"Pak Zidan?" tanya Lalita seolah tidak mempercayai pendengarannya.
"Iya," jawab Zidan singkat.
"Pak Zidan CFO saya di kantor?"
"Emang kamu punya berapa teman dengan nama Zidan, sih?" Zidan mulai gemas.
"Eh, Pak Zidan, maaf. Ada apa ya telepon saya malam-malam begini?" Lalita akhirnya percaya.
"Saya tadi melihatmu dengan laki-laki di tempat parkir. Apa dia mengganggumu? Kamu tidak diapa-apakan sama dia?"
"Tidak kok, Pak. Saya tidak diapa-apakan sama dia."
"Syukurlah kalau begitu. Memangnya siapa laki-laki itu?"
"Ehm, mantan suami saya, Pak. By the way ada perlu apa Bapak menelepon saya malam-malam begini?" tanya Lalita lagi sambil berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
"Cuma ingin memastikan kalau kamu sudah pulang dan sampai di rumah dengan selamat."
"Cuma itu, Pak? Bapak kan tidak perlu repot-repot gitu sama saya. Saya sudah sampai di rumah dengan selamat kok."
Hening sejenak.
"Ada lagi," kata Zidan setelah diam cukup lama.
"Ya, Pak?"
"Kamu suka dengan hadiahnya?"
"Hadiah? Hadiah apa ya, Pak?" Lalita bingung.
"Hadiah yang di atas meja kerja kamu tadi pagi."
Lalita langsung menggunakan tangannya yang bebas untuk menutup mulutnya yang sepertinya akan berteriak karena terkejut.
"Hadiah itu dari Pak Zidan?"
"Iya. Kamu suka?"
"Aduh, Pak, tidak perlu repot-repot memberi saya hadiah. Hadiahnya juga terlalu mahal buat saya. Maaf, Pak, jangan tersinggung, tapi besok saya akan kembalikan hadiahnya." Sebenarnya Lalita merasa tidak enak mengembalikan hadiah dari Zidan. Tapi untuk menerimanya begitu saja sepertinya juga lebih tidak enak lagi.
"Jadi kamu tidak suka ya?"
"Bukan begitu, Pak," Lalita terkejut dengan respon Zidan.
"Kalau kamu tidak suka, besok kita pergi ke mall dan kamu bisa pilih sendiri hadiah yang kamu suka."
"Eh, jangan begitu, Pak. Saya bukannya tidak suka hadiahnya. Saya hanya merasa tidak enak dengan Pak Zidan," Lalita menjelaskan.
"Tidak enak kenapa? Saya cuma memberi hadiah ke bawahan saya yang sedang berulang tahun. Apa ada masalah?"
"Tidak ada sih, Pak. Saya hanya belum pernah saja menerima hadiah dari CFO sebelumnya."
"Bagaimana kalau kamu traktir saya makan saja biar tidak merasa tidak enak lagi dengan saya?"
"Hah? Serius nih, Pak? Memangnya Bapak mau makan dengan saya?"
"Why not?"
Lalita bingung. Zidan minta ditraktir, mau ditraktir di mana coba? Lagi pula kan Lalita malu, masa hanya makan berduaan dengan dia? Tapi kalau menolak juga bagaimana caranya?
"Lalita, sejujurnya saya tidak suka dengan penolakan lho."
Nah lho, Pak Zidan tidak mau ditolak. Lalita bingung dan tidak tahu harus bagaimana menghadapi bosnya itu.
"Baiklah, Pak, besok saya traktir makan. Bapak boleh pilih tempatnya." Akhirnya Lalita menyerah.
"Besok tidak usah bawa kendaraan. Pulang kerja sama saya, kita mampir makan dulu."
"Baik, Pak."
"Oke, selamat malam," Zidan mengakhiri panggilan teleponnya.
