Chapter 12

“Jangan, Zidan,” kata Lalita saat bibir Zidan sudah tinggal beberapa milimeter di depan bibirnya.

Entah dapat kekuatan dari mana sampai Lalita bisa mendorong tubuh Zidan dan melepaskan diri darinya. Lalita berjalan menuju ke arah pintu tapi Zidan menahannya.

“Kamu mau ke mana?”

“Aku sudah datang ke apartemenmu, aku sudah membuatkan masakan untukmu, dan aku juga sudah memanggilmu dengan namamu, Zidan. Sepertinya kita sudah impas. Sekarang aku mau pulang.” Lalita melepaskan tangan Zidan yang menahannya, lalu berbalik dan pergi.

“Apa kamu benar-benar tidak tahu tentang perasaanku?” Zidan sedikit berteriak.

Lalita tetap berjalan meninggalkan Zidan dan berusaha mengabaikan teriakannya.

“Apa kamu benar-benar tidak tahu kalau aku menyukaimu?” Zidan berteriak semakin kencang, tidak bisa lagi menyembunyikan emosinya.

Lalita sudah berdiri di depan pintu apartemen, dia membuka pintunya tapi lalu pintu itu terbanting dan menutup dengan keras oleh tangan Zidan yang tiba-tiba sudah berada di hadapannya.

“Sebenarnya apa maumu?” kali ini Lalita yang berteriak. Lalita pun tidak mau kalah. Zidan sendiri yang memulai untuk melupakan formalitas diantara mereka.

Zidan dan Lalita berdiri berhadapan dengan raut wajah yang sama-sama tegang. Keduanya tidak bisa lagi menahan emosi yang bergemuruh di dada mereka masing-masing. Lalita yang masih marah kepada Zidan karena pergi tanpa memberinya kabar, Zidan yang juga marah karena Lalita tak kunjung menyadari perasaannya.

“Aku mau kamu, Lalita. Maaf kalau aku tidak bisa menyampaikannya dengan manis atau romantis. Aku tidak ahli dalam mengatakan sesuatu dengan manis. Tapi aku menyukaimu, dan aku mau kamu,” Zidan menyandarkan tubuhnya di depan pintu agar Lalita tidak bisa membukanya dan pergi, matanya menatap lekat mata Lalita.

“Aku tidak bisa,” jawab Lalita sambil menundukkan kepalanya, mencoba menghindari konfrontasi langsung dengan mata Zidan.

“Kenapa? Kamu tidak suka sama aku?”

“Suka, mungkin,” jawab Lalita perlahan, Zidan hampir saja tidak mendengarnya.

“Lalu apa masalahnya?” desak Zidan.

“Aku masih belum bisa membuka hatiku untuk orang lain.”

“Kamu masih mencintai mantan suamimu?”

“Tidak, bukan itu, aku sudah mati rasa terhadapnya.”

“Lalu kenapa?” Zidan tidak mau berhenti bertanya sampai dia mendapatkan jawaban.

“Aku masih terluka karenanya. Saat ini hatiku masih belum sembuh dan aku tidak ingin menambah luka baru,” Lalita akhirnya mengutarakan alasan keberatannya.

“Kamu pikir aku akan melukaimu?”

“Who know? Nobody know. Tapi kalau ada yang melukaiku lagi saat ini, sepertinya mungkin aku akan benar-benar hancur lebur.”

“Aku janji tidak akan melukaimu,” Zidan maju dan menarik Lalita ke dalam pelukannya.

Lalita membiarkan dirinya dipeluk oleh Zidan, tapi dia sama sekali tidak membalas pelukan tersebut.

“Kita bicara sambil makan ya? Aku benar-benar lapar dan masakanmu sepertinya enak,” Zidan membimbing Lalita kembali ke meja makan.

“Hm, benar-benar enak nih. Ternyata kamu pintar masak juga ya,” puji Zidan. Saat ini dia dan Lalita sedang makan bersama di meja makan. Lalita makan dalam diam.

