Lalita berjalan dengan cepat menuju ke pintu keluar, sudah hampir tidak kuat lagi menahan hasrat ingin buang air kecil. Sebenarnya sudah dari tadi dia merasakannya, hanya saja karena sedang mengerjakan laporan dan merasa tanggung untuk meninggalkannya sebentar ke toilet, akhirnya dia menahannya. Sekarang laporannya sudah selesai, Lalita terburu-buru berjalan menuju toilet yang berada sekitar lima meter setelah pintu keluar ruangannya.
Setelah keluar, Lalita melihat ada Zidan dan Pak Agus sedang berbincang di tengah lorong. Entah kenapa mereka memilih untuk berbincang sambil berdiri di tengah-tengah lorong selebar satu setengah meter, bukannya duduk manis di ruangan Zidan. Apa mereka tidak tahu kalau yang mereka lakukan itu bisa menghalangi orang yang mau lewat? Contohnya Lalita yang sekarang mau lewat untuk menuju ke toilet.
Lalita sengaja berhenti sekitar dua meter dari dua orang laki-laki yang sedang asyik berdiskusi itu, hanya untuk menunjukkan kepada mereka kalau ada orang yang mau lewat, agar mereka bisa minggir sedikit dan memberikannya jalan. Lalita melihat Zidan meliriknya sekilas, pertanda bahwa dia mengetahui keberadaannya. Tapi dia jengkel, karena meskipun mengetahuinya Zidan tetap tidak mau minggir. Akhirnya Lalita tidak tahan lagi, dia nekat berjalan melewati sisa ruang kecil selebar kira-kira 30-40 cm di belakang Zidan, demi bisa segera mencapai toilet dan menuntaskan hasratnya.
Lalita memiringkan badannya menghadap ke tembok, agar bisa melewati ruang kecil tersebut tanpa menyenggol Zidan yang dibelakanginya ketika dia lewat. Namun saat tepat melewatinya, dia merasakan tangan Zidan menyentuh kulit lengannya yang tidak tertutup pakaian karena dia sedang memakai kemeja berlengan pendek. Lalita tidak tahu apakah Zidan melakukannya dengan sengaja atau tidak. Yang jelas saat kulit mereka bersentuhan, Lalita merasakan seperti ada gelombang listrik menjalar ke seluruh tubuhnya. Ah, Lalita tidak peduli, dia sudah tidak kuat lagi menahannya. Setelah menuntaskan hasratnya, Lalita mencuci tangan di wastafel. Dia mengingat lagi apa yang terjadi semalam.
"Wah, saya tidak tahu kalau kamu perempuan seperti ini. Kamu menakuti saya. Seolah saya ini seorang penjahat dan kamu adalah penyidiknya," kata Zidan menjawab Lalita yang mempertanyakan motifnya memberikan hadiah mahal kepadanya.
"Makanya buruan jawab, sebelum saya jadi lebih menakutkan lagi."
"Oke. Sepertinya saya tidak bisa menyembunyikannya lebih lama lagi. Saya memang ingin mengenal kamu lebih dekat. Kebetulan kamu berulang tahun jadi ada kesempatan untuk saya mendekati kamu dengan membawa hadiah ulang tahun itu. Apakah itu cukup?" Zidan menjelaskannya dengan santai.
Sekarang gantian Lalita yang kelabakan, padahal sebelumnya berkobar-kobar seolah sebagai penyidik dia sudah menemukan bukti kejahatan oleh tersangka yang sedang dihadapinya, tapi kini tersangka tersebut membalikkan fakta dan mengatakan kalau dia tidak bersalah.
"Sudah cukup atau tidak pernyataan saya barusan?" Zidan bertanya lagi karena Lalita tidak segera menjawabnya.
"Saya pikir cukup untuk saat ini. Ayo kita pulang."
Lalita lalu beranjak pergi dan Zidan mengekor dibelakangnya. Zidan mengantarkan Lalita pulang lagi sampai ke depan apartemennya, tapi kali ini tidak ada Adit yang menunggunya di sana.