***
Keesokan harinya, Lalita tidak melihat Zidan sama sekali di kantor. Bosnya itu sepertinya banyak rapat sejak pagi. Namun tepat jam lima sore, sebuah pesan masuk ke ponsel Lalita.
Zidan: Tunggu sampai saya selesai rapat.
Lalita mengetik jawabannya dengan cepat.
"La, belum mau pulang?" tanya Mas Jay saat melihat Lalita yang biasanya pulang on time sejak kemarin belum pulang sampai jam enam malam, padahal sedang tidak banyak pekerjaan seharusnya di tanggal seperti ini.
"Belum, Mas Jay."
"Banyak pekerjaan?"
"Tidak juga, cuma sedang menunggu teman saja, mau jalan."
"Oh, oke, aku pulang duluan ya," Mas Jay pamit pulang.
Sekarang Lalita sendirian di dalam ruangannya, semuanya sudah pulang. Lalita mengintip ke ruangan sebelah, tinggal dua orang di bagian penagihan yang masih ada, itu pun sudah mematikan komputernya dan sepertinya akan pulang beberapa menit lagi.
Lalita membuka ponselnya, belum ada kabar lagi dari Zidan. Akhirnya Lalita capek, dia meletakkan kedua tangannya di atas meja, lalu membaringkan kepalanya di atas kedua tangannya, berniat hanya ingin memejamkan matanya sebentar saja.
"Ehm."
Lalita membuka kelopak matanya perlahan, lalu langsung membelalakkan matanya lebar saat melihat Zidan sudah berdiri di sebelahnya dan sedang memperhatikannya.
"Eh, Pak Zidan, maaf saya ketiduran," Lalita bangun dengan cepat.
"Maaf ya saya lama, sampai kamu ketiduran."
"Tidak apa-apa, Pak. Apa sekarang sudah selesai rapatnya?"
"Sudah selesai sejak satu jam yang lalu. Saya tunggu kamu bangun, tapi tidak bangun-bangun. Ini saya terpaksa membangunkan kamu karena sebentar lagi lampu-lampu dipadamkan."
Salah satu kebijakan di kantor Lalita adalah jam delapan malam semua lampu dan pendingin ruangan dimatikan, agar tidak ada yang lembur dan pulang terlalu malam. Kalau pun perlu lembur sampai lebih dari jam delapan malam, harus mengajukan permintaan tertulis ke divisi general affair.
"Hah? Kenapa tidak membangunkan saya dari tadi, Pak?"
“Habis kamu kelihatannya capek sekali. Ayo saya antar pulang. Traktir makannya besok saja, sudah malam.”
“Lho, Pak, kan saya sudah menunggu sampai malam, kok tidak jadi?”
“Wajah kamu tuh sudah seperti habis kerja rodi seharian, kamu pasti capek sekali. Ayo pulang saja.”
“Yah, sia-sia dong, Pak, saya menunggu sampai malam. Tahu gitu saya pulang saja dari tadi, sudah tidur deh saya sekarang di kamar saya.” Lalita cemberut dan mengomel, lupa kalau lawan bicaranya adalah sang CFO. Dia mengambil tasnya dan melenggang pergi meninggalkan Zidan.
Zidan mengerutkan keningnya, heran menatap kelakuan Lalita. Kadang dia begitu baik dan sopan menghadapinya, tapi tidak jarang juga dia tampak cuek dan terkesan informal. Zidan berjalan mengikuti di belakang Lalita.
“Lalita, mobil saya di sebelah sini,” kata Zidan saat melihat Lalita berjalan keluar kantor.
“Saya pulang naik taksi saja, Pak. Toh kita juga tidak jadi keluar makan malam,” jawab Lalita masih dengan cuek.
“Jangan. Saya antarkan pulang. Kan saya yang kemarin bilang ke kamu untuk tidak usah bawa kendaraan hari ini. Jadi saya harus bertanggung jawab dong.”
