Chapter 11

"I miss you."

Lalita mendengarnya, dia mendengarnya dengan sangat jelas, kata-kata itu seenaknya masuk ke dalam lubang telinga dan menggetarkan gendang telinganya, serta menggetarkan organ tubuh lainnya yang saat ini sebenarnya sudah hampir melupakan Zidan dan semua perhatiannya. Jangan tanyakan hatinya, tiga kata tersebut berhasil memporakporandakan hatinya yang sudah susah payah dia jaga agar stabil. Lalita memilih untuk mengabaikannya. Dia membereskan laptop lalu berdiri dan beranjak pergi.

"La, kamu tidak dengar saya bilang apa?" Zidan menahan tangan Lalita yang hendak melewatinya untuk pergi keluar dari ruang rapat.

"Dengar," jawab Lalita tanpa membalikkan tubuhnya menghadap ke Zidan.

"Kalau dengar kenapa tidak jawab?"

"Bapak mau saya jawab bagaimana? Saya tidak punya jawaban apa pun untuk Bapak."

Zidan berdiri dan menarik tubuh Lalita agar menghadap kepadanya.

"Don't you miss me?"

"No."

"Sedikit pun tidak?" Zidan menanyakannya lagi karena tidak percaya dengan jawaban yang keluar dari mulut Lalita.

Lalita menggeleng.

"Waahh, saya jadi sedih. Padahal selama di Singapura saya setiap hari memikirkanmu," Zidan tertawa sinis.

"Masa? Kok saya tidak tahu, ya?" tanpa sadar Lalita bersikap ketus.

"Kamu marah sama saya?" Zidan tersenyum tipis, menangkap nada marah di ucapan Lalita.

"Kenapa saya harus marah sama Bapak?" Lalita mencoba membuat nada suaranya terdengar biasa saja.

"Sudahlah, saya tidak mau bertengkar sama kamu di sini. Ayo kita ke apartemen saya," Zidan menarik tangan Lalita dan hendak berbalik untuk pergi.

"Tidak mau. Kenapa sih, Bapak..." ucapan Lalita terhenti saat dia berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Zidan, tapi gagal.

"Kamu mau saya cium di sini sekarang?"

"Apa? Cium?" Lalita spontan menutup bibirnya dengan menggunakan tangannya.

Zidan tertawa ringan.

"Ayolah, La. Saya capek, dari bandara langsung ke kantor cuma ingin melihatmu. Ternyata setelah melihatmu saya ingin menghabiskan lebih banyak waktu denganmu." Mata Zidan menatap intens Lalita sedangkan tangannya masih memegang tangan Lalita, mereka berdua berdiri terlalu dekat.

"Pak, jangan begini, nanti ada yang melihat." Lalita mengalihkan pembicaraan. Selain itu, dia tidak ingin Zidan mendengar suara detakan jantungnya yang mulai berpacu dengan kencang.

"Tidak akan ada yang melihat. Ini hari Jum'at. Mereka semua sudah pada pulang ontime."

"Tapi, Pak, ...."

"Tadi saya cuma bercanda waktu bilang mau cium kamu di sini, tapi kalau kamu tidak bisa diajak kerja sama. Saya benar-benar bisa melakukannya lho," Zidan mendekatkan wajahnya ke wajah Lalita.

Lalita menutup bibir dengan tangannya dan mundur, tapi tidak bisa karena lengan Zidan yang satunya menahan punggungnya. Sepertinya tangan-tangan Zidan sudah mulai lancang menyentuh tubuh Lalita.

"Memangnya Bapak mau apa? Kenapa memaksa saya pergi ke apartemen Bapak?"

"Kamu katanya mau mentraktir saya? Nah ini sekarang saya menagihnya, tapi masaknya di apartemen saya saja, saya mau mencoba masakan kamu. Tidak apa-apa, kan?"

Kemarin Jumat malam saat makan bersama, Lalita gagal mentraktir Zidan lagi karena ternyata mesin EDC-nya sedang rusak padahal Lalita tidak membawa uang tunai. Akhirnya Zidan yang membayarnya.

"Oke saya ikut ke apartemen Bapak, tapi saya tidak bisa lama. Setelah selesai masak saya langsung pulang," Lalita akhirnya menyerah, dia menyetujui ajakan Zidan agar laki-laki itu segera mundur, daripada nanti ada yang melihat mereka berdua di ruangan rapat.

"Kenapa?"

"Saya sudah ada janji sama teman nanti jam 8."

"Batalkan."

"Tidak bisa, Pak."

Zidan secepat kilat mendekatkan wajahnya lagi, dan berbicara tepat di telinga Lalita. "Sejujurnya saya ingin segera meninggalkan kantor dan pulang, tolong kamu jangan bikin tambah runyam. Batalkan janji dengan temanmu. Lagi pula masa saya makan masakanmu sendirian saja? Harus sama kamu dong," kedua tangan Zidan menempel ke meja ruang rapat dan memerangkap tubuh Lalita didalamnya.

"Oke." Sebenarnya Lalita tidak ada janji dengan siapa pun, dia hanya merasa tidak enak kalau berlama-lama di apartemen Zidan berduaan saja. Dia berniat mengancam, tapi malah dia yang terancam. Lalita merasa kalah hari ini.

Lalita kembali ke meja kerjanya setelah membereskan dan menutup ruangan rapat. Dia mematikan komputernya lalu mengambil tas dan mematikan lampu karena dia yang terakhir meninggalkan ruangan. Sampai di tempat parkir, Zidan sudah berada di sana. Sambil menunggu Lalita, dia menghisap sebuah rokok. Setelah Lalita datang, mereka berdua berjalan bersama ke mobil Lalita. Lalita menyerahkan kunci mobilnya ke Zidan dan membiarkan laki-laki itu menyetir sampai di apartemennya.

