Raka mendengus kesal berjalan keluar menuju dapur apartemennnya. Kekesalannya semakin bertambah melihat Ningrum sedang mengobrak-abrik dapurnya.
Langkah kakinya panjang, mendekati Ningrum yang tidak menyadari kedatangannya. Raka berusaha untuk tidak meluapkan amarah itu, karena kondisi Ningrum sekarang.
"Ngapain kamu?" tanya Raka kesal.
Ningrum tersentak, berbalik ke arah Raka dan tertunduk. Wanita itu tidak bisa berkata-kata lagi, dia takut.
"Jawab aku!" desak Raka.
"Aku ingin memasak untukmu tuan." jawab Ningrum polos.
"Masak? Siapa yang menyuruhmu?" Kedua alis mata Raka saling bertautan.
"Tuan yang menyuruh saya tadi. Maaf, saya lupa dan baru sempat."
Mendengar perkataan Ningrum, Raka memejamkan matanya. Dia juga baru teringat perintahnya tadi sore.
"Udah ... nggak usah, aku udah makan." Raka melambaikan tangan dan berlalu.
Sebelum masuk ke dalam kamar, Raka berhenti dan melihat heran Ningrum yang masih terpaku ditempatnya.
"Masih apa kamu di sana?"
Ningrum hanya diam, tanpa menjawab, dia juga kembali ke sofanya.
"Ingat jangan bikin keributan! Masih baik aku menikah denganmu."
Ucapan Raka jelas membuat Ningrum terpukul. Dia juga tidak mau dinikahi dengan cara seperti ini. Bahkan wanita manapun, hanya ingin menikah dengan lelaki yang dicintai. Belum lagi dia telah diperkosa, sebelum akhirnya pernikahan konyol ini terjadi.
Dalam sekejap, Ningrum telah lelap. Dia sudah terbiasa tidur dengan perut kosong. Maka ini bukan kali pertama baginya.
****
Keesokannya, Azlan sudah berada di apartemen Raka sejak jam 7 tadi. Semua penghuni sudah bangun, termasuk Ningrum. Dia ditugaskan untuk membersihkan rumah. Sedangkan Beni, pergi mencari sarapan di luar. Raka sedang sibuk memainkan ponselnya. Dari ekspresi wajahnya, Azlan sudah bisa menebak, dengan siapa dia sedang chattingan. Ya, tentu saja Adelia, wanita beruntung yang selalu membuat Raka tersenyum.
"Gimana sama permintaan kamu semalam?" Azlan meminta persetujuan Raka, sebelum surat itu dibacakan kepada Ningrum.
"Kamu udah atur semuanya sebaik mungkin kan?"
"Iya, apa mau kamu dengarkan dulu?"
"Hmmm, silahkan!"
Azlan berdehem, kemudian mulai membaca.
"Surat perjanjian pernikahan, Tuan Raka dan Ningrum. Yang bertanda tangan di bawah ini, Tuan Raka selaku pihak Pertama. Menyatakan perjanjian-perjanjian sebagai berikut.
Pernikahan ini hanya sementara.
Status pernikahan ini tidak boleh diketahui pihak luar.
Pihak pertama berhak sepenuhnya atas pihak kedua.
Pihak kedua harus patuh kepada pihak pertama, apapun keinginannya, bahkan jika pihak pertama ingin mengajukan perceraian.
Tidak diijinkan tidur seranjang
Jika ditanya oleh orang luar, pihak kedua harus mengakui bahwa dirinya hanyalah asisten rumah tangga.
Pihak kedua tidak boleh keluar selangkah saja dari apartemen ini.
Pihak kedua dilarang berkomunikasi dengan orang asing.
Ponsel milik pihak kedua untuk sementara disita oleh pihak pertama.
Jika pihak kedua melanggar semua perjanjian di atas, maka akan dikenakan hukuman yang setimpal."
Azlan menghela nafasnya dalam. Semalam dia memang membuat surat ini, namun atas keinginan Raka. Dan semua poin dalam perjanjian itu juga atas kemauan Raka.
"Apa nggak berlebihan?" Azlan mengerutkan dahinya.
"Berlebihan? Justru aku ingin menambah lagi beberapa peraturan. Sebentar aku pikirkan dulu." Raka melepas ponselnya dan mulai berpikir.
Azlan menunggu dengan sabar, sambil memperhatikan Ningrum yang tengah sibuk membersihkan Rak Tv dengan kemoceng.
"Udah, untuk sementara itu aja dulu. Buruan panggil orang itu." Raka kembali meraih ponselnya.
Azlan menuruti. Dia memanggil Ningrum, dan mempersilahkannya duduk di sebelah Raka.
"Apa? Sana, kamu jangan duduk di sebelah aku!" usir Raka, menyuruh Ningrum duduk di sofa yang lain.
Setelah duduk, Ningrum pun mendengar dengan seksama perjanjian yang dibacakan itu. Dahinya berkerut, baginya ini bukan perjanjian tapi peraturan. Dan di sini, dirinyalah yang akan ditindas habis-habisan.
"Bagaimana?" Azlan bertanya pada Ningrum setelah selesai membaca.
"Siapa yang menyuruhmu meminta persetujuan dia?" ujar Raka dengan suara yang dingin.
"Aku hanya...."
"Aku yang berkuasa di sini. Dia harusnya bersyukur, dinikahi oleh aku. Jika aku tidak mau, itu juga merupakan hak aku. Maka dia harus mematuhi semua perjanjian itu."
"Ningrum?" Azlan tetap tidak mempedulikan omelan Raka.
Wanita malang itu hanya menggangguk dengan terpaksa. Azlan tersenyum tipis lalu menyodorkan tangannya seperti meminta sesuatu.
"Apa?" tanya Ningrum bingung.
"Ponselmu."
"Aku tidak punya ponsel tuan." Ya, sejak dulu Ningrum memang tidak memiliki benda itu. Diberi uang jajan saja tidak, apalagi dibelikan ponsel?
"Jangan bohong!" Raka semakin kesal.
"Sungguh tuan,"
"Udah Raka, kalau emang dia nggak punya masa iya harus dipaksain?"
"Nggak mungkin Az, di jama sekarang nggak punya ponsel. Apa jangan-jangan, kamu ingin menjebakku?"
"Tidak tuan. Sungguh."
Azlan menggelengkan kepalanya. Dia terus menatap Raka yang masih saja ngotot memaksa Ningrum.
Kini Raka sudah mendekati Ningrum memaksa bahkan hampir memasukkan tangannya di saku celana Ningrum.
"Tidak!!" Ningrum histeris. Barulah Raka tersadar kalau wanita ini sedang depresi.
"Raka," Azlan menarik tubuh itu agar menjauh dari Ningrum.
"Ah, aku hanya ingin agar tidak ada pihak lain yang tau." ancam Raka lalu pergi ke kamarnya.
Ningrum menangis, sambil memperbaiki rambutnya yang berantakkan. Raka sangatlah kasar, jika begini apa bisa membantunya sembuh dari gangguan mentalnya?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments
Bos pendik
jempol...
2020-12-31
0
Yours Bee
Ratna bawa aja ningrum sama kamu..katanya mau sembuhin ningrum..yang ada makin depresi tiap hari liat muka raka
2020-12-17
0
Inonk_ordinary
Mana ratna???? Ini namanya disiksa bukan di bantu,, ishh kecewa
2020-11-27
1