“Kamu masih marah? Aku punya salah apa sih sama kamu?” Zidan meletakkan garpunya dan menggenggam tangan Lalita.

“Tidak ada, aku hanya sedang bad mood. Biasa PMS,” jawab Lalita. Dia tidak mau berterus terang kepada Zidan tentang perasaannya, tentang kemarahannya karena Zidan pergi tanpa memberitahunya meskipun untuk perjalanan dinas kantor.

Selama makan, Zidan banyak bercerita hal-hal yang lucu kepada Lalita. Dia berusaha membuat Lalita tersenyum dan tertawa. Dan Zidan berhasil. Setelah selesai makan, Lalita sudah tidak terlihat bad mood lagi. Bahkan Lalita juga ikut menceritakan hal lucu yang dia tahu. Setelah mencuci piring bersama, Zidan mengajak Lalita duduk di sofa ruang tengah sambil menonton TV.

“Boleh aku bertanya, kenapa kamu bercerai dengan mantan suamimu?”

“Bukankah kamu sudah pernah bertanya? Seingatku, aku sudah menjawabnya.”

“Setahuku kamu hanya menjawab sedikit saja saat itu. Aku tetap tidak mengetahui alasan yang sebenarnya.”

“Ceritanya panjang, bisa-bisa aku pulang lusa kalau harus menceritakan semuanya ke kamu,” jawab Lalita yang membuat Zidan tertawa.

“Ya, dibuat sinopsisnya saja. Meski aku tidak keberatan sih kalau kamu pulangnya lusa,” goda Zidan. Lalita hanya tersenyum mendengarnya.

“Aku serius, La. Aku ingin mengenalmu lebih dekat. Aku ingin tahu apa yang mantan suamimu lakukan sampai hatimu terluka seperti ini.”

“Sudahlah, biar aku simpan sendiri saja masa laluku dengan mantan suamiku,” Lalita bersikeras tidak mau menceritakannya kepada Zidan.

Zidan menggeser duduknya mendekati Lalita, lalu menggenggam tangannya. “Aku ingin menjadi laki-laki yang menyembuhkan luka di hatimu. Tapi bagaimana caraku melakukannya kalau penyebab luka itu saja aku tidak tahu.”

“Cukup jangan menambah luka baru saja, luka yang lama nanti akan sembuh sendiri seiring berjalannya waktu.”

“Apa itu berarti kamu mau mulai membuka hatimu untukku?”

“Mau bagaimana lagi, kamu memaksa."

Zidan tertawa mendengarnya. Tawanya terdengar sedikit aneh, tapi Lalita mengabaikannya.

“Aku memang suka memaksa, termasuk yang satu ini,” Zidan mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir Lalita dalam hitungan detik.

Lalita terkejut dengan ciuman mendadak itu. Memang bibir Zidan hanya menyentuh bibirnya sekilas saja, tidak sampai memaksa masuk ke dalam mulutnya dan mengabsen setiap giginya dengan lidah seperti yang biasanya Adit lakukan. Namun tetap saja hal itu mengejutkan Lalita, jantungnya berdebar keras, perasaan yang sudah lama tidak dia rasakan sejak menikah dengan Adit.

“Kenapa malu sih? Ini kan bukan pertama kalinya buatmu,” Zidan membelai pipi Lalita yang merona, yang malah membuat kedua pipinya semakin memerah.

Zidan mencium kedua pipi Lalita yang memerah, kanan dulu, lalu kiri, dan semakin membuat pipi-pipi itu lebih memerah lagi. Zidan tertawa melihatnya.

Lalita mendorong tubuh Zidan menjauhinya. “Kamu jahat banget sih godain aku seperti ini,” Lalita berdiri dan mengambil tasnya. “Aku mau pulang.”

“Jangan ngambek gitu dong,” Zidan berdiri dan menahan tangan Lalita.

“Ini sudah malam, aku harus pulang.”

“Tidak mau menginap di sini saja? Besok kan hari libur.”