"Bapak ke Singapura tidak membawa tas satu pun?" Lalita merasa heran karena Zidan baru pulang dari Singapura tapi tidak menenteng satu tas pun, bahkan tas kerja yang biasanya setiap hari dia bawa pun tidak nampak hari ini.

"Tadi saya sudah minta Pak Gufron untuk mengantarnya ke apartemen setelah menurunkan saya di kantor.”

Mereka sudah sampai di apartemen Zidan. Sebuah apartemen mewah yang terletak di tengah kota, berada di lantai tujuh dengan private lift.

"Dapurnya di sebelah sana. Bahan masakan sudah ada di kulkas, tadi saya suruh orang belanja. Saya tinggal mandi dulu, tidak masalah, kan?"

Lalita mengangguk, lalu Zidan pergi menuju ke dalam kamarnya. Sebelum menuju dapur, Lalita memperhatikan seisi apartemen Zidan. Apartemen mewah itu terdiri dari satu kamar tidur utama yang luas dengan satu kamar mandi di dalamnya, lalu dua kamar tidur dengan ukuran lebih kecil dan satu kamar mandi lagi di dekat ruang tengah. Dapur dan ruang makannya lebar, tidak kalah lebar juga ruang tamu dan ruang tengahnya. Interiornya sangat mewah. Apartemen one bedroom miliknya sungguh tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan tempat ini. Lalita membuka kulkas dan melihat ada bahan makanan apa saja di dalamnya. Ternyata ada banyak, sayuran, daging ayam, daging sapi, daging ikan, saking banyaknya sampai Lalita bingung mau memasak apa.

Lalita mengetuk pintu kamar Zidan.

"Pak, mau saya masakin apa?"

Tak terdengar ada yang menyahut. Malah Lalita hanya mendengar suara siraman air. Sepertinya Pak Zidan masih mandi, pikir Lalita. Lalita mengetuk lagi dengan lebih keras, tapi tetap tidak ada respon. Akhirnya Lalita memberanikan dirinya untuk masuk. Dibukanya pintu kamar Zidan perlahan, lalu dia berjalan ke arah suara air berasal.

Lalita terkejut, dia melihat tubuh telanjang Zidan yang sedang mandi di bawah guyuran shower dalam sebuah kamar mandi yang dindingnya transparan. Untungnya Zidan membelakanginya, sehingga dia tidak mengetahui kehadiran Lalita di dalam kamarnya. Lalita langsung berbalik dan pergi keluar dari kamar Zidan. Akhirnya Lalita memutuskan untuk membuat fettucini alfredo.

Lima belas menit kemudian Zidan mendatanginya di dapur.

"Masak apa, La?"

Lalita yang terkejut hampir saja menjatuhkan piring yang sedang dia pegang. Untungnya ada tangan Zidan yang cekatan langsung menangkap piring tersebut.

"Kenapa kaget gitu, sih? Kamu ngelamun ya?"

"Eh, maaf, Pak. Saya bikin fettucini, tidak masalah kan?" Lalita tidak berani menatap Zidan, otaknya masih dipenuhi dengan gambaran tubuh telanjang Zidan tampak belakang, dengan pantatnya yang bulat kencang dan seksi serta punggung yang sepertinya nyaman digunakan untuk bersandar dari kerasnya kehidupan.

"Tidak masalah. Ada yang bisa saya bantu?"

"Tidak usah, Bapak tunggu saja sambil nonton TV," jawab Lalita sambil menumis bumbu pasta, dia sama sekali tidak menoleh kepada Zidan.

"Kalau sambil nonton kamu saja, boleh?" goda Zidan sambil menyandarkan tubuhnya di depan kulkas.

"Terserah Bapak deh, mata punya Bapak, memangnya saya siapa mau ngelarang Bapak."

"Bisa tidak, kalau di luar kantor jangan manggil Bapak."

Lalita mengabaikannya.

"Boleh saya tahu, apa alasan kamu marah sama saya?"

"Saya tidak marah sama Bapak."

"Zidan. Kamu bisa panggil saya Zidan saja. Dan saya tahu kalau kamu sedang marah sama saya."

"Cuma perasaan Bapak saja."

Zidan gemas. Dia sudah mengatakan untuk memanggil namanya saja selama di luar kantor. Lalita terus-menerus memanggilnya Bapak, membuat Zidan merasa tua saja.

"Memangnya apa yang kamu tahu tentang perasaan saya?"

"Di mana piringnya, Pak? Sudah matang nih," Lalita mengalihkan pembicaraan.

Zidan beranjak dan mengambil dua buah piring, lalu meletakkannya di atas meja dapur. Lalita menuangkan fettucini alfredo yang sudah matang ke atas dua piring tersebut, lalu meletakkan panci di tempat cuci piring. Saat berbalik Zidan sudah berdiri dihadapannya, Lalita hampir saja menabraknya. Spontan Lalita mendongak dan menatap ke wajah Zidan yang 20 cm lebih tinggi daripada dia.

"Akhirnya kamu mau melihat saya," Zidan menatap mata Lalita yang sudah terkunci dalam pandangannya.

Lalita menurunkan wajahnya tapi tangan Zidan menahan dagunya dan membawa wajah itu untuk kembali mendongak dan menatapnya.

"Sampai mana kamu akan menguji kesabaran saya?" kedua tangan Zidan menahan wajah Lalita, lalu Zidan mendekatkan wajahnya.

Terpopuler

Comments

vetty christiandi

vetty christiandi

kereeenn km thor

2020-03-08

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!