"Terima kasih untuk malam ini, Pak. Tapi saya masih berhutang sama Bapak. Lain kali saya pasti akan mentraktir dan Bapak tidak boleh menolak. Saya juga sama seperti Pak Zidan yang tidak suka dengan penolakan," kata Lalita saat mereka sudah sampai di depan pintu apartemennya.
"Baiklah, terserah kamu saja. Good night and sleep tight." Zidan tersenyum dengan manis sebelum kemudian berbalik dan pulang.
Semalam Lalita tidak bisa tidur karena memikirkannya. Entah kenapa pernyataan Zidan mengganggu pikirannya, terutama hatinya. Apakah Zidan menyukainya? Kenapa dia ingin mengenalnya lebih dekat? Sampai rela memberikan hadiah mahal kepadanya. Dan apakah Lalita sudah siap menerima laki-laki lain dihatinya setelah Adit menghancurkannya? Hatinya masih terluka oleh ulah Adit. Tidak, rasanya Lalita belum siap, perasaan sakit hatinya karena pengkhianatan Adit masih terasa cukup segar dalam ingatannya.
Lalita mengabaikan sengatan listrik yang baru saja menjalari tubuhnya beberapa menit yang lalu. Dia menunggu cukup lama di wastafel sambil berharap Zidan dan Pak Agus sudah tidak ada di lorong ketika dia keluar dari toilet nanti. Untungnya toilet di kantornya sangat bersih dan tidak berbau menyengat, sehingga tidak masalah baginya untuk berlama-lama di toilet. Bahkan kadang tempat itu juga digunakan untuk bergosip beberapa pegawai perempuan. Saat Lalita keluar dari toilet sepuluh menit kemudian, lorong sudah sepi, Lalita mendesah lega. Dia berjalan santai menuju ke meja kerjanya. Tapi saat melewati ruangan Bu Maya, dia dipanggil.
"Lalita, siapkan laporan budget kuartal empat, besok pagi saya harus rapat dengan BoD. Apa bisa diselesaikan hari ini?" kata Bu Maya.
Lalita melihat jam tangannya, sudah jam dua siang, menyelesaikannya hari ini kemungkinan bisa tapi harus lembur.
"Bisa, Bu. Saya kirimkan malam ini atau besok pagi ya," jawab Lalita.
"Oke."
Jam tujuh malam, Lalita masih berkutat di depan komputernya. Laporan budget kuartal empat yang diminta Bu Maya belum selesai, ada beberapa kendala dan data yang kurang lengkap, padahal sudah jam segini, tidak ada orang bagian operasional yang bisa ditanyai. Mana perutnya sudah berteriak minta diisi lagi.
"Belum pulang, La?"
Lalita menoleh ke arah datangnya suara. Dia melihat Zidan sedang berjalan ke arahnya dengan membawa tas kerjanya, sepertinya sudah mau pulang.
"Belum, Pak, masih menyelesaikan laporan budget. Katanya besok ada rapat dengan BoD?"
"Iya benar," jawab Zidan sambil menyandarkan tangannya di atas meja kerja Lalita dan melihat ke monitor komputer Lalita yang menampilkan file tentang laporan budget.
"Ada kesulitan apa? Mungkin saya bisa bantu," tanya Zidan.
"Eh, tidak usah, Pak Zidan pulang saja, sudah malam."
"Terbalik, La. Saya yang seharusnya bilang seperti itu ke kamu," Zidan mengambil kursi dan duduk di sebelah Lalita.
"Kok malah duduk, Pak?" Lalita menjadi salah tingkah.
"Saya akan bantu kamu mengerjakan itu, biar kamu bisa cepat pulang dan makan. Suara perutmu terdengar sampai di ruangan saya lho."
Lalita langsung memegang perutnya, yang memang dari tadi berbunyi dengan keras, berteriak-teriak minta diisi dengan karbohidrat, protein, dan lemak yang banyak. Dia tidak menyangka kalau perutnya berbunyi sangat keras sampai Zidan bisa mendengarnya.
"Ayo buruan, saya juga lapar. Apa kesulitan kamu?"
Lalita lalu menjelaskan kesulitan-kesulitannya kepada Zidan. CFO itu membantu Lalita mengisi kekurangan data, dengan mengakalinya menggunakan data lain yang sudah ada tapi tetap memiliki korelasi dengan data yang belum ada tersebut. Lalita kagum dengannya, ternyata dia memang memiliki banyak sekali pengalaman kerja dan bermanfaat. Beberapa kali tangan mereka bersentuhan saat Lalita menggerakkan mouse. Dan wajah mereka berdua saling berdekatan saat sedang bersama-sama memperhatikan sebuah perhitungan angka di layar komputernya. Lalita mengabaikan getaran-getaran halus yang menyetrum sukmanya tiap kali dia berdekatan atau bersentuhan dengan Zidan.
Tiba-tiba lampunya padam semua. Seluruh ruangan menjadi gelap gulita, satu-satunya cahaya berasal dari monitor di atas meja kerja Lalita. Lalita sempat berteriak spontan saat ruangan tiba-tiba menjadi gelap, bukan karena takut tapi kaget saja.
Zidan melihat ke jam tangannya. "Sudah jam delapan. Ayo lanjutkan saja, sedikit lagi selesai."
Tiga puluh menit kemudian laporan tersebut sudah dikirimkan ke email Bu Maya.
"Wah, kalau komputernya saya matikan, jadi gelap ini nanti," kata Lalita sebelum mematikan komputernya.
"Kan ada ini," Zidan menyalakan senter di ponselnya.
Lalita lalu mematikan komputernya. Sekarang satu-satunya cahaya berasal dari senter ponsel Zidan. Laki-laki itu menerangi Lalita yang sedang membereskan tasnya.
"Sudah? Tidak ada yang ketinggalan?"
"Sudah, Pak," Lalita lalu berdiri dan berjalan di belakang Zidan yang mendahuluinya sambil menerangi jalan menuju pintu keluar.
Namun tiba-tiba cahaya senter itu pun padam. Lalita spontan berteriak lagi. Dasar perempuan, kaget sedikit aja langsung spontan berteriak. Lalita sampai merasa malu kepada Zidan.
"Ups, sepertinya lowbatt ponsel saya," Kata Zidan yang tubuhnya tidak lagi kelihatan, tapi dari suaranya Lalita bisa menebak laki-laki itu pasti saat ini masih berada di depannya.
"Kalo begitu saya ambil ponsel saya dulu di tas."
Lalita hendak mengambil ponselnya di dalam tas. Lalu dia merasakan ada sebuah tangan yang menyentuh tangannya. Spontan dia berteriak dengan keras. Tuh kan, teriak lagi Lalita.
"Aaaaak…!!!"
"Hei, ini saya. Jangan takut gitu ah, nanti pak satpam datang gara-gara dengar teriakan kamu. Dipikir kita ngapa-ngapain lagi." Zidan sudah berada di samping Lalita dan menggenggam tangannya.
"Darimana Bapak tahu kalau itu tangan saya? Kan gelap, Pak."
"Jarum jam tangan kamu kan menyala."
Zidan mengangkat tangan Lalita dan menunjukkan kepadanya jarum jam tangannya yang mengandung zat luminova itu bisa menyala dalam gelap. Nyalanya tidak terlalu terang sampai bisa digunakan untuk menerangi jalan, tapi cukup terang untuk bisa mengetahui posisi orang yang memakainya. Lalita hanya diam saja, merutuki kebodohannya sendiri.
"Lepaskan, Pak, saya mau ambil ponsel di tas."
"Tidak usah ambil ponsel, pintu keluar sudah dekat kok." Zidan berjalan dan menarik tangan Lalita dalam genggamannya, menggandengnya dalam kegelapan menuju secercah cahaya temaram di lorong pintu keluar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Ayu Lestari
cieee
2020-02-23
1
shofia
Bagus banget ceritanya... Semangat ✊ ya Thor..
2020-02-21
2