Lalita hendak menolak lagi, tapi lalu dia merasakan tangan Zidan menarik lengannya dan membawanya ke arah basement tempat mobilnya diparkir. Saat masuk ke basement, Vellfire hitam sudah menunggu, sepertinya sebelum turun tadi dia sudah memberi kabar kepada sopirnya untuk menyiapkan mobil.
“Pak Gufron, kita antarkan Lalita pulang dulu.” Zidan memberikan instruksi kepada sopirnya.
“Baik, Pak. Mbak Lalita dimana rumahnya?” tanya Pak Gufron yang sudah lama mengenal Lalita.
“Apartemen Puncak Permata, Pak,” jawab Lalita yang kemudian disertai anggukan kepala Pak Gufron pertanda bahwa dia mengetahui lokasinya.
“Kamu tinggal di apartemen?” tanya Zidan saat mobilnya sudah berjalan meninggalkan basement kantor.
“Iya, Pak.”
“Sendirian?”
“Iyalah, memangnya mau dengan siapa lagi?”
“Orang tua kamu di mana?”
“Di luar kota.”
Zidan ingin melanjutkan pembicaraannya dengan Lalita, tapi membatalkannya karena perempuan itu terlihat sangat capek. Jawaban-jawabannya singkat dan wajahnya jutek. Dan tidak lama kemudian dia sudah memejamkan matanya, sama sekali tidak peduli bahwa Zidan duduk di kursi sebelahnya. Perempuan aneh, batin Zidan sambil menggelengkan kepalanya pelan.
“Lalita, bangun, kita sudah sampai,” Zidan menepuk-nepuk pelan bahu Lalita.
Lalita bergerak dan terbangun tidak lama kemudian, lalu dia turun setelah mengucapkan terima kasih kepada Zidan dan Pak Gufron.
“Lho, Pak Zidan kenapa ikut turun?” tanya Lalita heran saat melihat Zidan ikut turun dan saat ini berjalan disampingnya.
“Saya mau antar kamu sampai depan pintu apartemen.”
“Tidak perlu, Pak.”
“Nanti kalau kamu mengantuk terus jatuh di jalan gimana?”
“Tidak mungkin, Pak.”
“Sudahlah ayo cepat masuk. Nomor berapa apartemen kamu?” Zidan menarik lengan Lalita lagi untuk yang kedua kalinya.
Lalita hanya memutar kedua bola matanya. Capek, dia tidak mau berdebat lagi, terserah sajalah apa maunya sang CFO itu. Lalita pun menyebutkan nomor apartemennya kepada Zidan.
“Besok tidak usah bawa kendaraan lagi.”
“Nanti kalau batal lagi bagaimana?” Padahal dalam hati Lalita berharap agar batal saja.
“Ya saya antarkan pulang lagi. Gitu saja kok repot.”
Zidan menyunggingkan senyum manisnya. Lalita jadi sedikit tersipu melihatnya. Dia sudah lama tidak berdiri begitu dekat dengan laki-laki lain selain Adit.
“Terserah Bapak saja deh.”
“Tapi, Pak, tangan ini apakah bisa dilepaskan?” Lalita menunjuk ke tangan Zidan yang memegang lengannya terus bahkan ketika mereka sudah sampai di gedung C tempat apartemennya berada.
“Nanti. Saya takut kamu jatuh karena mengantuk dan tidak melihat jalan dengan baik,” kata Zidan sambil masuk ke dalam lift dan menekan tombol angka sembilan.
Zidan masih memegang lengan Lalita saat mereka keluar lift dan berjalan menuju ke apartemen nomor 16. Langkah mereka terhenti seketika saat melihat seorang laki-laki berdiri di depan pintu apartemen Lalita. Laki-laki itu menatap Lalita dan Zidan bergantian, lalu dia juga melihat ke arah tangan Zidan yang sedang memegang lengan Lalita. Seketika wajahnya menjadi merah padam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments