“HAPPY BIRTHDAY!”
Lalita menoleh, dibelakangnya sudah ada Mas Jay membawa kue tart cokelat yang terlihat menggiurkan dengan lilin angka 34 sesuai usianya hari ini. Bu Maya membawa sebuah bungkusan kertas kado gambar polkadot ungu sebesar kotak sepatu. Lilac, Reeta, Adriel, Anton, Radit, dan beberapa bawahannya yang lain serta tim bagian pajak yang berdekatan tempat kerjanya dengan tim akuntansi, menyanyikan lagu ulang tahun dengan keras. Keramaian tersebut menyebabkan teman-teman bagian Finance and Accounting yang lain ikut datang dan bergabung. Suara nyanyiannya menjadi lebih keras daripada sebelumnya. Bahkan Zidan pun sampai datang dan melihat keramaian tersebut. Ketika Zidan datang, semua mengecilkan volume suaranya, takut dimarahi. Mereka lupa kalau ada CFO baru, mereka tidak tahu apakah CFO baru tersebut merasa terganggu atau tidak dengan keramaian semacam itu yang sebenarnya sudah biasa terjadi saat ada yang berulang tahun.
“Lho kenapa diam? Ayo menyanyi lagi,” kata Zidan yang merasa keramaiannya langsung surut setelah dia datang.
Merasa sang CFO tidak keberatan, mereka kembali bernyanyi dengan keras dan ceria.
“Ayo tiup lilinnya, jangan lupa make a wish dulu.” Mas Jay mendekatkan kue tart ke depan wajah Lalita.
Lalita mengatupkan kedua telapak tangannya dan menutup mata. Dia berdoa dalam hati semoga selalu diberkahi dengan kesehatan dan sukses dalam karirnya, tidak lupa juga berdoa agar Tuhan segera mempertemukan dia dengan jodohnya lagi yang lebih baik daripada sebelumnya. Lalita membuka mata dan meniup lilin di atas kue tart. Setelah lilinnya padam, semua bertepuk tangan dan bergantian bersalaman dengan Lalita disertai ucapan selamat dan doa-doa mereka untuk Lalita.
“Sehat terus ya.”
“Semoga tambah sukses.”
“Semoga cepat bertemu jodoh lagi.”
Dan banyak doa lainnya.
Zidan menjadi orang terakhir yang menyalami Lalita. “Happy birthday, ya. Wish you all the best.” Zidan menyalami tangan Lalita dan menatap langsung ke dalam dua buah bola mata dengan iris berwarna cokelat gelap. Matanya tampak sendu tapi menggoda, seolah menarik siapa pun yang memandang untuk memeluk dan melindunginya. Rambut panjangnya yang diwarna cokelat gelap, tampak sangat serasi dengan mata dan kulitnya yang putih. Baru kali ini Zidan melihatnya dari dekat.
“Thank you, Pak.” Namun lagi-lagi Lalita mengacuhkannya, dia sama sekali tidak membalas tatapan mata Zidan, hanya meliriknya sekilas, mungkin hanya sekitar satu sampai tiga detik saja.
Zidan yang merasa diacuhkan langsung berjalan kembali ke ruangannya. Lagi-lagi harga dirinya terluka. Dia menghempaskan pantat bulat kencangnya ke atas kursi putar nyaman, lalu memejamkan mata dan mengatur napas agar emosinya mereda.
Perempuan bernama Lalita itu sungguh aneh, pikir Zidan dalam hati, kalau perempuan lain pasti akan senang berdekatan dengannya, disalaminya, ditatap langsung ke matanya, paling tidak, Lalita membalas tatapan matanya.
Tok tok tok.
Zidan memutar kursinya dan membuka mata, melihat siapa yang datang.
“Ini kue dari Lalita, Pak.” Ternyata Dina, sekretarisnya yang masuk dengan membawa satu slice kue tart Lalita.
“Buat kamu saja, saya tidak mau,” jawab Zidan ketus.
“Oh, oke, Pak, terima kasih.” Dina pun keluar.
Sebenarnya apa yang harus kulakukan agar mendapatkan perhatian dari perempuan bernama Lalita itu? Tanya Zidan dalam hati. Zidan kembali memutar kursi singgasananya membelakangi pintu, memejamkan kedua matanya dan berpikir dengan keras. Sebelumnya tidak ada yang berani mengacuhkan dia seperti ini. Terutama setelah dia tumbuh menjadi laki-laki tampan, bertubuh tegap atletis, memiliki pekerjaan mapan, mobil mewah, apartemen mewah, saham dan deposito di mana-mana, bahkan tabungan di bank.
Apakah dia lesbian? Kenapa dia sama sekali nggak tertarik kepadaku? Tapi gosipnya kan dia sudah pernah menikah meski lalu sekarang sudah bercerai, berarti seharusnya dia masih doyan laki-laki. Zidan berpikir dengan keras tapi tidak menemukan jawabannya. Semakin Lalita mengacuhkannya, semakin Zidan menginginkan perhatiannya. Bukan karena Zidan menyukainya, tapi hanya karena Zidan tidak terima kalau ada yang mengabaikannya di saat semua orang menyukai dan memperhatikannya. Zidan berbalik menghadap meja dan mulai mengetikkan huruf-huruf di sebuah mesin pencari di laptopnya. Dia mencoba mencari hal-hal apa yang akan membuat perempuan menjadi suka dan perhatian kepada laki-laki.
***
Keesokan harinya, Lalita terkejut melihat sebuah bingkisan besar di atas meja kerjanya. Ada sebuah kertas kecil melekat dengan tulisan:
To: Lalita
Happy Birthday. Wish you all the best.
Tapi tidak ada tulisan nama pengirim di sana.