Lalita melotot. “Menginap? Kamu pasti bercanda, kan?”

“Tidak, aku serius. Kita sudah sama-sama dewasa dan sama-sama tinggal sendirian. Apa salahnya kalau sekali-sekali kamu menginap di apartemenku atau aku yang menginap di apartemenmu?”

“Mungkin lain kali. Sekarang aku mau pulang.”

“Setelah yang satu ini.”

Zidan kembali mencium bibir Lalita, tapi kali ini tidak hanya menempelkan bibir saja, melainkan melumat habis bibir itu dan memperdalam ciumannya sampai membuat Lalita tak bisa bernafas dengan baik. Ciumannya tidak sedahsyat ciuman Adit, tapi tidak kalah menghanyutkannya. Lalita melepaskan bibirnya dengan susah payah karena Zidan terus menyerangnya. Namun akhirnya dia berhasil juga.

“Cukup, Zidan. Jangan diteruskan lagi, aku mau pulang,” Lalita mulai terengah-engah.

“Baiklah. Kamu bisa pergi sekarang sebelum aku berubah pikiran,” sebenarnya Zidan saat ini mengharapkan lebih dengan Lalita.

Lalita tidak mengabaikan kesempatan itu, dia langsung melesat ke arah pintu dan pergi meninggalkan apartemen Zidan.

***

Lalita membuka mata dan kaget karena jarum jam sudah menunjukkan angka sembilan. Untung saja ini hari Sabtu, jadi sebenarnya tidak masalah kalau dia bangun kesiangan. Kenapa alarm di ponselnya tidak berbunyi? Lalita mencari ponselnya, barangkali lowbatt dan mati sehingga alarmnya tidak berbunyi, tapi dia tidak bisa menemukannya di dalam tas. Lalita turun dan mencarinya di dalam mobil tapi tidak menemukannya juga.

Apakah tertinggal di apartemen Zidan? Lalita berpikir keras, lalu pada akhirnya memutuskan untuk mendatangi apartemen Zidan. Lalita membutuhkan ponsel itu karena biasanya setiap hari Sabtu, ibu dan ayahnya akan menelepon dan bicara panjang lebar dengannya.

“Lalita?” Zidan tampak terkejut saat membuka pintu apartemennya dan menemukan Lalita di hadapannya.

“Maaf mengganggumu pagi-pagi,” kata Lalita saat melihat Zidan membuka pintu dengan wajah yang tampak lelah dan mengantuk, seolah semalam dia tidak tidur.

“Ponselku sepertinya ketinggalan, boleh aku cari di dalam?”

Zidan terlihat bingung tapi tetap membukakan pintu dan membiarkan Lalita masuk ke dalam apartemennya. Lalita langsung mencari ponselnya di ruang tengah, ruang makan dan dapur, tempat di mana dia berada semalam, tapi hasilnya nihil.

“Aku telepon saja, kamu dengarkan suaranya, semoga ponselmu tidak lowbatt dan mati.” Zidan menekan nomor Lalita di ponselnya.

Lalita mendengar samar-samar suara nada dering ponselnya, Ddu ddu ddu-nya Blackpink terdengar agak dekat dari tempatnya berdiri saat ini di ruang tengah. Lalita mendekati asal suara itu, dan akhirnya dia menemukan ponselnya juga. Lalita ingat semalam dia masuk ke dalam kamar Zidan, lalu melihat sesuatu yang mengagetkannya. Sepertinya ponsel itu terjatuh saat dia keluar dari kamar Zidan dengan terburu-buru.

Lalita berjalan menuju ke kamar Zidan dan membuka pintunya. Bersamaan dengan itu, terdengar suara Zidan yang berteriak melarangnya masuk ke kamar, tapi terlambat. Lalita sudah terlanjur masuk ke dalam kamar dan melihat apa yang Zidan tidak ingin kalau dia melihatnya.

Terpopuler

Comments

Erni meidyana

Erni meidyana

suka korea juga si lita 😂

2021-01-25

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!