Zidan, setelah kepergian Lalita hari itu, dia berubah menjadi sosok laki-laki pemarah. Dia yang menyakiti Lalita, tapi entah kenapa dia merasa sakit hati sendiri. Setiap melihat Lalita dia menjadi sedih dan terluka, Zidan juga merasa marah karena perempuan itu seolah menganggapnya tidak ada. Kemarahan terbesar Zidan adalah karena Lalita yang dia sakiti terlihat jauh lebih baik-baik saja daripada dia yang menyakitinya. Karena itulah Zidan melampiaskan kemarahannya kepada orang yang sedang berada di dekatnya saat itu.

Tidak profesional? Main perasaan? Tidak mungkin, itu jelas sama sekali bukan diriku. Zidan terus berpikir, sebetulnya dia sendiri merasakan perubahan pada dirinya. Kalau dulu saat bersama Lalita, Zidan jadi semangat bekerja, semangat makan, dan semangat dalam bersosialisasi baik dengan koleganya maupun dengan temannya yang lain. Dia bahkan semangat tidur karena keesokan harinya setelah bangun akan melihat Lalita lagi.

Namun semenjak Lalita meninggalkannya, semuanya langsung lenyap. Zidan kehilangan semangatnya, hawa positif tidak lagi melingkupinya, sekarang dia hanya bergumul dengan hawa negatif ciptaannya sendiri. Zidan marah-marah di manapun dia berada. Saat di apartemen dia merasa kesepian. Beberapa kali dia pergi ke klub malam dengan Mario, manajer pajak yang menjadi teman dekatnya sejak masuk di PT. CJR, lalu minum banyak alkohol untuk melepaskan kerisauan di hatinya. Beberapa kali juga dia one night stand dengan perempuan yang dia temui di klub malam. Tapi semua yang dilakukannya tidak ada yang bisa membuatnya melupakan Lalita. Zidan menjadi tidak ada nafsu makan dan tidak bisa tidur dengan nyenyak di malam hari.

Beberapa kali Zidan pulang malam dan melihat Lalita masih berada di meja kerjanya, tapi dia tidak berani menghampirinya. Beberapa kali juga dia melihat Lalita di tempat parkir pergi bersama teman-temannya, dan hatinya merasa panas saat melihat Lalita tersenyum dan tertawa terbahak-bahak bersama teman-temannya yang sebagian besar laki-laki.

Braakkk...

Zidan melemparkan buku catatannya dengan keras ke atas meja. Kepalanya pusing. Dia baru saja kembali ke ruangannya setelah rapat dengan BoC dan BoD, mereka mempercayakan perihal mencari sumber dana untuk rencana investasi jangka panjang perusahaan kepadanya. Besok ke Singapura, dia harus melobi beberapa bank untuk mau memberikan pinjaman yang cukup besar kepada perusahaannya. Melobi Lalita untuk memaafkannya saja dia tidak sanggup, bagaimana dia akan percaya diri untuk melobi bank dan memberikan pinjaman dalam jumlah besar kepadanya. Zidan sedang berada di titik terbawah tingkat kepercayaan dirinya saat ini, sebuah kondisi yang baru pertama kali ini dirasakannya.

Tok tok tok...

"Ada apa?" Zidan berteriak tanpa melihat siapa yang datang.

"Maaf, apa saya mengganggu? Ada yang mau saya bicarakan dengan Bapak."

Suara itu... Zidan menoleh dan melihat sesosok perempuan yang tidak pernah pergi dari pikirannya selama sebulan belakangan.

"Duduklah," Zidan menurunkan nada bicaranya, dia mempersilakan Lalita duduk dan dia sendiri juga duduk di kursinya.

"Ada apa?" Zidan bertanya dengan sopan setelah melihat Lalita duduk di hadapannya.

"Saya ingin bertanya, apa saja yang harus saya siapkan untuk perjalanan dinas ke Singapura besok?"

Siapkan hatimu, aku ingin kita berbaikan. Zidan menatap wajah Lalita penuh kerinduan.

"Pak?" Lalita memanggilnya lagi dan membuyarkan pandangan dan pikiran Zidan.

"Eh, yang jelas bawa laptop dan file laporan keuangan, serta softfile akta pendirian perusahaan dan company profile. File lainnya nanti bisa minta kirimkan dari kantor saja kalau kamu tidak punya. Saya sudah minta Bu Maya dan Dina untuk standby kalau sewaktu-waktu kita di sana memerlukan dokumen yang tidak kita bawa. Untuk printer bisa sewa di sana, kertas dan stationary lainnya juga beli di sana saja, biar tidak berat bawaannya. Saya tidak tahu akan berapa lama di Singapura besok, tergantung berapa banyak bank dan berapa lama waktu yang mereka perlukan untuk menyetujui pinjaman kita. Tidak perlu bawa baju ganti terlalu banyak, kita bisa laundry di hotel saja, daripada harus membawa terlalu banyak barang. Karena saya tidak suka ribet di airport cuma gara-gara menunggu bagasi yang terlalu lama," Zidan menjelaskan panjang lebar sambil matanya tidak pernah lepas dari mata Lalita.

"Baiklah, saya paham." kemudian Lalita berdiri.

"Saya jemput kamu besok pagi. Kita ke airport bersama," entah kenapa kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Zidan.

"Tidak usah, Pak, saya bisa berangkat sendiri. Kita bertemu di airport saja. Saya akan datang satu jam sebelum jam keberangkatan."

"La..."

"Kalau tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, saya permisi."

"Baiklah, kamu boleh pergi."

Keesokan harinya, mereka sudah berada dalam pesawat yang membawanya ke Singapura. Untungnya Zidan ada di kelas bisnis sedangkan Lalita ada di kelas ekonomi, sehingga mereka tidak perlu bertemu dan duduk bersebelahan dengan canggung di dalam pesawat. Tapi ketika naik taksi menuju ke hotel, mereka sama-sama duduk di belakang dan saling diam selama perjalanan.

"Kamu tunggu di hotel saja selama saya pergi. Tolong minta petugas mengantarkan barang-barang saya ke kamar. Sepertinya saya hampir terlambat untuk datang ke pertemuan dengan Bank GED," Zidan memberikan instruksi kepada Lalita sebelum ditinggal pergi.

"Lho, saya tidak perlu ikut menemani Bapak ke pertemuan itu?" tanya Lalita yang kebingungan.

"Tidak usah, saya bisa menghadiri sendiri pertemuannya. Saya sudah bawa tiga set laporan keuangan di dalam tas kerja saya untuk pertemuan hari ini."

Lalita ingat dengan baik jadwal Zidan, jam 10 pagi meeting dengan Bank GED, jam 1 siang meeting dengan Bank SDB dan jam 4 sore meeting dengan Bank BCHS.

"Tunggu sebentar, Pak, kita bisa minta tolong ke petugas hotel untuk mengantarkan barang-barang kita ke kamar, lalu saya bisa menemani Bapak untuk datang ke tiga pertemuan itu." Lalita merasa tidak enak kalau dia tidak ikut pergi dan mendampingi Zidan menghadiri pertemuan, padahal itulah tugasnya selama perjalanan dinas ini.

"La, saya tidak nyaman pergi bersama orang yang tidak mau melihat saya dan berbicara dengan saya." Zidan lalu berbalik dan meninggalkan Lalita yang masih berdiri di lobby.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!