Lalita melihat ke sekelilingnya, tidak ada orang lain selain petugas cleaning service yang sedang membersihkan ruangan.
“Mas Marquez,” Lalita memanggil petugas cleaning service tersebut.
“Ya, Mbak Lalita, ada apa?” Petugas cleaning service tersebut sebenarnya bernama Ahmad, tapi karena wajah dan postur tubuhnya mirip dengan pembalap MotoGP asal Spanyol Marc Marquez, akhirnya orang-orang memanggilnya Marquez. Ahmad juga kelihatannya lebih senang dipanggil seperti itu.
“Ini tadi siapa yang meletakkan di sini, Mas?” Lalita menunjuk ke arah bingkisan besar di atas mejanya.
“Tidak tahu, Mbak, waktu saya datang sudah ada di situ,” jawab Mas Marquez.
“Memangnya ada yang sudah datang sebelum saya?”
“Tidak ada, Mbak Lalita selalu yang paling pertama datang.”
Akhirnya Lalita menyerah dan mempersilakan Marquez melanjutkan pekerjaannya. Mumpung masih sepi, Lalita membuka bingkisan tersebut. Ternyata tas kerja cantik berwarna pastel dengan merk yang tidak akan pernah Lalita beli karena harganya yang sangat mahal.
Siapa? Apakah Adit? Pikir Lalita dalam hati, karena orang terdekatnya yang suka membeli barang-barang branded seperti ini adalah Adit, mantan suaminya.
Ah, tidak mungkin, dia kan sudah paham betul dengan seleraku, dan ini jelas bukan seleraku. Lalita membolak-balik tas cantik itu, model tas yang biasa dipakai oleh para sosialita, jelas bukan seleranya yang lebih menyukai segala sesuatu yang kasual dan nyaman.
Apakah dari rekan-rekan kerjanya? Ah, tidak mungkin juga, kemarin kan mereka sudah memberi hadiah sepasang flat shoes. Lalita melihat ke arah sepatu barunya yang dia pakai hari ini, hadiah ulang tahun dari timnya di bagian akuntansi.
Lalita membuka ponsel, barangkali ada yang mengirimkan pesan kepadanya berkaitan dengan hadiah tersebut, tapi hasilnya nihil.
“Selamat pagi.”
Lalita mendengar beberapa orang mulai datang, dia meletakkan bingkisan tersebut di bawah mejanya, untuk saat ini dia menyerah mencari tahu siapa pengirimnya. Mungkin nanti sambil jalan dia akan mencoba mencari tahu lagi.
Lalita sengaja pulang paling akhir hari itu, dia menghindari pertanyaan “apa itu” dan “dari siapa” saat orang melihatnya membawa sebuah bingkisan. Namun sialnya dia bertemu dengan Zidan yang memang biasa pulang malam. Mereka bahkan berada dalam satu lift yang sama saat turun dari lantai 4. Mau tidak mau Lalita tetap mendengarkan pertanyaan yang sudah susah payah dia hindari.
“Bawa apa itu? Besar amat,” Zidan menunjuk ke tas kertas besar yang Lalita bawa di tangan kirinya.
“Hadiah, Pak,” jawab Lalita sambil tersenyum basa-basi.
“Dari siapa?”
“Tidak tahu, Pak.”
“Lho kok bisa tidak tahu?”
“Tidak ada nama pengirimnya, Pak.”
“Oh.”
Saat pintu lift terbuka, Zidan mempersilakan Lalita untuk keluar terlebih dahulu.
“Kamu naik apa?” tanya Zidan setelah keluar dari lift.
“Saya bawa mobil, Pak.”
“Oke. Hati-hati di jalan.”
Lalita mengangguk. Zidan lalu berbelok ke arah kiri menuju basement, sopir dan mobilnya standby di sana. Sedangkan Lalita berbelok ke kanan, menuju tempat parkir outdoor di depan kantornya.
“Malam amat sih pulangnya.”
Lalita terkejut, saat dia hendak membuka pintu mobil tiba-tiba terdengar suara laki-laki di belakangnya.
“Adit? Apa yang kamu lakukan di sini malam-malam?”
“Menunggumu. Aku telepon kamu dari kemarin tidak ada yang kamu terima. Kirim pesan juga tidak ada yang kamu baca, apalagi kamu balas.”
“Buat apa? Kan memang tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi.” Lalita membuka pintu belakang mobil hendak memasukkan tas kertas besar berisi hadiah.
Adit menahan tangannya lalu merampas tas kertas tersebut. Dia membukanya dengan kasar sehingga ada beberapa bagian tas kertas yang sobek.
“Hadiah dari siapa?” tanya Adit setelah mengeluarkan tas dan mengangkatnya untuk melihat-lihat tas tersebut.
“Bukan urusanmu,” Lalita kembali mengambil tas itu dari tangan Adit.
“Bukan seleramu. Kamu pasti tidak akan memakainya, kan?”
“Sudah kubilang bukan urusanmu.”
“Kamu sudah punya gebetan baru? Dan karena itu kamu tidak mau menerima telepon dari aku lagi?” tuduh Adit.
“Sudah kubilang tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi. Tidak usah menghubungiku lagi dan jangan menuduhku seenaknya. Kamu yang suka main perempuan, bukan aku yang suka main laki-laki.”
Lalita mendorong tubuh Adit menjauh agar dia bisa segera masuk ke dalam mobilnya. Tapi mantan suaminya itu lebih cekatan daripada Lalita. Secepat kilat dia menarik tubuh Lalita, mendorongnya hingga menempel ke sisi samping mobil, lalu memerangkapnya dengan kedua tangannya dan tubuhnya yang berdiri terlalu dekat di hadapannya.
Sementara itu dari kejauhan, sepasang mata memperhatikan dengan rahang mengeras dan tangan mengepal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments