Raka membulatkan matanya, serasa mimpi di pagi hari.
"Mana perempuan itu?" Adelia langsung menerobos masuk.
"Perempuan yang mana sayang?" Raka memperhalus suaranya.
"Yang kamu nikahi itu!" Air mata Adelia sudah menumpuk di sekitar pelupuk matanya.
Raka terdiam, menatap Ningrum untuk sesaat. Hatinya seperti tidak tega menyangkal lagi, kalau Ningrum hanyalah asistennya.
Ningrum berbalik dan seperti biasa akan menghindari Raka serta tamu-tamunya. Wanita malang itu memilih duduk di balkon belakang. Dia tahu, Raka akan bilang pada semua orang bahwa dia adalah asisten baru.
"Raka, jawab aku!" Adelia pun menangis. Raka mendekat dan memeluk erat tubuh kekasihnya.
Jika dia bilang Ningrum adalah istrinya, maka Adelia akan semakin sedih. Bagaimana tidak, melihat istri dari kekasihnya yang jauh sekali dengannya. Akan sangat sulit untuk menjelaskan pada Adelia, kenapa dia harus menikahi Ningrum.
"Raka, mana wanita itu?" Adelia mendongak, dengan matanya yang mulai bengkak.
"Siapa yang memberi tahumu?"
"Andika. Dia bilang kamu sudah menikah, bahkan dia juga punya foto pernikahan itu."
Hati Raka serasa panas. Dia tidak menyangka, Andika semakin berbuat kejam padanya.
"Apa benar?" Suara Adelia memelas.
"Mari kita bicarakan dengan baik sayang." Raka mengajak Adelia duduk di sofa. Keduanya duduk secara bersisian.
Hati Adelia sama sekali tidak menyimpan curiga pada Ningrum. Karena memang dia merasa tidak mungkin Raka menikahi wanita yang layak dikatakan pembantu itu.
"Aku dituduh melakukan hal tercela itu. Dan, aku dituntut untuk bertanggung jawab." Jelas Raka.
"Jadi karena itu kalian menikah?"
"Ya, pernikahan ini hanya sampai wanita itu sembuh dari traumanya. Setelah itu, kami bisa bercerai."
"Sungguh?" Perlahan hati Adelia terasa kuat.
"Iya sayang." Raka mencium kening Adelia dan memeluknya.
Ningrum mengintip dari arah belakang. Wanita itu tersenyum kecut. Entah seperti apa hubungan Raka dan Adelia, seharusnya mereka tidak pantas bermesraan di hadapan istri Raka.
"Di mana wanita itu Raka? Apa dia tidur di ranjang kita?" Pertanyaan Adelia mengagetkan Ningrum.
"Tidak sayang. Setiap malam aku selalu menantimu, dan tidak ada yang bisa menggantikan kamu."
"Lalu dia tidur di mana?"
"Di sini." Raka menepuk sofa tempat mereka duduk sekarang.
Adelia mengerutkan dahinya. Jika wanita itu bisa betah tidur di sofa, maka pasti bukanlah wanita yang berkelas.
"Mana wanitanya Raka?" Adelia semakin mendesak karena penasaran.
"Yang tadi membukakan pintu untukmu," Jawab Raka dengan suara berat.
Adelia melongo dan melotot.
"Aku pikir dia…,"
Raka mengerutkan bibirnya, menatap Adelia.
"Ya, banyak yang mengira dia pembantuku," Sekali lagi suara Raka terdengar berat.
"Hahaha, memang wanita dari kelas bawah seperti mereka, memiliki nafsu yang sangat kuat!" Begitu mudahnya Adelia berbicara, seolah Ningrumlah yang telah menggoda para lelaki itu.
Raka kembali diliputi rasa bersalah. Sejak kemarin makan masakan Ningrum, membuat Raka tidak tega menyangkali wanita itu. Belum lagi Raka juga menyaksikan secara langsung, seperti apa Ningrum menangis.
"Tentu saja! Penampilannya, sangat tidak pantas jika dia itu istrimu." Sahut Adelia.
Ningrum kembali duduk di balik dinding. Meremas ujung bajunya, terasa panas telinga Ningrum mendengar tawa dan hinaan itu. Sebagai manusia biasa, hatinya tentu saja sakit. Siapa juga yang mau dibilang pembantu oleh suami sendiri?
"Aku harap kalian segera bercerai sayang. Mama dan papa menuntut pernikahan kita." Adelia memegang tangan Raka.
"Akan aku usahakan sayang." Senyum samar menghiasi bibir Raka.
"Secepatnya?" kedua alis Adelia terangkat.
"Berikan aku waktu sampai gadis itu sembuh."
"Ok. Malam ini, kamu tidur di mana?"
"Di sini sayang. Mau di mana lagi?"
"Aku juga mau tidur di sini." Rengek Adelia
"Siapa yang berhak melarangmu?"
"Tapi kamu sekarang sudah punya istri." Bibir Adelia manyun.
Raka mendekat dan memegang dagu Adelia gemas.
"Lupakan itu sayang, aku merindukanmu!"
Ningrum mendengar dengan sabar tawa bahagia kedua manusia itu. Sebenarnya, Ningrum ingin menjauh dan tidak berniat untuk menguping. Tapi sepertinya, suara Adelia dan Rakalah yang terlalu kebesaran.
Sekuat hatinya, Ningrum sadar diri. Bahwa pernikahan ini hanya untuk menyembuhkan traumanya. Setelah itu dia bisa pergi sejauh mungkin.
'Aku juga memang tidak layak bersanding dengan tuan Raka.' Batin Ningrum.
Ningrum menghela nafasnya dalam, berusaha masuk untuk lanjut menyiapkan sarapan bagi suami dan tamunya. Ini memang sudah tugasnya.
"Beni mana sayang?" Kini Adelia dan Raka sudah duduk santai. Adelia bersandar pada dada Raka.
"Aku titip sama Azlan."
"Jadi selama ini kamu sama dia sendirian di rumah?" Adelia bangun dari sandarannya, menatap kesal Raka.
"Baru kemarin sayang. Lagi pula aku tidak melakukan apapun."
"Hmmm, jadi dia yang melakukan semua pekerjaan di sini?" Adelia kembali menyandarkan kepalanya.
"Ya, begitulah." Raka melirik Ningrum yang tampaknya masih sibuk.
"Bentar ya, aku suruh Hasma pulang aja dulu." Adelia pun meraih ponselnya yang ada di dalam tas, lalu mulai mengirim pesan singkat.
"Tuan, sarapannya sudah siap." Ningrum dengan sopan, menghampiri sepasang kekasih itu.
"Makan yuk. Masakan Ningrum enak loh," Ajak Raka pada Adelia.
"Jadi namanya Ningrum?" Ekor mata Adelia melirik Ningrum.
"Iya," Jawab Raka.
"Aku udah kenyang sayang. Sebelum ke sini, aku udah sarapan."
"Kalau begitu, temani aku sarapan ya?"
"Aku capek sayang, pengen tidur sebentar."
"Ya sudah, aku antar ke kamar." Raka menggendong tubuh Adelia menuju kamar, melewati Ningrum.
Beberapa menit kemudian, Raka keluar dengan wajahnya yang mulai memerah. Entah apa yang baru saja mereka lakukan di kamar itu. Jika hanya membaringkan, maka tentu hanya membutuhkan waktu tidak lebih dari 30 detik.
"Temani aku makan." Pinta Raka. Bagi Ningrum, ini bukan permintaan melainkan perintah. Karena memang, setiap apa yang dikatakan Raka tidak bisa dibantahnya.
Suasana makan pagi ini, sangatlah menegangkan. Berbeda dengan kemarin, Raka masih bisa berbicara lepas.
Ningrum dengan telaten menyiapkan makanan untuk suaminya. Lalu duduk dan sendiri menyendok makanan pada piringnya.
"Masakanmu enak." Entah pujian itu tulus atau hanya sekedar untuk mencairkan suasana.
Ningrum tersenyum simpul "Terima kasih Tuan."
'Berhenti tersenyum Ningrum. Aku takut akan menyukaimu.' Raka menundukkan kepalanya, berusaha menikmati sarapannya.
Sebenarnya, masakan Ningrum sangatlah enak. Tapi serasa sulit bagi Raka untuk menelannya.
"Maaf, tolong berikan aku air." Ucap Raka lagi.
Ningrum melakukan perintah itu.
"Terima kasih." Kata Raka, kemudian meneguk sampai hampir habi isi gelasnya.
"Aku lebih dulu ya." Raka bangun dan berjalan menuju kamarnya.
Meski tidak mencintai Raka, tapi hati Ningrum meminta agar mereka jangan melakukan hal-hal yang tidak wajar di rumah ini. Bagaimana pun juga, dia istri Raka.
Selera makan Ningrum pun hilang. Bukan cemburu, sama sekali Ningrum tidak memliki perasaan itu. Hanya ingin dihargai, itu saja.
'Tapi apa aku berhak marah? Sementara mereka sudah saling mencintai, jauh sebelum aku hadir.'
Ningrum bangkit, merapikan meja dan seperti biasa akan mencuci piring-piring kotor.
Setelah itu, Ningrum bingung apa yang harus dilakukannya. Kini keberadaannya di rumah, hanya akan sebagai obat nyamuk, penjaga sepasang kekasih yang sedang dimabuk rindu.
"Tidak ada lagi pekerjaan, mungkin lebih baik aku pergi keluar sebentar." Ningrum berbicara pada dirinya sendiri. Tujuannya, agar tidak mengganggu Raka dan Adelia.
Sebelum keluar dari tempat itu, Ningrum menampak pantulan bayangannya di kaca lemari tv.
Memang benar, hati Ningrum menyadari itu. Penampilannya jauh lebih buruk dari seorang pembantu. Memakai kameja coklat berukuran besar, rok panjang, serta sendal jepit, rambutnya diikat ke bawah. Menampakkan betapa kampungannya dia.
'Tuan Raka pasti sangat malu, mengakui aku sebagai istrinya.'
Setelah puas menatap bayangan wajahnya di cermin, Ningrum pun keluar dari sana. Memasuki lift. Hanya dirinya sendiri di sana. Akhirnya, butiran air keluar dari mata indah Ningrum.
"Kenapa aku menangis?" Tanyanya sendiri.
Hatinya sakit tanpa sebab. Apa semua perkataan Adelia tadi menyakitkan? Tapi jika dipikirkan lagi, memang benar. Ningrum hanya pantas dikatan pembantu, bukan istri Raka. Sangatlah tidak pantas.
Ketika lift sampai pada lantai bawah, Ningrum lekas mengusap wajahnya. Lift pun terbuka, saat hendak keluar, Ningrum berpapasan dengan Ratna.
Dari ekspresi wajah Ratna, terlihat kalau dia sedang marah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments
Yours Bee
nyesek.aku thor baca nya
2020-12-18
0
Arty Asik
bikin netes air mataku,sakit banget kalau jd Ningrum💔 "uh..kalau aku jadi Ningrum udah pergi dari kemaren2"
2020-11-26
1
Esti. W
kasihan kau Ningrum ...
sabarr ya ...
2020-10-26
1